web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjawab Seruan Konsili Vatikan II, Gereja Merangkul Umat Sesuai dengan Kebutuhan Rohani Mereka

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DUA MINGGU menjelang perayaan Imlek lalu, Merry Agustina (21) telah merangkai pohon sakura di ruang keluarga di kediamannya, kawasan Pontianak Timur, Kalimantan Barat.

“Tahun-tahun sebelumnya, saya memasang pohon sakura sekitar sepekan sebelum Imlek. Tahun ini agak lebih awal karena banyak waktu di rumah,” tutur Merry.

Pandemi yang belum kunjung berakhir, mengakibatkan banyak aktivitas difokuskan di rumah, termasuk perkuliahannya yang kini memasuki semester delapan. Merry merasa, kemeriahan Imlek akan berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di ranting-ranting pohon sakura, dia menggantungkan beberapa aksesoris bernuansa kerbau, shio yang berlaku tahun ini. Miniatur hewan berwarna keemasan itu dipadu amplop-amplop angpau bernuansa merah, juga dengan gambar sesuai shio.

“Dalam kondisi normal di hari Imlek, kami rutin melakukan tradisi makan besar atau ciak tua kai. Seluruh keluarga berkumpul di rumah orangtua untuk makan bersama. Tapi tahun ini kemungkinan tidak bisa berkumpul semuanya,” lanjut pembina misdinar di Paroki Santo Hieronymus Tanjung Hulu, Keuskupan Agung Pontianak ini.

Sebelum acara “makan besar”, paginya mereka mengikuti Misa di gereja. Gereja dihias dengan aneka lampion serta pohon sakura, — juga disebut pohon mei hwa, simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan keberuntungan yang lazim dipasang saat Imlek.

Merry Agustina

Meski perayaan segera tiba, pemilik nama Shiau Ting ini merasakan kesedihan. Pandemi membuat keluarga besarnya tak akan berkumpul lengkap di hari istimewa.

“Biasanya kan, mereka datang serombongan, ramailah pokoknya, sekalian melepas rindu,” ucapnya.

Menghormati Orangtua

Komunitas Tionghoa Katolik di Kalimantan Barat rutin menggelar Misa Imlek pada waktu yang lalu. Selain menghias gereja dengan aksesoris bernuansa khas, panitia menyiapkan jeruk dan angpau, amplop merah berisi sejumlah uang, untuk dibagikan kepada umat.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Atraksi barongsai dan penyalaan petasan, biasanya dilakukan di halaman gereja, sebelum Misa dimulai. Sebagian umat pun mengenakan busana bernuansa merah, meski tak semua dari kalangan Tionghoa.

Sesuai tradisi, disediakan juga jeruk besar yang dibagikan kepada umat berusia lanjut. Biasanya dimulai dari usia tertua, hingga pada usia dalam batasan tertentu.

Setelah berkat penutup dalam Misa, pastor dibantu misdinar, membagikan jeruk-jeruk besar itu kepada para lansia yang hadir. Mereka dipanggil dari usia tertua, biasanya dimulai dari usia 80 tahun hingga 60-an tahun.

Gregorius Darwin

Gregorius Darwin, umat Paroki Santo Hieronymus, mengatakan, tradisi membagi jeruk besar merupakan simbol penghormatan kepada orangtua. Perayaan Imlek di antaranya menempatkan orangtua kandung sebagai pihak yang wajib dikunjungi.

“Tahun lalu saya dipercaya sebagai Ketua Panitia untuk Misa Imlek di paroki kami. Tahun ini sepertinya akan berbeda. Kalaupun misalnya diadakan, harus dengan sangat sedikit orang dan tradisi bagi-bagi jeruk besar mungkin ditiadakan, karena lansia menjadi kelompok rentan tertular Covid-19,” kata Darwin.

Ketua Lingkungan Santa Maria di paroki ini menambahkan, tradisi “makan besar” akan dibatasi. Hanya akan menghadirkan keluarga inti.

Umumnya, tradisi ini dihadiri tidak saja oleh keluarga dekat, tapi juga sanak saudara terutama yang berdomisili di kota lain dan berkesempatan libur.

Dalam situasi normal, setelah Misa, pastor diundang dalam ciak tua kai atau ciak to, memimpin doa makan dan memberkatinya. Kemeriahan mungkin tidak akan sama seperti yang sudah-sudah, meski tak akan mengurangi makna.

Darwin mengakui, terkadang masih ditemukan kesalahan persepsi tentang hakikat perayaan Imlek. Seakan-akan Imlek menjadi perayaan keagamaan.

Baca Juga:  Kongregasi Misionaris Claris Tingkatkan Kompetensi Para (Calon) Anggota

“Imlek bukan perayaan keagamaan, tetapi suatu tradisi yang diturunkan dari leluhur kami. Mau agama apapun, asalkan dari kalangan Tionghoa, tetap merayakan Imlek,” kata Darwin.

Ia mensyukuri kebijakan otoritas Gereja yang mengizinkan diselenggarakannya Misa bernuansa Imlek. Karena sesungguhnya Imlek sama dengan perayaan tahun baru.

“Orangtua kami, meski bukan Katolik, selalu mengingatkan untuk ke gereja dahulu pada pagi hari di waktu Imlek, sementara mereka pergi ke Klenteng,” ujar Darwin.

Dia mengenang, kemeriahan dan sukacita Imlek sangat terasa di Kalimantan Barat dan tidak dijumpai di daerah lain. Bahkan ketika pada 2019 mengunjungi anaknya yang sedang kuliah di Taiwan bertepatan dengan perayaan Imlek, kemeriahan itu tidak begitu terasa.

Orang-orang di negeri itu, tutur Darwin, lebih memilih untuk berwisata ketimbang menyelenggarakan perayaan kota seperti di Kalimantan Barat. Di Kota Pontianak dan Singkawang, misalnya, suasana Imlek sangat terasa dengan berbagai aksesoris di jalanan, gedung-gedung, dan atraksi naga serta barongsai.

“Kami pun sekarang bisa memaklumi jika tahun ini kemeriahan itu akan berkurang akibat pandemi yang belum tahu kapan berakhir,” ucap Darwin.

Kawasan Pecinan

Situasi agak berbeda dengan Paroki Santo Hieronymus di kawasan Pontianak Timur, ditemukan di Paroki Gembala Baik yang berada di Pontianak Selatan. Aksesoris Imlek dipasang sepekan sebelum perayaan, dan paroki berencana menggelar Misa dengan jumlah umat terbatas serta menyelenggarakan live streaming.

Pastor Leonard Paskalis Nojo, OFMCap

Kepala Paroki Gembala Baik Pontianak, Pastor Leonard Paskalis Nojo, OFMCap mengatakan, sekitar 60 persen umatnya merupakan kalangan Tionghoa. Itu sebab, kawasan ini sering disebut pecinan. Nama paroki kadang kalah populer dengan nama pelabuhan sungai yang berbatasan jalan kecil dengan gereja, yakni Pelabuhan Seng Hie.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

“Ya, kadang orang menyebut paroki ini dengan nama Paroki Seng Hie,” ucap Pater Leo, begitu dia biasa disapa.

Selama ini, Misa berbahasa Mandarin rutin digelar setiap hari Minggu pukul 06.30 WIB. Jumlah umat yang menghadiri Misa berkisar 200 hingga 300 orang. Di masa awal, umumnya umat yang hadir dari kalangan Tionghoa yang sudah lanjut usia.

Akhir-akhir ini, mulai bertambah umat usia muda dan tak selalu dari kalangan Tionghoa, terutama yang sudah mulai menguasai bahasa Mandarin.

“Sejak pandemi, Misa berbahasa Mandarin secara tatap muka kami tiadakan, diganti live streaming dengan jadwal dua kali sebulan. Ada dua pastor di sini yang mempersembahkan misa dalam bahasa Mandarin,” kata Pater Leo.

Misa Imlek tahun ini digelar pada 12 Februari 2021 pukul 08.00 WIB, yang disiarkan secara live melalui channel Youtube “Komsos Paroki Gembala Baik Pontianak”.

Protokol kesehatan dilakanakan secara ketat, termasuk pembatasan jumlah umat dan jarak fisik. Gereja berkapasitas penuh 800 orang, diperbolehkan menampung umat sekitar 142 orang atau hanya 20 persennya.

Bagi Pater Leo, perayaan Imlek dengan Ekaristi Kudus, memiliki dua arti. Pertama, ini menjawab seruan Konsili Vatikan II tentang inkulturasi, Gereja menyapa umat sesuai dengan kondisi kultural mereka.

“Kedua, Gereja sedapat mungkin menjawab dan merangkul umat sesuai dengan kebutuhan rohani mereka. Kebetulan, misalnya di sini, satu di antara perwujudannya dengan menggelar Misa berbahasa Mandarin untuk keperluan tertentu, sementara di daerah lain barangkali sesuai kondisi daerahnya sendiri,” ujar Pater Leo.

Saverianus Endi (Kontributor, Pontianak)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles