HIDUPKATOLIK.COM – ADA asap, ada api.
Tahun 2011 adalah awal bagi saya mengenal media sosial bernama Facebook. Kala itu penggunanya masih belum sebanyak sekarang, setidaknya untuk kalangan teman-teman di SMP saya waktu itu.
Bila kita menulis di kolom pencarian dengan nama tertentu yang umum, nama akun yang muncul hanya dua-lima orang saja. Bisa dibayangkan bila saat ini kita menulis di kolom pencarian dengan nama Joko, misalnya, betapa banyak akun yang akan muncul.
Lagi pula, tren saat itu masih sebatas membuat status, lebih-lebih keluhan personal tentang tugas sekolah maupun kata-kata bijak yang sifatnya memotivasi diri sendiri. Berbeda dengan tren sekarang yang sudah lebih maju, seperti menggonta-ganti foto atau membuat story dengan mengandaikan perangkat yang lebih memadai.
Mulai tahun 2013, terasa sekali, hampir sebagian teman sudah setidaknya memiliki satu akun Facebook. Kendati belum dipasang foto, status, bahkan tidak pernah dipakai sama sekali, setidaknya tidak malu apabila ditanya, “Eh nama Facebookmu apa?”
Lebih lanjut, di era yang kurang lebih sama, muncul tren baru, orang mulai jarang bertanya akun Facebookmu apa, tetapi “Eh pin bb dong.” Sampai di sini, bukan berarti FB ditinggalkan, tetapi FB lebih menjadi media awal yang sifatnya mengantar pada media yang lebih intim seperti BBM atau juga WA.
Lambat laun, BB mulai tergeser oleh Android dengan segala kelebihannya, dengan aplikasi yang makin beragam dan lebih menarik. Lantas, kini, di tahun 2021, nampaknya tinggal segelintir orang muda yang masih memakai FB. Hampir semua anak muda cenderung lebih memilih Instagram sebagai media komunikasi untuk berbagi foto, video, caption bahkan dengan adanya fitur instastory, anak muda kini bisa berbagi segala aktivitas hariannya dengan fitur yang menarik dan beraneka ragam.
Merenungkan media sosial ini, saya teringat momen pendidikan, lebih-lebih waktu di Seminari Menengah. Kala itu para seminaris (pelajar yang belajar di seminari), tidak diizinkan membawa ponsel agar lebih fokus dengan pendidikan awalnya sebagai calon imam. Praktis, akses internet hanya diizinkan bila amat mendesak dan menyangkut soal tugas sekolah. Dengan itu, tidak ada lagi akses media sosial, kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling dinanti, sebab di sana ada jadwal bernama ‘bebas keluar.’ Bebas keluar adalah saat bebas bagi kami untuk keluar dari area seminari entah untuk pergi makan bakso, belanja alat mandi, alat tulis, atau sekadar jalan-jalan ria bersama sahabat.
Namun demikian, bebas keluar pertama-tama menjadi spesial lebih karena adanya kesempatan bermedia sosial ke warnet yang ada di sepanjang jalan seputar seminari. Mengingat amat terbatasnya warung internet, tidak jarang, sebelum lonceng dibunyikan, para seminaris sudah berbondong-bondong mengantre di pintu gerbang dengan harapan bisa segera keluar dan bisa duduk santai di kursi warnet yang terbatas itu.
Uniknya, ada satu aturan seminari yang melarang kami untuk berlari. Artinya, ketika bebas keluar ini, kami hanya boleh berjalan. Maka, bagi mereka yang sadar diri bahwa kemampuan berjalannya pelan, akan merengek untuk minta di-booking-kan teman deket yang dirasa memiliki kemampuan berjalan lebih cepat.
Bisa dibayangkan situasi puluhan orang berjalan cepat hanya demi warnet. Setiap kali bel bebas keluar berbunyi, setiap dari kami ambyar, ritual jalan cepat kembali terjadi pukul 10.00 WIB hari Minggu dan 13.45 hari Sabtu. Apa yang sebenarnya dicari pertama kali oleh para seminaris? Alih-alih membuat tugas sekolah yang perlu akses internet tidak lain dan tidak bukan adalah membuka media sosial.
Kata yang pertama kali diketikkan di kolom Search Engine selain Youtube adalah ‘FB,’ tidak lama kemudian setiap layar komputer menampilkan tampilan FB yang masih khas waktu itu. Masih uniknya, sampai tahun keempat saya di sana, rutinitas jalan cepat itu masih dibudidayakan dan dilestarikan. Semoga sampai saat ini masih lestari, meski dengan media yang barangkali berbeda.
Pengalaman Seminari Menengah ini, memberi cermin yang lebar bagi kita kaum muda, bukan hanya seminaris. Dorongan untuk memposting foto, membuat caption sebijak mungkin, membuat video seuwu mungkin, layak untuk direfleksikan lebih mendalam. Alih-alih untuk berkomunikasi dengan orangtua, mencari tugas atau referensi, atau berbagi kabar gembira, ada suatu api yang barangkali belum dideteksi dan perlu direfleksi. Api itulah yang sesungguhnya menciptakan dan memberi energi bagi para seminaris untuk bersemangat berjalan cepat, berlomba-lomba sampai lebih dulu di garis finis bernama warung internet.
Api itu tidak lain dan tidak bukan adalah kebutuhan untuk eksis. Dengan eksis, naluri kita sebagai manusia untuk diperhatikan, dipuji, diapresiasi tetap mewujud, kendati hanya lewat ungkapan virtual. Tidak mengherankan bila media sosial menciptakan fitur like-komen, untuk mewujudkan kebutuhan itu.
Tentu, para pencipta media sosial memakai ilmu psikologi untuk mengembangkan media yang mereka ciptakan, sehingga semakin mampu membarakan api kita. Sadar atau tidak, arus pemikiran kita, dengan adanya media semacam ini, lalu semakin dipersempit dengan cara berpikir suka atau tidak suka. Apakah makna api itu soal eksis dan tidak, belum tentu.
Di samping beragam aspek itu, dengan cermin yang sudah ada ini, malahan sudah terdokumentasikan dengan rapi, kita diajak untuk bertanya tentang intensi murni. Siapa yang sungguh tahu tentang itu ialah diri kita sendiri. Benarkah caption dan fotoku yang kuunggah selama ini mencerminkan intensiku pada mulanya? Atau justru terbalik.
Persis di sinilah pentingnya refleksi diri dalam bermedia sosial. St. Ignatius Loyola sangat ketat soal seperti ini, jangan sampai sarana menjadi tujuan. Tujuan untuk mewartakan kabar gembira, misalnya, sebaiknya jangan malah menjadi sarana eksis.
Lebih jauh, bila sarana-sarana ini malah merintangi kita untuk sungguh murni demi tujuan mewartakan kabar gembira, malah harus ditinggalkan dan wajib memilih sarana yang lain yang makin menunjang. Hanya hati setiap pribadi yang tahu pasti soal kemurniannya intensinya, maka amat vital untuk selalu bertanya padanya, proses bertanya inilah refleksi.
Setelah panjang lebar, kisah dan ide tulisan ini tidak bermaksud untuk skeptis dengan media sosial yang ada atau bermaksud menghalangi semangat kaum muda dalam menggunakan media sosial sebagai sarana pewartaan atau intensi baik lainnya.
Namun, lebih mengajak kita semua kembali merefleksikan secara tajam dan ketat intensi dalam diri, supaya asap kita (tindakan) makin tersadari, mendalam dan semakin hari semakin murni sesuai intensinya (apinya), bukan karena agenda pribadi atau malah api keruh yang ternyata belum tersadari karena ketidaktahuan karena keengganan berefleksi. Anw, keep digging!
Fr. Klemens Yuris Widya Denanta, SJ, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta