HIDUPKATOLIK.COM – PERAYAAN Tahun Baru Imlek pernah ditiadakan di Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru. Hal ini berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu masih diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang menyatakan bahwa pemerintah hanya mengakui 5 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Dengan demikian, Khonghucu yang dianut oleh khususnya etnis Tionghoa, tidak disebut sebagai agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membatasi hak-hak sipil penganut Khonghucu. Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia. Persekolahan di bawah Yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan agama Khonghucu. Kantor Catatan Sipil pun tidak melayani pencatatan pernikahan secara Khonghucu.
Tahun Baru Imlek atau Sincia pada dasarnya adalah peristiwa budaya tanda syukur petani Tiongkok pada hari pertama bulan pertama awal tahun. Perayaan ini berhubungan dengan dimulainya musim semi. Perayaan Imlek berlangsung selama 15 hari sejak malam Sincia hingga malam ke-15 bulan pertama yang dikenal dengan Cap Go Meh. Semuanya menurut penanggalan Tiongkok berbasis bulan.
Sebagai peristiwa budaya, Sincia dirayakan oleh masyarakat agraris Tiongkok sejak zaman Dinasti Shang (abad ke-17 SM hingga abad ke-11 SM), jauh mendahului agama-agama yang dikenal sekarang. Pada kemudian hari, migrasi orang-orang Tiongkok ke seluruh dunia, ikut membawa budaya luhur dan bersyukur ini secara turun-temurun ke tempatnya yang baru. Selanjutnya ikut dibawa pula agama-agama Timur khususnya Khonghucu bersama masyarakat itu.
Dari sejarahnya, Sincia tidak melekat dan bukan perayaan agama tertentu. Di Indonesia, budaya dan agama yang berasal dari negeri Tiongkok ini dianggap satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kebijakan politik terhadap etnis Tionghoa berdampak pula pada agama yang dianutnya, dan sebaliknya pula.
Politik Orde Baru
Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut di atas menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, serta adat istiadat Cina hanya boleh dirayakan dalam ruang lingkup tertutup. Keputusan politik ini dikeluarkan karena rezim Orde Baru khawatir akan munculnya kembali bibit-bibit komunisme melalui etnis Tionghoa pasca G30S/PKI.
Agar etnis Tionghoa dapat berbaur secara cepat, juga dianjurkan menikah dengan penduduk setempat dan menanggalkan bahasa, agama, kepercayaan, serta adat-istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, khususnya yang menganut agama Khonghucu. Misalnya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang menggunakan nama Tionghoa. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa.
Selain itu hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Untuk menyiasati hal itu, pemeluk Khonghucu umumnya memilih agama Budha atau Kristen/Katolik dalam KTP.
Akibat dari larangan politik tersebut adalah hilangnya 1-2 generasi Tionghoa Indonesia yang tidak menguasai bahasa dan budaya Tiongkok, yang kini berperan penting dalam pergaulan global selain bahasa Inggris. Selain itu terbatasnya penggunaan aneka produk unggulan Tiongkok seperti pengobatan herbal, kedokteran, aneka jenis teknologi, ekonomi dan perdagangan, pendidikan, dll.
Masa Reformasi
Rezim Orde Baru berakhir tahun 1998 digantikan dengan era Reformasi. Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam pertimbangannya, disebutkan bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 itu dirasa oleh keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.
Penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Karena itu, Keppres ini juga mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 sehingga penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dapat dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus lagi. Keputusan tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000 sekaligus mengakhiri ketidakpastian bagi umat Khonghucu selama lebih dari 30 tahun.
Pengakuan Khonghucu sebagai agama juga diikuti dengan diperbolehkannya budaya Tiongkok dipelajari dan dipertunjukkan di Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak sipil dan berpolitik, serta ekonomi sosial dan budaya, didapatkan oleh etnis Tionghoa sejak era Reformasi ini.
Hal tersebut ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif yang berlaku bagi yang merayakannya. Kebijakan Gus Dur ini kemudian digenapkan oleh Presiden ke-5 Megawati yang menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Perd.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres ini menghapus istilah Cina dengan kembali ke sebutan etnis Tionghoa.
Kebijakan pemerintahan Presiden SBY ini dikeluarkan di akhir masa 2 periode kepresidenannya. Waktu itu menjelang Pemilu/Pilpres 2014.
Khonghucu diakui kembali sebagai agama di Indonesia seperti era sebelum Orde Baru. Peringatan Tahun Baru Imlek yang dianut oleh masyarakat Tionghoa khususnya Khonghucu ikut diakui sebagai hari libur nasional. Penetapan hari libur ini merupakan konsekuensi logis negara Pancasila yang berlaku adil terhadap semua agama.
Umat agama Khonghucu di Indonesia sekitar 100-an ribu, relatif tidak banyak. Hal ini bila dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia yang menurut Sensus Penduduk 2020 adalah 270,2 juta jiwa lebih. Etnis Tionghoa yang juga menganut agama Budha, Kristen, Katolik, Hindu, dan Islam di Indonesia, kini sudah mendapatkan kembali pengakuan politis dan dapat merayakan Imlek secara bebas merdeka.
Xin nien khuai le … Selamat menyambut Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili, 12 Februari 2021.
Cosmas Christanmas, Kontributor