HIDUPKATOLIK.COM – PAROKI termudah ini akan menjadi pusat pastoral Kerahiman Ilahi Keuskupan Bogor dengan program utama adalah dialog kasih.
“BERDARAH-darah. Tidak mudah mendirikan paroki di Tataran Sunda”. Demikian komentar seorang umat kala HIDUP bertemu di kompleks gereja sementara Paroki St. Faustina Kowalska, Bojonggede, Keuskupan Bogor, Minggu, 14/2.
Betul! mendirikan gedung gereja di Tataran Sunda bak menanam ranjau, tunggu waktu meledak. Wilayah yang kental dengan mayoritas agama Islam, bukan perkara mudah mematok bendera Kristus. Cerita usang yang berulang, sering terjadi penolakan kala pendirikan gereja. Pernah terjadi, pemerintah Kota Bogor menyegel sebuah gereja tahun 2016. Tak salah menyebutkan, wilayah Keuskupan Bogor rentan konflik, khusus karena perbedaan agama.
Tapi Paroki St. Faustina seakan diistimewakan. Proses pendirian gereja sebut saja berjalan lancar-meski satu dua rintangan kecil yang menghadang. Kenapa demikian? Orang akan menyebutkan karena peran Pastor Mikail Endro Susanto.
Di Kota Bogor, nama Pastor Endro tak asing lagi. Selain sebagai Wakil Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor juga sebagai anggota Badan Sosial Lintas Agama (Basolia). Sambil tersenyum, Pastor Endro berujar, “Ada satu kunci agar diterima, bangunlah dialog.”
Dialog, kunci ‘keberhasilan’ berdirinya Paroki St. Faustina Bojonggede. Pada Senin, 22 Februari 2021 mendatang, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM akan meresmikan paroki termudah di Keuskupan Bogor ini.
Rasul-rasul Perdana
Umat Bojonggede kini berbangga diri atas hadirnya paroki baru yang rintisannya sudah sejak 1970-an. Penutur sejarah sekaligus penulis biografi “Sejarah Paroki St. Faustina Bojonggede”, Thomas Ataladjar menjelaskan, tapak awal kehadiran umat Katolik di Bojonggede sekitar tahun 1970-an. Kala itu, mereka menetap di kawasan Bojonggede-Cilebut, tercatat ada 12 kepala keluarga. Mereka adalah Sukoco, Maryono, Miskun, Sutrisno, Yuli, Supardi, Tupantiono, Aritonang, Kusnadi, Wito, Sihombing, dan Saragih. Sebagian mereka berprofesi guru. Mereka tinggal terpencar dan tercatat sebagai warga lingkungan Jalan Baru, Wilayah Pondok Rumput.
Memprihatinkan situasi itu. Ada cerita, “Tahun 1980, Pak Sawito di Pasar Lama Bojonggede meninggal dunia. Betapa sulit dan repotnya mengurus kematiannya. Tetangga mengetahui Sawito orang Kristen, tapi tak tahu harus mengurusnya jazadnya. Dua hari baru jazadnya dimakamkan secara Katolik setelah Keuskupan Bogor turun tangan,” cerita Thomas.
Narasi Sawito bukan sebuah petaka tapi dianggap berkat. Sebab cerita ini mendatangkan kekuatan baru bagi kawanan lain yang ditinggalkan Sawito. Babak baru terjadi, “rasul-rasul” kecil itu sepakat mengadakan doa bersama. Kunjungan dari rumah ke rumah terjadi saat itu. Walau harus berjalan kaki di tengah gelap, hati mereka gembira. Rosario dan doa bersama berlangsung di tengah teror dan lemparan batu. Sembah sujud berseliwingan rasa putus asa yag kuat. Mungkinkah Bojonggede menolak kehadiran Tuhan?
Teriakan minta tolong itu, membuat Tuhan turun tangan. Kawanan tanpa guru ini mendapat kehadiran Pastor Jarwo. “Betapa gembira hati kami,” kenang Samirah, istri Albertus Tupantiono. Tapi lagi-lagi ada kendala, mobil Pastor Jarwo tidak bisa kembali ke Bogor karena empat bannya dikempeskan. Pastor Jarwo mengelus dada, umatnya berwajah sedih.
Pengalaman bersama Pastor Jarwo tak terjadi sekali dua kali. Berikutnya ada pelayanan intesif- sesuai kebutuhan. Lambat laun, umat makin bertambah seiring dibukanya perumahan-perumahan baru seperti Pondok Bambu Kuning. Di era ini, tampil sejumlah tokoh sebagai penggerak umat, sebut saja Leo Waleng dan Stefanus Sihombing. Kehidupan menggereja makin hidup dengan latihan koor dan doa bersama. Umat mencapai 30 kepala keluarga dan masih menjadi umat Lingkungan Jalan Baru.
Data umat yang cukup memadai, membuat para penggerak meminta kepada Paroki St. Perawan Maria Katedral Bogor. agar bisa menjadi lingkungan baru yaitu Lingkungan Bojonggede-Cilebut dengan ketua Johanes Kusnadi. Selanjutnya, perkembangan pesat tahun 1990-an seiring perkembangan perumahan dan lahan industri di Cilebut, Depok Baru, dan Bojonggede.
Tahun 1997 tercatat sekitar 150 kepala keluarga. Kondisi ini membuat status lingkungan ditingkatkan menjadi wilayah. Kusnadi masih dipercayakan sebagai ketua wilayah dengan lima lingkungan. “Pelantikan pengurus wilayah di rumah saya tanggal 20 Oktober 1997. Saat itu saya baru pindah dari Jakarta ke Bojonggede,” kisah Thomas.
Eden Kecil
Dalam perjalanannya, kemudian dipilih nama St. Yohanes Pembaptis sebagai pelindung wilayah. Secara administrative pemerintahan, wilayah ini cukup luas mencakup tiga Kecamatan; Bojonggede, Tajur Halang, dan Sukaraja. Sedangkan tata kelola gerejawi, wilayah ini masuk Katedral Bogor.
Berdirinya wilayah bukan berarti masalah selesai. Nyatanya, masih saja terjadi kebiasaan teror dan intimidasi. Kala doa Rosario, umat disibukkan dengan perizinan di pengurus lingkungan setempat. Pun ada izin, teror dan lemparan batu adalah ‘santapan’ wajib. Di tengah intimidasi ini, muncul impian memiliki rumah ibadah sendiri.
Tahun 2014, umat Bojonggede tercatat sekitar 410 kepala keluarga atau sekitar 1.600 jiwa. Mayoritas adalah keluarga muda dengan ragam suku. Ada dari Jawa. Flores, Manado, Bali, Tionghoa, Maluku, Toraja, Palembang, Lampung, Dayak, Batak, Timor, Timor Leste, dan sebagainya.
Harapan keluarga muda ini untuk memiliki gereje sendiri sejalan dengan harapan banyak orang Kristen lainnya di Bojonggede. Tanggal 15 April 200, direncanakan pembangunan gedung Gereja Oikumene di Pura Bojonggede. Kepala Katedral Bogor, Pastor Ignatius Heru Wihardono menyarankan agar umat Katolik turut bergabung dan membangun gereja tersebut. Gereja ini bisa menjadi batu loncatan untuk memiliki gereja sendiri.
Di gereja ini, pujian kepada Tuhan disamatkan bersama oleh umat Katolik, Advent, Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK), dan Gereja Isa Almasih (GIA). Mereka berdoa dengan jatah waktu yang sudah diatur. Ekaristi mingguan terus berlangsung hingga pihak Gereja Katolik membeli sebuah rumah yang disulap jadi pastoran pada Juli 2005dengan harga 27 juta ditambah biaya renovasi sekitar 20 juta.
Sambil bertemu di Gereja Pura, umat terus diperhadapkan pada pertanyaan: kapan memilik gereja sendiri? Pemicu lain memiliki gereja datang dari Uskup Emeritus Bogor Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM. Pada 8 April 2007, Mgr. Angkur mendesak pengurus untuk memikirkan kemungkinan memiliki gereja baru. Akhirnya, terjadi penggalangan dana besar-besaran tahun 2008. Hasilnya, umat berhasil membeli sebidang tanah di Tonjong Tajurhalang seluas 1.590 meter persegi senilai 159 juta. “Eden” kecil ini sangat asri. Penuh aneka pohon buah-buahan yang rindang. Berada di lokasi pemukiman penduduk yang kondusif, berpagar tembok dan stretegis.
Lahan ini kemudian digunakan untuk pembangunan pastoran baru dan umat rutin beribadah di tempat ini hingga hari ini. Selebihnya, Mgr. Paskalis menugaskan Pastor Endro sebagai pendamping umat di Bojonggede sejak tahun 2013 hingga kini menjadi pastor paroki pertama.
Tiga Dialog
Tahun 2020, umat Bojonggede hampir mencapai 600 kepala keluarga dan masih menyandang status wilayah terluas di area pastoral Katedral Bogor. Dari aspek Sumber Daya Manusia, Pastor Endro menyebutkan, Bojonggede memiliki potensi besar berkembang karena umatnya memiliki latar belakang profesi dari berbagai disiplin ilmu. Paling penting, tersedia cukup tenaga potensial di bidang liturgi dan pewartaan dengan latar belakang pendidikan seminaris, mantan frater, dan lulusan sekolah pastoral.
Kini, Paroki Bojonggede memiliki 13 lingkungan dengan sejumlah komisi. Ada aneka kegiatan liturgis maupun non-liturgis yang dilaksanakan. Ada Misa bersama, Jalan Salib, doa Rosario, dan Pendalaman Kitab Suci. Sedangkan non-liturgis ada rapat bersama, latihan koor, sarasehan, rekoleksi, program pembinaan orang muda, dan sebagainya.
Meski sebagai stasi kala itu, geliat Seksi Komsos berhasil menerbitkan Majalah BENTARA untuk kebutuhan umat. Ketua Lingkungan St. Yoseph Kornelis Ruben menambahkan dirinya bersyukur stasi Bojonggede sudah mendapat status paroki.Kornelis berharap pelayanan sakramen terus berjalan sesuai umat. Pastoral khusus umat Bojonggede adalah pastoral yang bersifat kategorial.
Misal, pastoral keluarga untuk pandampingan rohani terhadap masalah rumah tangga; pastoral pendidikan untuk pendidikan iman anak-anak Katolik di sekolah negeri; pastoral solidaritas untuk menjalin kerja sama dan menumbuhkan kerukunan hidup bersama di tengah kemajemukan; pastoral partisipatif untuk mendorong umat terlibat aktif dalam berbagai kegiatan gerejani. “Dan pastoral ekonomi untuk memfasilitasi umat mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah,” harap Kornelis.
Di balik semua harapan itu, sebut Pastor Endro, ada satu kegiatan yang paling penting yaitu dialog. Pastor Endro menyebutkan dialog yang dimaksud adalah dialog dengan aneka ragam budaya dengan menghargai budaya Sunda, dalam keanekaragaman dengan budaya Jawa, Tionghoa, Batak, Flores, dan sebagainya. Keanekaragaman budaya ini, telah dipersatukan dalam budaya baru, yaitu Indonesia. “Inkulturasi, sebagai pendekatan budaya merupakan strategi pewartaaan Kabar Sukacita selaras dengan rasa perasaan budaya umat,” sebutnya.
Selain dialog dengan budaya, sebutnya, ada juga dialog lintas iman dengan berbagai umat beragama yang hidup berdampingan, yang dilakukan dengan jujur. “Karena itu, dialog lintas iman perlu dikembangkan sampai pada pengalaman akan Allah yang mempersatukan.” Tidak saja dengan budaya dan iman, Gereja Bojonggede bisa bertahan karena adanya dialog dengan kaum miskin. Ada berbagai upaya pemberdayaan terus menerus secara kreatif, agar Gereja dapat mewujudkan hati orang Samaria yang baik, yang peduli pada korban-korban perjalanan hidup dewasa ini.
Kerahiman Ilahi
Di balik tiga dialog itu, ada satu kekuatan spiritual lain yang hendak ditanamkan di hati umat yaitu kepasrahan kepada Kerahiman Ilahi seperti St. Faustina. Mgr. Paskalis mendedikasikan nama St. Faustina dengan banyak harapan bahwa Paroki Bojonggede akan menjadi pusat Kerahiman Ilahi Keuskupan Bogor. Berbicara soal Kerahilam Ilahi, kita berbicara soal Paroki Bojonggede.
Tugas ini tidak mudah, tetapi Pastor Endro telah menyiapkan berbagai program khusus yang ditunjak sejumlah sarana prasarana. Kini sudah ada ruang Adorasi Kerahiman Ilahi, akan dibangun lagi patung St. Faustina dan patung Yesus, Sang Kerahiman Ilahi. Akan dibuat tempat ziarah Kerahiman Ilahi. Ada Kelompok Kerahiman Ilahi sebagai kekhasan Paroki Bojonggede.
Kata Pastor Endro, nama Faustina bukan terjadi begitu saja. Nama ini datang dari Mgr. Paskalis, atas refleksinya pada tahun suci luar biasa Kerahiman Ilahi yang dicanangkan Paus Fransiskus, 2016 lalu. Umat diharapkan meneladani St. Faustina yang memahami misteri Kerahiman Ilahi dalam hidupnya. ”Melalui penampakan-penampakan-Nya kepada St. Faustina, Yesus ingin agar kita secara khusus menghormati Kerahiman-Nya yang tak terhingga,” ujar Pastor Endro.
“St. Faustina mengajarkan agar memiliki sifat rendah hati, percaya kepada Yesus, sikap diam meski tak dihargai, tidak menyombongkan diri, sifat cinta kasih, bersedia memikul salib, dan memiliki harapan dalam hidup. Inilah keutamaan hidup yang harus dihayati umat,” demikian Pastor Endro.
Yusti H. Wuarmanuk