HIDUPKATOLIK.COM – DEWASA ini, hape tidak lagi dipandang sebagai barang mahal. Bila mengikuti pola piramida kebutuhan manusia, hape bisa kita masukkan dalam kategori “kebutuhan primer”. Seakan-akan manusia kiwari tidak dapat hidup tanpa hape.
Agaknya hal ini tidak mengherankan apabila melihat realita aktual masa kini. Semuanya serba digital. Dari urusan pekerjaan, perkuliahan, perbelanjaan, pertransportasian, hingga urusan makanan, kini bisa tinggal klik, sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Menyikapi fakta tersebut, mungkin anda bertanya-tanya soal penggunaan teknologi komunikasi dalam hidup membiara. Pertanyaan, “Apakah para frater boleh menggunakan hape di biara/seminari?” sudah kerap saya dengarkan. Berikut sedikit jawaban (dan pengalaman) yang boleh saya bagikan. Tentu jawaban ini bisa berbeda dengan para frater yang lain, sebab saya berbicara dalam konteks rumah pembinaan frater OSC (Ordo Salib Suci).
Sejatinya, tidak ada larangan bagi kami untuk menggunakan hape selagi itu yang disediakan oleh formator (pastor pembina para frater). Artinya, menjadi larangan bagi kami bila membawa hape secara pribadi. Mungkin ini terasa aneh bagi anak muda di luar sana, lebih-lebih yang lengket dengan segala gawai yang dimilikinya. Namun, begitulah kondisi yang kami hidupi selama ini. Sebuah hape disediakan oleh formator untuk dipakai bersama-sama para frater (per Februari 2021 ada 14 frater sebiara). Kami menggunakannya untuk berbagai macam keperluan. Tentu, kami tidak memakainya untuk mendengarkan lagu dari Spotify atau membuat video joget melalui Tik-Tok. Kami memakainya hanya sebatas urusan penting saja. Sebagai contoh, menghubungi dosen selama pandemi ini, berkomunikasi dengan para guru sekolah tempat dimana kami mengajar, atau juga berkonsultasi soal peminjaman kapel biara dari pihak luar. Tapi, jangan khawatir……Melalui hape yang sama, kami juga mengasah kreativitas kami sebagai kaum terpanggil.
Berkenaan dengan kreativitas, kami mencoba membuat unggahan kreatif melalui akun Instagram kami (coba cek di @skolastikat.osc). Kami membagi jadwal untuk mengunggah kutipan bijak (quotes), entah dari Kitab Suci, Regula-Konstitusi Ordo kami, atau juga hasil permenungan para frater. Tidak ketinggalan, setiap Sabtu sore, kami juga dijadwalkan membuat video renungan singkat atas bacaan esok hari. Biasanya video tersebut berdurasi antara 3-5 menit. Adapun sebelum mengunggahnya secara luas, kami mengirimkan video tersebut kepada para formator untuk diberi komentar secara teknis maupun isi renungan. Harapannya agar renungan yang kami berikan dapat menginspirasi dan dinikmati oleh khalayak ramai.
Dari pengalaman di atas, saya mengambil sedikitnya lima poin. Pertama, dengan “keterbatasan” teknologi, kami nyatanya enggak mati gaya. Banyak orang mengatakan bahwa tidak memiliki hape berarti tidak gaul, kurang pergaulan, terasing, dan sebagainya. Sekalipun kami hanya memiliki satu hape nyatanya kami tetap bisa mengeksplorasi segala bakat dan minat yang kami miliki. Bahkan, “keterbatasan” tersebut memicu kami untuk semakin kreatif dalam menggunakan sarana yang ada. Tentu, kami tetap gaul dalam koridor kami sebagai biarawan-calon imam. Kami menampilkan diri sesuai dengan identitas dan kharisma Ordo yang kami hidupi.
Kedua, melalui “keterbatasan” ini, kami berpikir panjang sebelum mengunggah sesuatu di dunia maya. Dalam konteks ini, kami menyaring terlebih dahulu sebelum membagikan postingan kepada masyarakat luas. Kami menyadari bahwa tidak semua hal perlu diekspos dalam ranah publik. Bukan berarti kami bersikap eksklusif. Lebih dari, itu kami percaya bahwa dalam diri tiap manusia pasti memiliki “ruang privat”. Ada hal-hal tertentu yang sekiranya tidak terlalu berfaedah untuk menjadi konsumsi publik. Di samping itu, ini melatih kesadaran kami sebagai calon imam untuk lebih menyuarakan “kebaikan Allah” ketimbang “prestasi diri”.
Ketiga, berkat pembatasan ini, kami mampu menyikapi aneka macam informasi yang berkembang melalui dunia maya. Kita mengetahui bahwa hampir setiap saat kita dibombardir oleh pelbagai berita yang kerap keakuratannya kurang teruji. Mirisnya, berita seperti ini dapat beredar luas akibat fitur “share” dalam tiap jejaring sosial. Saya pribadi meyakini bahwa hal tersebut ditimbulkan, salah satunya, karena kurangnya literasi. Maka, kami para frater berusaha untuk menimba informasi dari media arus utama, seperti koran maupun majalah. Di samping keakuratannya terjamin, kami memilih media tersebut karena tidak menimbulkan radiasi seperti menatap layar gawai.
Keempat, kami menyadari akan mana yang “kebutuhan” dan “keinginan”. Dalam konteks teknologi informasi, kami menggunakannya sebatas kebutuhan. Memang, tak dipungkiri bahwa biasanya “keinginan” seringkali menang atas kekuatan Roh (Bdk. Roma 8:5). Godaan untuk sekadar melihat “dunia luar” seringkali muncul, lebih-lebih dalam situasi kebosanan. Namun, kami disadarkan untuk tahu prioritas dan batas. Kami sadar bahwa ada hal yang lebih penting dan mendesak. Misalnya, mengerjakan tugas perkuliahan dan biara lebih penting daripada sekadar mengikuti perkembangan artis “X”. Maka, lagi-lagi kekuatan “saring terlebih dahulu” atau diskresi sangat menentukan gerak langkah kami.
Kelima, kami diajak untuk belajar bersolidaritas. Dalam konteks pandemi ini, tidak jarang kita mendengarkan betapa beratnya perjuangan anak-anak di pedalaman untuk mengakses kuliah daring. Tidak sedikit para orangtua yang bampu membelikan gawai kepada anaknya untuk belajar. Mungkin juga, kita mendengarkan bahwa tidak semua daerah memiliki sinyal yang baik demi menunjang kegiatan belajar-mengajar. Maka, dengan pengalaman ini, kami mencoba “sedikit merasakan” jerih-payah mereka dalam menempuh pendidikan. Jangan sampai kami para frater menggunakan segala kemudahan yang diberikan oleh biara untuk sesuatu yang unfaedah. Toh kita melihat juga bagaimana kehidupan komunitas Gereja Perdana sangat diwarnai oleh nilai solidaritas. Justru melalui semangat berbagi, mereka tidak pernah merasa kekurangan (Bdk. Kis. 2:41-47). Begitupun juga dengan kami yang bersemangatkan “HAPE-KU, HAPE-MU, HAPE-KITA BERSAMA”. Kami berusaha untuk tidak bersikap egois dan cuek terhadap kebutuhan sesama.
Saya tidak memungkiri bahwa masih banyak hal yang bisa direfleksikan melalui pengalaman ini. Namun, kiranya saya mengakhiri tulisan ini dengan kata-kata sebagai berikut;
“Kerap, teknologi informasi membuat “yang jauh semakin dekat” dan “yang dekat semakin jauh”. Padahal, orang-orang di dekatmulah yang pertama kali tahu kondisimu; entah itu dalam kegembiraan maupun kesedihan. Maka, kiranya sia-sia bila kamu memiliki followers lebih dari 1K, bila keluargamu di rumah (biara) tidak kau hiraukan. Sapalah dan hadirlah bersama mereka, sebab hanya itulah yang mereka rindukan darimu” (Anonim).
Frater Gabriel Mario L, OSC, tinggal di Biara OSC, Bandung