HIDUPKATOLIK.COM – Suatu kali, saya mendengar adik saya memarahi anaknya dengan omelan jadoel ‘warisan’ mami yang sering sekali berkumandang saat kami masih kecil dulu. “Kamu denger gak sih, mami bilang apa? Kok masih ga nurut juga, itu kuping apa pangsit???”.
Saya seperti melihat film klasik yang diputar kembali, seorang mami muda berdiri berkacak pinggang di depan anaknya, menegur dengan nada suara gusar yang kian meninggi lengkap dengan mata yang melotot. Di hadapannya berdiri sang anak. Bila anak-anak zaman dulu pasti langsung menunduk dengan hati menciut, anak-anak zaman now malah justru menatap maminya dengan tatapan tak bersalah lengkap dengan gaya cuek enggak perduli. Saya agak curiga keponakan saya itu seperti layaknya anak-anak zaman now, sudah tidak lagi terintimidasi pada mata melotot sebab sudah terbiasa dengan karakter anime atau manga yang matanya sengaja dibuat super besar, begitu juga Hard Toys dan Plush Toys lainnya yang diproduksi di era milenials yang kebanyakan juga ikut-ikutan arus “mata super besar” ini.
Entah kenapa pertanyaan “Itu kuping atau pangsit?” membuat saya merenung. Jangan-jangan pertanyaan itu enggak cuma valid buat anak-anak, tapi juga masih relevan buat orang dewasa.
Dalam bahasa Inggris ada dua kata yang dipakai untuk ‘mendengar”, yaitu Hear and Listen. ‘Hear’ adalah aktivitas menyadari sensasi bunyi yang masuk ke indra pendengaran. Sedangkan ‘Listen’ adalah mendengar dan memperhatikan apa yang didengar untuk kemudian memikirkannya, dan melahirkan suatu tindakan respons yang aktual. Secara sederhana, ‘Listen’ adalah mendengar dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan tidak hanya telinga, tetapi juga hati dan pikiran.
Sayangnya renungan saya terganggu dengan deringan WA-Call yang masuk ke ponsel saya. Suara teman saya langsung berkumandang,“Hai Sis…long time no see! kok dah lama enggak ada kabarnya seh? Kangen deee….Eh btw udah denger belum sih hot news terbaru tentang temen kuliah kita dulu si Mrs X? Ternyata oh ternyata dia itu….bla..bla…bla…”
Setelah itu seperti yang bisa diperkirakan, 30 menit berikutnya saya terpaksa mendengar monolog soal Mrs X, yang tentunya enggak semua beritanya positif dan gak jelas juga berapa persen yang berdasarkan fakta, berapa persen asumsi, dan berapa persen ‘berita burung’ semata.
Sebagai teman yang baik, tentunya saya berusaha tidak menjadi ‘kuping pangsit’ dan betul-betul berusaha mendengar. Bukan sekadar ‘Hear’ tetapi ‘Listen’, dan dengan sopan cuma sesekali menanggapi “Oh ya?…seriously? Masa siih??” paling tidak untuk menunjukkan kesungguhan saya ‘menyimak’ berita gosip tak diundang siang itu.
Setelah telepon ditutup, saya jadi memikirkan kembali apa sih sebetulnya esensi pembicaraan kami siang itu. Bila saya memakai ‘kuping pangsit’ alias ‘Hear-mode-on’ maka tentunya yang terdengar hanya rentetan berita negatif soal Mrs X, tetapi bila saya sungguh berusaha ‘listen’, sepertinya ada hal lain yang lebih esensial yang menyangkut sang pembawa berita, mungkin sekali temen saya itu sedang merasa kesepian dan butuh teman bicara, atau tepatnya perlu merasa ‘didengarkan’. Kali lain, dia pastilah akan menelepon saya lagi dengan topik pembicaraan yang lain.
Tiba-tiba, kata hati saya usil berkomentar, “Makanya, perhatian dikit kek sama temen…sekali-kali coba telepon duluan, jangan asik sendiri, nunggu ditelepon duluan…somse amat seeh kayak celebrities aja!”. Saya cuma meringis…sebab memang saya jarang sekali menelepon temen untuk sekadar ngobrol atau bertukar kabar. Saya pikir cukuplah bila sesekali saya nimbrung di percakapan kami di WA-Group, itu pun kalau pas sempat saja.
Bila Tuhan menciptakan dua kuping dan hanya satu mulut, jangan-jangan memang seharusnya saya perlu lebih banyak ‘mendengar’. Mendengar yang pakai hati dan pikiran alias ‘listen’. Dan bila kedua kuping saya ini jarang ‘listen’ apa bedanya kuping saya ini dengan ‘Jamur Kuping’? Jamur kuping yang baru berguna saat dijadikan sayur Kimlo, Bakso Lo Hoa atau kuah Tekwan
Saya jadi teringat kata-kata Tuhan Yesus dalam Injil Matius 13:13: ” …sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti…”
Ini berarti fenomena “kuping pangsit” dan “Jamur Kuping” ternyata memang sudah ada dari zaman Yesus hidup dulu dan terus eksis sampai jaman Now.
Sudah berapa banyak kata-kata yang disampaikan pasangan hidup, orangtua, sahabat yang hanya saya dengarkan sambil lalu dengan ‘kuping pangsit” dan sudah berapa lama saya membiarkan kuping saya berubah menjadi “Jamur Kuping”? Jangan sampai di akhir hidup saya, Tuhan sendiri yang menanyakan “Itu Kuping, Apa Pangsit?!” Ooops!
Fransisca Lenny, Kontributor, Pekerja Seni.