HIDUPKATOLIK.COM – Dialog antaragama merupakan salah satu kegiatan yang khas dalam Serikat Misionaris Xaverian (SX), khususnya di Komunitas Skolastikat Xaverian, Jalan Cempaka Putih Rahya No.42, Jakarta Pusat. Kegiatan ini lazimnya dilaksanakan sekali dalam dua bulan.
Komunitas, melalui Seksi Dialog, menghadirkan pembicara dari agama ataupun kepercayaan tertentu untuk menjadi narasumber. Topik yang dibahas pun selalu menarik dan melibatkan partisipan dari luar, entah dari kalangan mahasiswa ataupun pribadi-pribadi tertentu yang diundang.
Kegiatan ini menjadi kekhasan SX karena kharisma dan pilar perutusannya adalah mewartakan Kristus kepada bangsa-bangsa non-Kristiani (Ad Gentes). Selain itu, kegiatan ini menjadi salah satu usaha untuk menyatukan keberagaman dengan spirit kekeluargaan. Presiden RI ke-4, K.H. Adurrahman Wahid alias Gus Dur, mengatakan, melalui dialog, cakrawala pengetahuan tentang agama dan kepercayaan lain semestinya menumbuhkan rasa toleransi pada diri seseorang.
Situasi pandemi Covid-19 yang masih terjadi hingga saat ini mengharuskan setiap individu untuk berhati-hati dalam melakukan aktivitas sosial untuk menghindari potensi penularan virus yang terus bermutasi. Kegiatan dialog rutin ini pun akhirnya kena imbas. Komunitas tentunya tidak ingin mengambil risiko, sehingga perjumpaan langsung sebagaimana lazimnya ditiadakan semenjak diberlakukannya pembatasan sosial di Jakarta. Lantas, bagaimana komunitas membangun relasi dengan saudara-saudari yang berbeda agama dan keyakinan?
Kita perlu bersyukur bahwa keberadaan teknologi informasi dan komunikasi dengan kemutakhirannya sangat membantu kita dalam banyak aspek kehidupan kita. Relasi yang sulit dialami melalui perjumpaan langsung bisa beralih kepada relasi virtual melalui media sosial. Perjumpaan virtual mampu menjangkau dan melampaui batas-batas geografi.
Sejenak kita flashback ke periode ketika dunia tidak secanggih sekarang mengalami situasi ini, tepatnya tahun 1918 ketika pandemi influenza melanda dunia. Jawaban atas pertanyaan di atas tentu tidak mudah. Beda dengan saat ini. Tidak butuh waktu lama kita bisa beradaptasi dengan pelbagai kegiatan yang divirtualkan. Seminar-seminar online dilakukan secara masif seturut kebutuhan dan kepentingan setiap orang.
Kegiatan dialog antaragama pun diadakan secara online, sehingga komunikasi tetap terjalin dan kerukunan tetap terawat. Bagaimanapun riak-riak kecil persoalan yang bernuansa agama tetap terjadi. Inilah realitas perbedaan yang selain bisa dirasakan keindahan dan kekayaannya, tetapi pengaruhnya juga rentan memunculkan ketegangan. Dialog hadir sebagai solusi untuk berbagi dengan kekayaan yang dimiliki setiap agama. Selain itu, berintensi menumbuhkan spirit penghargaan kepada orang lain yang berbeda.
Komunitas Skolastikat Xaverian tak mau ketinggalan, turut membangun relasi dengan saudara-saudari yang beragama dan berkeyakinan lain. Salah satu contohnya adalah memberikan ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari raya besar. Selain itu melibatkan diri dengan mengikuti kegiatan dialog virtual yang ada.
Secara pribadi, momen ini menjadi kesempatan bagi saya untuk memperkaya cakrawala pengetahuan tentang agama atau kepercayaan lain dan membangun jaringan persaudaraan yang lebih luas dan plural. Dari kegiatan ini pula, saya bisa mengubah visi dan persepsi saya yang cenderung eksklusif kepada mereka menjadi lebih terbuka.
Salah satu komunitas yang tetap getol merawat kerukunan melalui kegiatan dialog adalah Komunitas Baha’i. Selain mengadakan webinar nasional, komunitas ini juga rutin mengadakan dialog virtual yang sifatnya informal setiap minggu.
Dalam dialog ini, komunikasi lebih cair, bahasanya lebih sederhana, penuh canda-tawa dan kesempatan berbagi lebih besar. Partisipan yang terlibat sekitar belasan orang dan tidak tetap. Tetapi nuansa pluralitasnya sangat terasa karena representasi dari setiap agama terlibat. Ada Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Konghucu dan Baha’i sebagai penyelenggara.
Perjumpaan ini menarik dan spesial karena keterlibatan kaum muda, yang memiliki ketertarikan dalam usaha menumbuhkan spirit toleransi di tengah perbedaan yang ada. Seorang partisipan yang sudah cukup sepuh pernah menyatakan sukacitanya ketika melihat antusiasme partisipan muda. Sukacita itu tentu merupakan representasi cita-cita kita semua. Sebab kaum mudalah yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini.
Topik diskusi dan sharing yang diangkat selalu aktual dengan potret kehidupan keberagaman yang ada. Misalnya di tengah kasus intoleransi yang muncul, topiknya ialah bagaimana membangun keharmonisan di hadapan realitas konflik dan ketegangan yang terjadi. Setiap partisipan terlebih dahulu memberikan pandangannya tentang arti keragaman, lalu mensharingkan penghayatannya akan realitas keragaman itu. Pandangan dan cara penghayatan setiap partisipan tentunya memperkaya satu dengan yang lain.
Salah satu perspektif yang mendapat tanggapan positif dan apresiasi dari peserta lain ialah seorang partisipan dari Bali. Baginya keragaman merupakan given dari Yang Mahakuasa, yang perlu diterima dengan penuh rasa syukur sebab keragaman memberikan warna dalam kehidupan.
Dengan memandang keragaman sebagai kekayaan dan keindahan yang terkoneksi dalam relasi ‘ketersalingan’, saling menyapa, saling membantu, saling memberi dan nilai tertingginya yakni salin mengasihi dapat menciptakan kedamaian dan keharmonisan. Dengan demikian dimensi dan sektor lain dalam kehidupan dapat dijalankan dengan baik. Pada gilirannya bonum comunae (kesejahteraan bersama) boleh dialami oleh setiap orang.
Bali merupakan representasi miniatur keberagaman yang berhasil mencapai bonum comunae. Menurut riset Kementerian Agama tahun 2019, Bali menempati posisi ketiga dalam daftar indeks kerukunan umat beragama. Warga Bali memang terkenal dengan semangat toleransi dan hospitalitas kepada orang yang berbeda. Apresiasi tersebut terutama datang dari seorang partisipan muda dari Aceh yang sungguh menyadari eksklusifitas daerahnya terhadap pluralitas agama. Dia mengimpikan, suatu saat Aceh bisa menjadi daerah yang inklusif terhadap keberagaman yang ada.
Pengalaman perjumpaan virtual di atas nampak sederhana tetapi sarat makna. Setiap partisipan mempunyai atensi yang besar dalam memelihara pluralisme di Indonesia.
Dalam memaknai Surat Apostolik Patris Corde, salah satu teladan St. Yosef yaitu ia adalah seorang ‘Bapak yang menerima’. Ia menerima Maria tanpa syarat apa pun, sebab ia tahu tanggung jawab yang diembannya adalah tanggung jawab dari Allah baginya.
Demikian halnya pluralisme sebagai pemberian Allah bagi manusia semestinya menjadikan manusia persona yang menerima setiap perbedaan tanpa syarat apa pun (unconditional love). Perbedaan itu mesti diterima dan dihidupi dengan dasar kasih yang menyatukan aku, kau, dan dia menjadi kita sebagai satu keluarga.
Fr. Erick Ndeto, SX, Mahasiswa STF Driyarkara