HIDUPKATOLIK.COM – LUKISAN “The Return of The Prodigal Son” karya Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606 – 1669) menggambarkan dengan sangat indah bagaimana peran orangtua yang sesungguhnya melalui sosok “bapa yang baik hati”. Lukisan ini diangkat oleh Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sebagai simbol tahun suci luar biasa “Kerahiman Allah” tahun 2016.
Satu lukisan tersebut memberikan gambaran sangat hidup tentang perjumpaan sang bapa. Ia menerima kembali si bungsu yang hilang (Luk. 15:11-32). Rembrandt dengan jenius melukiskan tangan yang diletakan pada bahu sang anak terhilang, secara simbolik.
Tangan sebelah kanan digambarkan secara feminin (unsur anima). Tangan halus seorang ibu yang tidak memegang. Tangan yang tidak mencengkram, tampak sangat lembut. Sedangkan tangan kiri digambarkan lebih maskulin. Tangan seorang ayah (unsur animus) yang begitu kuat dan berotot. Bila kita melambangkan bapa dalam lukisan tersebut sebagai Allah, kita akan melihat dua sisi kebapaan dan keibuan Allah.
Lukisan tersebut membuat saya berpikir bahwa menjadi orangtua, sesungguhnya merupakan sebuah previlege dari Sang Pencipta, agar kita sebagai orangtua dapat merasakan peran Allah sebagai ayah dan ibu.
Previlege ini akan sangat terasa pada seorang ibu atau seorang ayah yang diberikan kepercayaan lebih oleh Tuhan untuk menjadi orangtua tunggal. Peran orangtua tunggal, menjadi ibu sekaligus ayah, bukan peran yang mudah, butuh kerahiman Allah dalam menjalaninya. Menjalankan peran anima dan animus dalam sebuah pribadi pada saat yang bersamaan, akan sangat melelahkan jika fokusnya hanya pada menjalankan perannya.
Tetapi jika fokus dialihkan pada anak yang dititipkan oleh Tuhan tentu akan menjadi sedikit berbeda. Orangtua akan lebih menyadari bahwa kehadiran anak dalam hidupnya adalah karena Tuhan mempunyai maksud dan kehendak yang ingin dinyatakan atas dirinya dan anak titipan-Nya ini.
Titipan Sang Pencipta
Beberapa pandangan menganggap bahwa wanita belum sempurna jika belum melahirkan anak. Seorang wanita atau laki-laki (yang sudah dipersatukan secara sah) hanya akan dianggap sudah menjadi orangtua saat sudah memiliki anak yang memanggil mereka ayah dan ibu. Umumnya keluarga akan dirasakan belum lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Berapa banyak pasangan yang sangat mengharapkan kehadiran seorang anak dan sulit mendapatkannya sehingga melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Namun apakah sungguh sudah siap menerima titipan dari Tuhan yang sangat berharga ini?
Dalam Mazmur pasal 127 : 3-4 dikatakan “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN , dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.”
Anak-anak yang dikaruniakan kepada orangtua adalah milik pusaka dari Tuhan, mereka adalah anak-anak panah yang seharusnya dipersiapkan untuk diluncurkan pada waktu dan sasaran yang tepat, sesuai dengan bidikan sang pahlawan.
Sebagian orangtua menganggap atau bahkan bertindak menjadi sang pahlawan. Orangtua merasa dia adalah sang pemanah yang siap mengarahkan anak panah dan membentangkannya pada tali busur. Apakah benar demikian ?
Merenungkan puisi karya Khalil Gibran memberi sedikit pencerahan tentang arti kehadiran anak dalam hidup kita, — sekuran-kurangnya saya — dan memberikan inspirasi sebagai seorang ibu untuk dapat lebih sadar diri akan perannya.
Khalil Gibran melukiskan hal ini dengan sangat mengena bahwa “anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak panah kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri”
Orang tua bukanlah sang pemanah, peran orangtua adalah sebagai tali busur yang bersedia direntangkan oleh Sang Pemanah, Allah Sang Pencipta. Fungsi tali busur untuk menjadi pelontar/pendorong sehingga anak-anak panah ini dapat melesat dan meluncur sejauh sasaran bidik sang pemanah.
Anak-anak kita bukanlah milik kita, mereka dititipkan oleh Sang Pencipta dengan suatu maksud dan misi tertentu. Meskipun susah payah seorang ibu mengandung sembilan bulan lamanya dan merasakan sakitnya melahirkan dan sulitnya merawat dan mendidik anak, tetapi ada baiknya dengan rendah hati melepaskan segala ego dan ambisi untuk menjadikan mereka seperti diri kita. Wajahnya bisa saja mirip kita, darah kita mengalir dalam darahnya dan tubuhnya bisa juga kita kurung, tetapi jiwa anak-anak ini memiliki kebebasannya sendiri.
Orangtua adalah “masa lalu” dan anak-anak adalah masa depan yang memiliki impian dan harapannya sendiri. Biarkan mereka bebas lepas menjadi diri mereka adanya, tumbuh dan berkembang dalam keseimbangan antara kebenaran dan kasih karunia.
Sebagai orang tua yang dititipi anak-anak oleh Sang Pencipta, sudah sepantasnya kitalah yang merawat dan mendidik anak-anak dengan kebenaran (sisi kebapaan) dan kasih karunia (sisi keibuan).
Kita cukup menyediakan diri untuk menjadi busur yang kuat dan teguh dengan tali busur yang lentur, tidak terlalu mencengkeram, tidak juga mengenggam erat. Busur yang “mantap dan lentur” akan siap meluncurkan anak-anak panah laksana kilat, melesat sesuai bidikan Sang Pemberi Kehidupan.
Let your bending in the archer’s hands be for happiness;
For even as He loves the arrow that flies,
So He loves the bow that is stable (Khalil Gibran)
M.F. Fenny S, Kontributor, Penulis Bejana Kasih – Life Changing