HIDUPKATOLIK.COM – Berbuat tanpa terlihat
Memberi tanpa diketahui
Nah, kalau tidak terlihat juga tidak diketahui
Karena memang TIDAK TERLIBAT…..?
(maaf, izinkan saya nyegir sekelebat…?)
Pandemi lagi dan lagi…..! Dan lagi-lagi pandemi….!
Ini bukan permainan kata sekadar menghasilkan rima cantik. Sejujurnya sedikit ungkapan kejenuhan akan situasi masih terus begini. Tapi ya… hendak berkata apa, sebab nyata masih di depan mata. Perayaan demi perayaan maupun ragam pertemuan telah berlalu secara prihatin serta harus cukup puas dalam jaringan saja.
Nyaris setahun sudah, bukan waktu singkat untuk merenung. Kelamaan bahkan menurutku. Sudah bukan waktunya lagi bertanya apakah semua ini atau ada ada di balik sana? Sudah terhapus pertanyaan seputar itu, meski tetap tersisa tanya. Hanya saja pertanyaannya terganti jadi: “Apa yang harus dilakukan?”
Perihal sebab apa ini terjadi, sudah tidak lagi mengganggu pikiran(ku). Sekadar informasi kecil, curahan pikiran ini kutulis persis hari Rabu Abu, 17 Februari 2021, 240 menit setelah mengikuti Misa dari Pusat Pastoral Keuskupan Agung Jakarta (Puspas KAJ) “Samadi”, Klender, Jakarta Timur, dibawakan Romo Romanus Heri S, dan Romo Yustinus Ardianto. Maafkan, bukan maksud melapor ke khalayak aku sudah ikut Misa Rabu Abu ya…, tapi karena inspirasi ini datang dari menyimak khotbah Beliau yang sudah menghapus sebelas tanya di benak ini sejak minggu lalu. Jadi sekadar niatan berbagi sebagaimana dikatakan Romo Romanus: “Jangan bikin mampet rahmat dan berkat.”
Kalimat simpel dan lugas itu telah menjawab semua diskusi ‘intim’ bersama dua kakakku sejak beberapa hari sebelum Rabu Abu tiba. Bukan tidak mungkin pula jadi perdebatan rumit serupa di komunitas, WAG kepengurusan, pelayanan maupun umat tiap lingkungan. Sebagaimana sempat diungkapkan Romo juga di awal khotbah, sampai malam terus mengalir ke Beliau pertanyaan melalui WA perihal tata cara pemberian abu terlebih cara mendapatkan untuk umat yang hanya bisa ikut Misa daring.
Secara sederhana aku menangkap pesan, tak perlu berkutat pada masalah apalagi tersangkut perbedaan pendapat, tapi lebih ke bagaimana memperbaiki kondisi hati. Aku sendiri sempat gelisah soal bagaimana mendapat abu karena terbersit rasa kurang afdol memulai masa pertobatan jika tanpa tanda abu di kening. Sempat merasa bersalah tidak maksimal mencari cara mendapatkan abu sebagaimana kakakku berusaha keras demi mendapatkannya. Termasuk terus membahas berkali kali dalam percakapan (baca: perdebatan) intim kakak beradik. Sempat aku mencari beberapa pembenaran pribadi, bahwa ini bukan salahku, apalagi kurang upaya. Situasi tak menentu yang kendalinya bukan ada padakulah sumber permasalahan. Kutambahkan pula memaafkan diri sendiri dengan ‘menyalahkan’ pandemi yang masih bercokol.
Akhirnya tiba pada pemikiran sederhana, di mana tata cara, aturan termasuk perlambang memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah perbaikan kondisi hati. Bahwa abu adalah simbolisasi, namun di atas segalanya adalah pertobatan dalam batin. Tanpa terlihat, apalagi memperlihatkan, pertobatan akan lebih bermakna.
Sempat kubaca ini: “Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:16-18) – *terima kasih kakakku sudah mengirimkan ayat ini.
Kembali soal simbolisasi abu sebagai awal memasuki masa puasa, berpantang dan pertobatan. Membahas cara medapatkan abu membuatku tergelitik, ditambah perihal perbuatan tidak terlihat ini. Antara tidak terlihat saat berpuasa dengan tidak puasa atau tidak memperlihatkan sudah berbuat baik dengan tidak berbuat baik adalah area abu-abu yang menggelikan.
Semoga karena tidak mendapat abu sebagai perlambang secara fisik dan sibuk berdebat, tidak membuatku memasuki masa pertobatan dengan ‘bersembunyi’ di balik kalimat bijak soal terlihat dan tidak terlihat atau dalam bahasa sederhana jangan pamer. Aku tidak terlihat berpuasa karena memang tidak berpuasa? Tidak tampak berbuat baik bukan karena menyembunyikan sebagai sebuah kerendahan hati, tapi memang karena tidak berbuat baik? Aaahhhh… *aku jadi menertawakan diri sendiri nih.
Dan bimamana ada yang tanya: “Kamu tidak puasa dan berpantang?”
Kujawab penuh percaya diri: “Aaahhh.. kan nggak perlu diperlihatkan… sebab kalau aku melakukan itu karena ingin dilihat orang, maka upahku sudah selesai.”
Tapi apakah sebenarnya aku melakukan 3 hal sederhana, sedekah, berdoa dan berpuasa sebagaimana dihimbau selama Masa Prapaskah?
Hmmmmm….. lagi lagi.. ini soal terlihat dan tidak terlihat. Juga bukan perkara simbolisasi terpenuhi atau tidak. Tetapi soal ketaatan dengan tetap menghargai segala tradisi, tata cara, aturan termasuk perlambang.
Dan perdebatan intim kakak beradik pun berakhirlah di misa pagi Rabu Abu dengan membawa perenungan dalam hati: “Jangan bikin mampet rahmat dan berkat, apalagi sampai pelit membagi rahmat dan berkat, sebab Tuhan sudah memberi semuanya secara cuma-cuma.
Tugas kita sederhana: membuka hati untuk menerima semua dari-Nya secara rendah hati dan sukacita tentunya.
Permisiiii… ini bukan sok bijak…
Sekadar paparan diskusi ‘intim’ kakak beradik
Yang juga tidak perlu berakhir di sebuah titik
Sebab bagiku beribadah butuh keterbukaan hati
Agar sabda pun tidak mati apalagi jadi sebatas tradisi
Salam Cinta: Ita Sembiring, Kontributor, Pekerja Seni