HIDUPKATOLIK.COM – DALAM situasi pandemi semakin mengerikan ini, kita terkaget-kaget, tidak terduga dan mendadak, kehilangan saudara, kerabat, teman, tetangga karena terpapar covid. Bahkan kematian. Pun ketika virus itu menghampiri kita sendiri, mungkin juga ketika kematian merenggut kehidupan kita. Apalagi, menurut para ahli kesehatan, bagi yang lansia (60+) terpapar positif, mengidap komorbit seperti jantung dan diabetes, sehat kembali ibarat muhjizat atau bonus.
Kematian menjadi sesuatu yang sangat mungkin datang mendadak. Tidak terduga. Datangnya kematian ibarat pencuri di waktu malam. Karena itu seorang Martin Heidegger (1889-1976), salah satu filosof Jerman yang memfokuskan perhatian pada keberadaan manusia, menulis semua yang berada itu akhirnya menuju kematian. All being is a being towards death, lebih sarkastis lagi “being untho death”. Kebijakan orang Jawa mengatakan, “urip iku mung mampir ngombe” (hidup itu hanya mampir minum), nas-nas suci kristiani juga agama-agama lain, mengingatkan adanya kehidupan kekal. Hidup di dunia hanya sementara.
Di saat yang sama, kita disambar godaan, carpe diem (nikmati hari ini). Kapan lagi kita nikmati, hidup hanya sekali maka harus di-enjoyed sepuasnya, setelah mati jangan lagi ada penyesalan tidak sempat menikmati sehabis-habisnya kesempatan yang diberikan Tuhan. Untunglah godaan memabukkan itu umumnya tidak sempat dominan, sebab tertutup dengan harapan hidup kekal setelah mati. Teologi salib, bahwa penderitaan dan kematian adalah pintu menuju keselamatan kekal, hidup di dunia bukanlah penderitaan tetapi kebahagiaan karena ada harapan hidup kekal. Bahwa justru dengan belum pernah ada orang mati hidup kembali yang bercerita tentang kehidupan setelah mati, iman kita menguatkan. Hidup kekal adalah misteri, dan itulah dasar dari harapan hidup sesudah mati. Iman tanpa misteri adalah sia-sia.
Being untho death-nya Heidegger, hanya berlaku selama manusia hidup, bahwa kenyataan hidup manusia dan semua ciptaan akan berakhir dengan kematian fisik. Urip iku mung mampir ngombe, kita tangkap sebagai wisdom yang mengajarkan kita untuk mempersiapkan kehidupan kekal yang membahagiakan. Menikmati kehidupan dengan kepuasan duniawi hanya sementara.
“Die Empty”
Ketika sedang merenungi kehidupan sebagai persiapan menjemput kematian itu, saya berterima kasih oleh viral teman saya Th. Wiryawan dari grup Palingsah/BKSJ/Wyr Solution. Dia mengunggah isi kunci sebuah buku motivasi pengembangan pribadi. Judulnya, Die Empty. Unleas Your Best Every Day karangan Todd Henry, terbitan Penguin Group 2013. Sebagai buku motivasi seperti buku-buku Henry lainnya, ia bermaksud memotivasi orang/pembaca agar membuat kematian sebagai kekosongan. Die empty. Matilah dengan mengosongkan seluruh kebaikan yang ada dalam dirimu dan dibagikan kepada sesama. Karena itu, tanah paling mahal adalah kuburan sebab di sana ikut terkubur jutaan pikiran dan kebaikan orang yang tidak dibagikan kepada orang lain.
Saya tidak sampai membaca detail isinya, sebab materi dan penyampaian dikhususkan sebagai materi untuk kursus pengembangan diri. Tetapi saya menangkap ide besar buku Die Empty untuk mengarungi kehidupan, dalam situasi serba mendadak menghadapi kematian atau terpapar virus Corona-19 sebelum bermutasi ke virus baru. Menjemput kematian pun, tidak perlu diasosiasikan akan datang sebentar lagi, nanti, esok atau minggu depan, tetapi longgar kapan saja. Menjemput kematian adalah menghidupi hidup sendiri, redaksi lain dari rumusan Heidegger: hidup menuju kematian dan itulah fakta, sebuah pengakuan yang otentik.
Dalam keadaan siap menjemput kematian—kesiapannya ibarat perumpamaan 10 gadis penjemput pengantin, separuh cerdas separuhnya bodoh–buku Die Empty menawarkan sisi lain. Sisi sikap menjemput kematian tidak untuk kepentingan sendiri, melainkan kepentingan orang lain. Ketika orang menafsirkan kehidupan adalah menabung dan menumpuk kebaikan untuk diri sendiri, Henry Todd tidak menarik ke wilayah kehidupan rohani, tetapi ajakan agar orang mau berbagi dengan ide yang ada di kepala setiap individu, dan menjemput kematian dengan kepala kosong. Ide dan kebaikan harus dibagikan, tidak dibawa mati menyesaki lahan kuburan menjadi semakin subur oleh bertumpuknya ide dan kebaikan yang ikut terpendam.
Buah ide-ide dan kebaikan itu perwujudannya tidak hanya untuk kepentingan karier dan pekerjaan, tetapi juga untuk anak, orangtua dan banyak orang. Die empty akhirnya sebuah tujuan kehidupan, bahasa lain untuk pengkayaan dan pengembangan positif rumusan being untho death.
Mengasosiasikan diri berada dalam kelompok gadis yang cerdas, Henry dalam bukunya menganjurkan kita menjadi seorang developer, tipe orang yang merajut bersama secara konstan sumber dan kesempatan untuk menciptakan satu nilai. Dengan jeli seorang developer bisa memanfaatkan setiap kesempatan untuk menciptakan hasil bersama. Pendeknya, Heny mengajurkan orang fokus menjadi seorang developer, tidak menganjurkan sebagai driver, drifter, apalagi dreamer.
Nasihat pengembangan diri Henry Todd, kita pungut dalam konteks ajakan memberikan apa yang kita punya bagi kemaslahatan banyak orang. Ada titik temu antara ajakan agar kita berkalang tanah dengan kekayaan batin yang sebelumnya sudah dibagikan bagi banyak orang. Itulah die empty, yang tidak harus menunggu ketika menjelang ajal tiba, tetapi rutin melepaskan melepaskan kekayaan batin kita bagi banyak orang. Menjadi seorang developer, tipe seorang pekerja ideal setiap pekerja.
Mati dalam keadaan kepala kosong karena habis dibagikan bagi banyak orang, aktual dan mendesak kita lakukan terus menerus setiap saat, di tengah pandemi saat ini. Beriman tanpa berbagi adalah sia-sia. Beriman, berbelas kasih dan berbagi adalah tiga kata kunci yang imperative ketika kita mengambil tipe seorang developer. Dengan setiap hari melatihnya, kita berusaha membangun budaya hidup beriman yang altruistik. Menjemput kematian dengan cara inilah kita tidak ikut membuat semakin suburnya lahan kuburan. Die Empty.
St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor
Terimakasih pak atas artikelnya. Berkaitan dengan pepatah “urip iki mung mampir ngombe”, kadang ada yang menyalahartikannya sehingga terkesan tidak bijaksana. Misalnya, “mumpung isih urip yo ngombe sa’akeh-akehe.” Nah, dalam menghadapi ketidakpastian seperti ini, saya rasa kita perlu belajar dari Kitab Pengkhotbah, “semuanya adalah kesia-siaan”. Memang kesannya pesimistis dan nihilis. Namun kitab ini mengingatkan pembacanya untuk bijaksana dan tidak “kemaruk” dalam menikmati apa yang kita usahakan dalam hidup. Toh manusia hidup bukan untuk hari ini saja, melainkan ada juga hari esok yang penuh dengan misteri (sekaligus kematian itu sendiri).
Sekali lagi terimakasih atas inspirasinya.
Berkah Dalem