HIDUPKATOLIK.COM – BILA sejak pandemi, sekolah sudah banyak beradaptasi sehingga menjawabi model pembelajaran digital, apakah homili juga mengalami ‘sentuhan?’ Bertanya demikian beralasan. Ibadah sudah memiliki ritus yang tetap. Ruang fleksibel justru ada dalam homili.
Tidak hanya itu. Bagi banyak orang, target mengikuti Misa adalah menerima Komuni. Meski homili ‘apa adanya’, tetapi mereka ‘terobati’ dengan Komuni. Lalu apa yang terjadi di era Misa online di mana umat hanya menerima Komuni Batin sementara homili nyaris membawa pesan membekas?’
Pertanyaan ini tentu bukan baru sekarang. Ia terlanjur menjadi realitas hal mana dibahas penulis dalam buku Homili yang Membumi (Kanisius, 2017). Banyak homili yang sangat abstrak-eksegetis. Pengkhotbah cenderung menjelaskan ‘benang merah’ antara tiga bacaan. Hal ini tentu tidak dilarang. Sayangnya, kerap bacaan kedua tidak memiliki keterkaitan dengan dua bacaan lainnya.
Pola ini juga memberatkan malah membosankan. Ia diawali dengan sebuah gambaran abstrak yang kemudian diakhiri dengan penerapan moral. Meski bagi orang yang berpendidikan, pola deduktif seperti ini bisa dipahami. Tetapi kehadiran umat dalam perayaan adalah untuk merayakan imannya. Ia menemukan alasan untuk bersyukur dan bukan untuk memenuhi pengetahuan teologis-eksegetis.
Homili juga masih kerap bernuansa moralistis. Umat diperlakukan sekadar ‘pendengar’ yang menunggu arahan moral. Mohana, Joao dalam Como Ser un Buen Predicador, 1995 mengritik beban moral. Baginya, para pengkhotbah mesti menyadari bahwa pendengar adalah umat Allah yang perlu dihargai.
Homili, demikian Luis Maldonado dalam Homlias Seculares perlu bersifat indikatif bukan imperatif. Kepada umat perlu ditunjukkan apa yang sedang dilakukan Allah dan bukan dipaksakan tentang apa yang harus ia lakukan.
Era Digital
Terminologi homili digital sebagai tawaran solusi tentu tidak bisa dipahami secara harafiah. Ia hanyalah sebuah ungkapan yang dipinjam dari hadirnya TV digital demi menggantikan TV analog.
Sebelum pandemi, homliki masih bersifat analog. Sebagaimana TV analog, kejelasan dan ketertarikan orang sangat ditentukan oleh jarak fisik dengan pengkhotbah yang berada dalam satu lokasi, maka sebuah homili analog yang terjadi dalam ibadah tatap muka. Kejelasan homili ditentukan oleh jarak fisik.
Hal itu berbeda dengan homili digital. Ia tidak ditentukan oleh kekuatan sinyal yang dimungkinkan oleh peralatan komunikasi yang dimiliki. Di sana terbuka kemungkinan untuk menangkap lebih banyak alternatif dengan suara, gambar, dan sajian yang lebih menarik. Pandangan seperti ini bukan tak mungkin terus berlanjut setelah pandemi. Karena itu pembenahan perlu dilakukan.
Pertama, homili perlu aktual dan kontekstual. Kehadiran teknologi elektronik melalui perangkat komunikasi telah menyempitkan dunia bak desa kecil. Di sana, semua orang bisa mengakses informasi yang sama.
Hal ini menjadi peluang untuk mengawali homli dengan menyentil peristiwa aktual. Tentu saja homIli bukan sekadar komentar atas peristiwa. Yang terjadi, peristiwa nyata menjadi titik berangkat. Kegalauan umat diakomodir. Pengkhotbah kemudian mengajak pendengar untuk mencari makna yang lebih dalam.
Kedua, pengkhotbah perlu memilih peristiwa sederhana yang bisa menjadi tanda zaman. Tanda ini oleh Casiano Floristan diartikan sebagai tanda melalui mana Tuhan menyatakan diri-Nya.
Hal ini sejalan dengan tunTutan era digital. Siapapun menghendaki refleksi yang baru yang tidak sekadar mengulang-ulang hal yang sama tetapi memberi perspektif baru. Selain itu, kebaruan dalam komunikasi seperti ini juga meyakinkan pendengar bahwa apa yang dikatakan ‘in illo tempore’ (pada waktu itu), kini terpenuhi.
Model seperti inilah dilakukan Yesus saat membawakan khotbah di sinagoga. Setelah membacakan nas Kitab Suci, Ia menyakinkan pendengar bahwa apa yang disabdakan itu sedang terpenuhi: “”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Lukas 4, 21). Apakah homili kita juga seperti ini?
Robert Bala, Pengamat Homiletika