HIDUPKATOLIK.COM– MENYOAL kaderisasi, maka yang muncul apabila kader Katolik duduk pada jabatan publik atau politik, semisal menteri, pejabat setingkat menteri, gubernur, wali kota/bupati atau ketua partai politik. Kader yang disebut kemudian nama-nama populer seperti Frans Seda, Cosmas Batubara, Ignatius Jonan, dan sederet nama lain. Tidak salah apabila menyebut tokoh-tokoh ini sebagai kader terbaik Katolik yang memberi sumbangsih paripurna untuk republik.
Namun menjadi tidak bijak apabila disebut kader hanya untuk para pejabat publik. Seakan-akan kader Katolik yang bukan pejabat publik namun memberi sumbangsih signifikan, belum sah dinamakan kader. Konsep tentang kaderisasi yang kurang bijak ini kemudian menjadi landasan bagi banyak orang untuk menggugat tentang pingsannya proses kaderisasi Katolik karena hanya satu yang menjabat menteri dan lowong pada berbagai jabatan publik.
Kaderisasi disebut paripurna apabila pada ranah tertentu ada kesinambungan kepemimpinan. Pun yang paripurna itu menjadi lengkap manakala pada satu bidang yang belum pernah diisi oleh kader Katolik kemudian ada kader Katolik yang mendudukinya dan meninggalkan jejak kinerja gemilang. Contoh kasus, pada ranah koperasi simpan pinjam yang melayani masyarakat bawah dan pelosok, terlihat bahwa kader Katolik menunjukkan kinerja cemerlang.
Koperasi simpan pinjam (credit union/CU) benar-benar menjadi penolong anggotanya untuk melek keuangan dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Empat besar CU di tanah air, semua disabet oleh CU yang dikendalikan komunitas Katolik dengan pengelolaan profesional.
Pada perusahaan-perusahaan besar di Indonesia – terutama yang swasta dan multinasional – terlihat bahwa proses kaderisasi untuk divisi SDM berjalan dengan baik. Dahulu memang divisi SDM merupakan divisi ”buangan” sehingga tidak menarik karyawan untuk berkarier di sini. Akibatnya divisi SDM banyak diisi alumni seminari. Para alumni ini memang sangat kuat dalam menangani manusia. Alhasil sekarang di mana divisi SDM merupakan divisi penting bagi perusahaan, banyak kader Katolik yang menduduki posisi puncak. Terlihat bahwa karyawan Katolik memang memiliki DNA kuat untuk mengepalai divisi SDM.
Konsep Kaderisasi
Kaderisasi dalam konteks organisasi formal lebih populer disebut talent management (pengelolaan talenta). Konsep besarnya sederhana saja. Bagaimana organisasi merekrut orang, melatih, menempatkan dan mendampingi sehingga talenta tersebut selaras dengan yang diperlukan organisasi pada masa depan.
Pada organisasi Katolik, konsep pengelolaan talenta tersebut pada dasarnya sudah dijalankan jauh-jauh hari sebelum konsep ini populer. Bahkan frasa ”talenta” sudah menjadi keseharian bagi umat Katolik. Hal demikian karena salah satu perikop terkenal di Injil tak lain membicarakan tentang talenta. Pengelolaan talenta pada organisasi Katolik memiliki jenjang yang relatif rapi. Dalam bahasa organisasi formal, jenjang talenta ini disebut pipeline leadership. Perjalanan kepemimpinan seorang dari posisi staf hingga kedudukan tertinggi, direktur.
Pipeline leadership pada perusahaan yang populer pada tahun 2000-an, sebenarnya tertinggal jauh dengan program kaderisasi Katolik. Sejak kanak-kanak, umat Katolik sudah dikenalkan dengan BIA. Lalu berlanjut ke remaja dan kaum muda yang tergabung dalam OMK. Begitu masuk usia kuliah, sudah tersedia berbagai wadah organisasi bagi umat Katolik untuk berkiprah didalamnya. Mulai dari kelompok kategorial sosial, keagamaan, pendidikan hingga politik seperti diwakili oleh PMKRI dan Pemuda Katolik. Pun setelah lulus dari usia kuliah ini, aneka kelompok kategorial bertebaran tinggal dipilih umat sesuai dengan minatnya.
Ada yang spesifik dari berbagai kelompok kategorial ini melakukan proses kaderisasi seperti selama ini dipahami. Kategorial ini menyelenggarakan aneka pelatihan kepemimpinan. Pun yang tidak secara spesifik menjalankan pelatihan kepemimpinan, pada dasarnya kategorial ini tetap menjalankan proses kaderisasi. Karena ketika umat masuk pada kelompok kategorial itu mereka belajar berorganisasi. Belajar berinteraksi dengan manusia lain. Belajar mengelola ego untuk menyesuaikan dengan orang lain. Belajar mengelola asset, walaupun asset itu sangat minim. Itulah hakekat kepemimpinan.
Pendampingan dan Penempatan
Konsep pengelolaan talenta menyebut bahwa program pelatihan yang dijalankan oleh anggota organisasi hanya berdampak sepuluh persen terhadap pengembangan diri mereka secara keseluruhan. Pelatihan tak lebih pada proses transfer pengetahuan. Dua puluh persen pengaruh ada pada pendampingan dari atasan langsung ataupun tidak langsung. Dalam pendampingan ini akan terjadi transfer pengetahuan sekaligus ketrampilan. Atasan berperan sebagai coach (mentor), sementara bawahan adalah coachee yang siap untuk berkembang. Sisanya – dan ini mayoritas karena memiliki pengaruh tujuh puluh persen – adalah penempatan dan penugasan.
Ketika kader ditempatkan sekaligus ditugaskan pada unit tertentu, si kader langsung mempraktikan pengetahuan dan ketrampilan yang didapat sebelumnya. Penempatan dan penugasan ini yang menguji si kader bagaimana mereka menuntaskan wewenang yang diberikan padanya. Bagaimana mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi. Mirip kisah perikop Kitab Suci yang menceritakan tentang tiga orang yang diberi satu, tiga dan lima talenta oleh tuannya.
Tampak pola kaderisasi yang banyak dilakukan kelompok kategorial berhenti pada pelatihan semata. Seakan-akan kader jika dilatih kepemimpinan selama dua hari atau dua minggu, bahkan dua bulan, kader demikian langsung bisa menjadi pemimpin. Padahal pelatihan hanya memiliki porsi sepuluh persen pada proses kaderisasi. Ketika berada pada tahap pendampingan, mulai rontok satu persatu. Apalagi sampai pada tahap penempatan dan penugasan. Nyaris lowong karena hampir tidak ditemukan jejaknya.
Kejadian ini sebenarnya wajar. Karena pada dasarnya kelompok-kelompok kategorial ini tak lebih wadah panggilan sosial yang sifatnya sukarela. Lantaran sukarela ini maka pendampingan juga bersifat sporadis. Bukan utuh layaknya proses coaching profesional.
Terlepas dari faktor ini, kita tetap harus bangga dengan proses awal kaderisasi yang dilakukan oleh kelompok kategorial. Aneka pelatihan kepemimpin yang digeber dari tingkat paroki hingga keuskupan, dari kategorial yang menyasar anak SMA hingga mahasiswa, sudah memberi bekal pokok untuk menapak lanjut sebagai kader unggulan.
Pada konteks ini sebenarnya proses kaderisasi hingga para kader siap diterjunkan pada berbagai jabatan publik maupun jabatan profesional lainnya, diharapkan datang dari organisasi-organisasi ”formal” yang ada seperti PMKRI, PK, ISKA, WKRI, FMKI, Pukat, dan lain-lain. Organisasi ini ada di semua keuskupan. Pun organisasi-organisasi ini sudah berumur panjang dan sampai hari ini tetap menunjukkan kiprahnya pada Gereja dan Indonesia.
Kaderisasi, pengelolaan talenta atau apalah namanya, merupakan proses berjenjang dan jangka panjang. Diperlukan tiga pilar untuk menopangnya yaitu hirarki gereja, kaum profesional dan para sukarelawan yang memiliki komitmen tinggi. Tiga pilar ini yang menentukan proses kaderisasi berjalan optimal seperti diharapkan banyak umat. Sehingga para kader Katolik semakin banyak berperan pada sektor-sektor publik dan berbagai bidang lainnya.
A.M. Lilik Agung, Kontributor, Ketua SUDARA