HIDUPKATOLIK.COM – GEMBIRA bercampur geram. Itulah reaksi spontan setiap kali mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat penyelenggara negara. Gembira bahwa KPK masih bekerja mengemban amanat Reformasi 1998 untuk memberantas praktik korupsi di negeri ini. Geram karena tersangka adalah orang yang berpendidikan tinggi, sudah berkecukupan, tetapi sayang sekali tidak pernah mau belajar dari banyak kasus korupsi sebelumnya.
Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dilakukan oleh seorang pejabat demi mendapatkan keuntungan pribadi. Suatu perilaku tidak jujur atau curang demi keuntungan pribadi oleh mereka yang berkuasa, dan biasanya melibatkan suap. Korupsi dapat juga sebagai suatu tindakan penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan seseorang terhadap suatu masalah atau organisasi demi untuk mendapatkan keuntungan.
Praktik korupsi tidak pernah pelakunya tunggal, tetapi selalu beberapa orang sekaligus saling berbagi peran. Ada pihak yang memberi, ada pula pihak yang menerima. Pihak yang memberi sesuatu, umumnya atas imbalan telah menerima proyek atau jabatan dari penyelenggara negara itu. Yang memberi atau menerima itu, umumnya melibatkan perantara membentuk mata rantai. Bila terungkap, setiap mata rantai bisa menyatakan dirinya diperalat atau namanya dicatut untuk kejahatan korupsi.
Tersangka biasanya berkelit bahwa dirinya khilaf, korban konspirasi jahat dari lawan politiknya. Atau sedang mengumpulkan dana untuk biaya pencalonan periode berikutnya; membayar hutang budi kepada orang/organisasi yang telah memenangkannya sebelum ini. Atau malah karena menjadi bagian dari operasi penggarongan besar-besaran yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis.
Apapun yang terjadi, reputasi atau nama baik orang tersebut menjadi rusak. Seluruh capaian penting seperti prestasi akademik di semua jenjang pendidikan, riwayat pekerjaan, kehidupan sosial kemasyarakatan, menjadi ternoda dan dicemooh. Menjadi berita nasional, dipertontonkan dalam keadaan diborgol dalam balutan baju seragam berwarna orange dan langsung ditahan.
Mempermalukan keluarga besar, orangtua, pasangan hidup, anak-anak, menantu, cucu, mertua, besan, dan sebagainya. Mereka semua ikut terseret dalam pemberitaan, perilakunya dikupas dan dibahas. Sekolah dan kampus yang pernah mengiklankan rasa bangga terhadap prestasi alumnusnya, langsung berbalik badan. Memilih diam atau tidak mau dihubungkan kembali dengan tersangka.
Jabatannya seketika itu juga terhenti (minimal untuk sementara), selama menunggu proses panjang pembuktikan di sidang pengadilan tindak pidana korupsi. Di mata hukum, setiap orang diperlakukan tidak bersalah hingga vonis yang berkekuatan hukum tetap. Itu berarti setelah keputusan pengadilan tingkat pertama, masih ada hak untuk banding, kasasi, peninjauan kembali berulang kali.
Sekali pun terpidana sedang menjalani hukuman badan, masih ada kesempatan untuk ijin berobat di luar rumah tahanan, urusan keluarga (sakit keras, meninggal, menikah, dan lain-lain.). Lalu masih ada remisi setiap hari raya keagamaan, ulang tahun kemerdekaan, dsb. Di dalam rumah tahanan pun, fasilitas dapat direnovasi sesuai kebutuhan. Terpidana dapat hidup nyaman dan tetap dapat beraktivitas.
Tetapi sesungguhnya di rumah tahanan, tidak ada fasilitas yang membuat nyaman. ‘Home sweet home’, kita masih akan lebih bebas merdeka di rumah sendiri daripada hotel, apalagi ruang tahanan.
Mengapa Masih Ada korupsi?
Ada yang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa kita. Ada juga yang berpendapat bahwa korupsi adalah oli pembangunan. Rupa-rupanya korupsi bisa dimengerti, dimaklumi, bahkan dimaafkan karena sudah tersebar merata sejak lama, dan semua ikut menikmati, besar maupun kecil.
Sekali pun korupsi dana bantuan sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat dalam masa pandemi sekarang ini, atau untuk proyek pembangunan infrastuktur seperti rumah sakit, alat-alat kesehatan, gedung sekolah, pusat pengembangan olahraga, biasanya ada pertimbangan kemanusiaan saat vonis.
Praktik yang permisif (membolehkan), dengan kesempatan mengaku dan mengembalikan kerugian, dianggap sudah memadai sehingga tidak cukup memberi efek jera malu secara mendalam. Sebab kalau pun seseorang (masih) melakukannya juga, skalanya tidak bakalan sebesar si anu, anu, dan anu yang pernah menjabat Ketua DPR, DPD, MK, dan sebagainya. Apalagi kalau perbuatan korupsi seseorang itu besar sekali dampaknya terhadap organisasi nasional dan bisa merembet ke mana-mana yang membahayakan orang-orang besar lainnya. Banyak pihak yang ingin meredam dan mengecilkan akibatnya.
Oleh karena itu, seorang tersangka yang merasa dirinya hanya pelaku kecil, bisa tetap tersenyum saat digiring oleh aparat KPK. Pengatur korupsi yang harus bekerja keras memutus bukti keterlibatannya, dan ‘menjanjikan’ akan menjamin kebutuhan hidup keluarga tersangka selama masa tahanan.
Praktik korupsi terus berlangsung karena setiap orang merasa nikmat bila kebagian, walaupun jumlahnya masih relatif kecil. Dengan usaha dan karya yang sangat minim, bahkan hampir tidak ada sama sekali, seseorang bisa saja kecipratan rezeki yang tak semestinya dinikmatinya. Jumlah yang tak mungkin bisa diraihnya bila bekerja secara biasa-biasa saja.
Mana kala merasa bagiannya masih bisa lebih besar lagi, terjadilah negosiasi untuk menuntut ‘haknya’. Bila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan, lalu ada upaya ‘berkhianat’ membocorkan rencana transaksi korupsi kepada pihak yang berwajib, sehingga berakhir menjadi OTT dengan barang bukti itu.
Tata Kelola yang Baik
Banyak orang baik yang menghindari tawaran menjadi pejabat penyelenggara negara. Sebab sekali pun dirinya mau menjadi pejabat yang bersih, tetapi lingkungan kerja yang korup sering kali membuat dirinya tidak berdaya. Akhirnya berkompromi dengan penyalahgunaan anggaran dan kekuasaan agar roda organisasi dapat terus berjalan. Itukah yang dimaksud dengan korupsi sebagai oli pembangunan?
Orang baik yang mau mengakhiri tugasnya dengan tetap bersih, dapat dibantu dengan prinsip-prinsip tata kelola organisasi yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fair (TARIF). Umumkan setiap proyek pemerintah secara transparan, dan tawarkan kepada semua pihak yang memenuhi syarat secara fair. Lakukan semua proses keputusan secara akuntabel (sesuai batas kewenangan) dengan notulensi proses yang lengkap. Jaga jarak (independensi) terhadap semua pihak yang merasa ikut berkepentingan agar semuanya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Organisasi yang baik mestinya sudah dilengkapi dengan bagian-bagian sistem prosedur, pembagian tugas, audit kepatuhan, dan sebagainya. Juga panitia tender, bagian pembelian, sidang jabatan, evaluasi kinerja, dan sebagainya. Gunakan saja semua instrumen itu sudah bisa mengurangi praktik penyalahgunaan.
Pisahkan urusan dinas dengan keluarga. Jangan pernah membawa-bawa urusan dinas ke rumah, dan sebaliknya urusan rumah tangga ke kantor. Jangan pernah libatkan anggota keluarga (besar) dan teman-teman pribadi dalam urusan sekecil apapun dengan dinas, apalagi yang menyangkut anggaran.
Godaan korupsi itu nyata, dan selalu ada dalam banyak kesempatan. Kalau tidak mau tergoda, jauhkan diri sejak dini. Kalau pun sudah berada di dalam lingkungan yang tak menjamin bersih, bentengilah diri sendiri dengan penanda dan pengingat di sekitar tempat kerja. Katakan “cukup adalah cukup” dengan segala hak yang telah diterima, jangan lagi mengambil yang bukan merupakan haknya.
Kalau masih terjerumus juga, mungkin itu menjawab pertanyaan di atas, kapan giliran saya korupsi?
Cosmas Christanmas, Kontributor