HIDUPKATOLIK.COM – DENGAN belajar bahasa Inggris, anak-anak akan memiliki kesempatan melihat dunia, menjadikan mereka warga global.
USAI kuliah, Roswita Asti Kulla ingin mulai mengaplikasikan ilmunya. Dia tak sabar mewujudkan mimpi-mimpinya. Namun, ia jatuh sakit. Meski sempat protes kepada Tuhan, tetapi perempuan yang akrab disapa Asti ini tidak berhenti. Dia menemukan kenyataan mimpinya itu di pesisir bersama anak-anak yang masih awam dalam baca tulis, juga komunikasi. Di sanalah alam mimpinya menjadi nyata.
Asti tahu, perjuangan orangtua dan sanak saudaranya di kampung halamannya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dia ingin keluar dari situasi itu lantas hijrah ke Malang, Jawa Timur demi mengenyam pendidikan bahasa Inggris.
Baginya, berjuang dalam kuliah sudah seperti hobi. Selama empat tahun kuliah dia mengalami pergumulan panjang, tetapi tetap mengandalkan Tuhan dalam setiap perjuangan. Doa Bapa Kami dan tiga kali Salam Maria menjadi andalannya. “Saya sempat protes kepada Tuhan saat mengalami sakit tahun 2015,” ujar Asti.
Inggris Pesisir
Pada satu titik Asti bertanya, kenapa dirinya dihadirkan di bumi, jika tidak berguna bagi sesama? Ia lalu merasa, selama ini banyak menuntut kepada Tuhan. Saat ia akhirnya merasakan sapaan Tuhan, ia pun menangis sejadi-jadinya. Saat itu juga dia membangun tekad untuk kembali mewujudkan mimpinya, membantu keluarga dan anak-anak pesisir.
Dalam keadaannya yang belum pulih dari sakit, Asti terjun ke pesisir Pantai Dahang, Pantai Watu Bela, Pantai Marosi, dan Pantai Kerewe. Ia berkelana hingga ke desa-desa di Sumba Barat. Mulanya, ia ikut menggembala kerbau dan kambing bersama anak-anak di sana. Sembari menikmati air kelapa segar, ia menghabiskan waktu bersama mereka. Ia mengikuti ritme anak-anak pesisir yang biasa terjun bebas ke laut.
Seiring waktu, Asti membuka kelas bahasa Inggris untuk anak-anak pesisir itu. Berjalan satu tahun, ada ratusan anak dari berbagai desa mengikuti kelas “English Pesisir”. Kelas ini diadakan di Pantai Kerewe. Jika cuaca tidak mendukung, hujan misalnya, mereka akan berteduh di lopo-lopo atau pendopo di sekitar pantai. “Inilah yang menjadi penyemangat bagi anak-anak dalam belajar. Bebaskan jiwa mereka, tidak perlu banyak dituntut, bukan sekadar cerdas, mentalitas mereka juga harus dibangun. Hal itu yang sering menjadi keprihatinan, krisis mental,” tuturnya.
Dalam kebersamaan dengan anak-anak. Masih pula, Asti menemukan anak-anak dengan sumber makanan ala kadarnya. Namun, ia tahu betul anak-anak pesisir ini mempunyai impian. Dia tak mau impian mereka terhalang karena masalah ekonomi seperti yang pernah ia alami. “Dari pengalaman itu, saya serasa ditampar. Betapa banyak saya menuntut Tuhan dan kurang bersyukur. Sementara mereka begitu bahagia,” ujarnya.
Di tengah proses masuk pesisir ini, Asti menemui tantangan yang tak mudah terutama terkait Sumber Daya Manusia (SDM), ekonomi, dan kebudayaan. Dia menambahkan, dulu dia enggan kembali ke Sumba, ingin ke luar daerah, dan mencari pengalaman lain, bahkan berencana melanjutkan studi ke luar negeri. Namun, pesisir akhirnya menjadi ladang baru baginya untuk mewujudkan mimpi dan misinya. Kendati banyak tantangan, Asti optimis. “Pola pikir yang baik, kreatif akan membantu lahirnya skill yang baik. Dengan demikian, kemandirian juga akan tumbuh. Semua itu menjadi fondasi bagi perkembangan manusia,” imbuhnya.
Menyapa Anak
Tanggap akan situasi SDM itu, Asti tak tinggal diam. Dia mulai menyapa anak-anak, baik dari pesisir maupun kampung di Sumba Barat. Dia menjadikan alam sebagai sekolah, di mana anak-anak bisa belajar secara natural. “Saya terpanggil untuk tidak hanya menjadi penonton. Saya harus mengambil peran mengembangkan SDM mereka, dengan SDM dan SDA mereka akan mampu mendunia,” imbuhnya.
Asti terjun langsung ke lapangan. Dia mengajar menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Dia juga punya misi agar dengan belajar di alam, anak-anak belajar mencintai lingkungan, antara lain menjaga lingkungan dari sampah plastik dan sampah lainnya. Dia menyisihkan waktu 15-20 menit untuk mengajak anak-anak membersihkan sampah dalam setiap pertemuan.
Pelan-pelan, Asti mengenal dunia anak-anak pesisir. Dia mulai menyelami komunikasi mereka dan mulai menyisipkan pelajaran bahasa Inggris. Dengan platform English Goes to Kampung (EGK), Asti hendak mengatakan, selamat datang di dunia global. Sekaligus, dia ingin membuka pikiran mereka, dengan moto penggerak think globally, act locally. Dia percaya, hal itu bisa menjadi arah untuk belajar berpikir secara holistik. “Saya tekankan pada mereka, bahasa Inggris itu tidak menakutkan agar mereka senang mempelajarinya. Saya tidak terlalu ketat dengan grammar, tetapi pada hal-hal praktis,” katanya menerangkan.
Asti mulai memperkenalkan bahasa Inggris dari yang sederhana. Baginya, minimal anak-anak bisa menawarkan atau menjual, misalnya kelapa muda, kepada turis asing dalam bahasa Inggris. Namun lebih dari itu semua, perlulah dilatih hospitalitas kepada tamu asing sehingga tidak menjadi sungkan dan takut berkunjung.
Sejak 2015-2017, Asti berjalan secara mandiri. Dalam perjalanan waktu, banyak Orang Muda Katolik (OMK) yang tertarik dan bergabung dengan karyanya. Di sinilah kesempatan emas baginya untuk menyampaikan kepada orang muda, bahwa Gereja bukan hanya bangunan saja. Gereja itu dinamis dan memiliki karya yang bisa menyampaikan pesan kasih kepada banyak orang.
Komunitas EGK yang Asti dirikan ini menjadi wujud pemberian diri dan sukarela, jelas tanpa gaji. Mereka yang terlibat dalam karya ini pun diajak mengevaluasi proses. Asti juga mengajari mereka untuk regenerasi. Baginya ini juga menjadi kesempatan untuk saling peka dan peduli satu sama lain.
Tanpa Kurikulum
Ada sistem dalam kelas alam ini, yaitu dalam level-level pembelajaran, kelas rainbow untuk TK, sky untuk kelas 3-4 SD, moon untuk kelas 5-6 SD, dan star untuk jenjang SMP-SMA. Kendati demikian, pembagian bukan hanya berdasarkan kelas, namun kemampuan anak-anak. “Kadang kami menemukan ada anak SD yang bisa bergabung di kelas star. Ada kebanggaan di antara mereka tatkala mereka bisa mengajari satu sama lain,” paparnya.
Meski belum ada kurikulum baku yang diterapkan dalam pembelajaran di alam ini, Asti tetap optimis fondasi SDM mereka bisa dibangun sejak dini. Kegigihan itu dilirik oleh Changemaker for a Better World Program Singapore International Foundation yang menganugerahkan penghargaan kepada Asti sebagai Key Opinion Leader dari Indonesia tahun lalu.
Asti memiliki passion dalam pendidikan semacam itu. Dia serasa mencurahkan waktunya untuk pendidikan bagi murid-muridnya. Kini EGK merupakan kelas yang cakupannya luas, yaitu desa-desa di tiga kabupaten yang berbeda. Di antara anak-anak itu, 90 persen anak belajar di sekolah formal. Sebagai tambahan, mereka setia mengikuti program pengajarannya. Asti tak pernah risau soal jarak. Pelayanan terjauhnya adalah 40 kilometer, lintas kabupaten. “Jika ini bukan panggilan dan sebuah misi, saya rasa saya tidak akan sanggup dan semangat untuk meneruskannya. Pelayanan sudah menjadi misi hidup saya,” pungkasnya.
PROFIL
Roswita Asti Kulla
Pendiri English Goes to Kampung
strong>
Pendidikan:
SD Matanyira 1998-2004
SMP 1 Lamboya 2004-2007
SMA 1 Waikabubak 2007-2010
Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur 2010-2014
Karya:
Guru SMA 2015-sekarang
Volunteer Pendidikan Anak EGK 2015-sekarang
Pendiri EGK Foundation
Pembicara dalam Journalism Digital Challenge and Social Media 2019, Sumba Millennials Festival 2019
Penghargaan:
Mewakili Indonesia dalam International Youth Forum yang ke 11tahun di Roma, 2019
Key Opinion Leader Indonesia, sebagai Changemaker for a Better World Program Singapore International Foundation, Singapore, 2019
Frater Nicolaus Heru Andrianto
HIDUP edisi 19, tahun 2020