HIDUPKATOLIK.COM – INI cerita tentang seorang sahabat muda yang semula meniti karier sebagai manager di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia di perusahaan yang mempunyai sekira 1500 pegawai. Namanya Wahyu.
Enam bulan lalu, Wahyu dipromosi menjadi Asisten Direktur Utama. Tugas pokoknya sebagai pusher untuk program “Continuous Improvement”. Bidang baru baginya. Tapi Wahyu segera berbenah. Spirit MSDM kadung melekat dalam pola-pikirnya.
Suatu siang, Wahyu menelepon saya. Dia minta pendapat tentang suatu hal.
“Pak, saya menemukan banyak leader yang terjebak dalam comfort zone (CZ). Bagaimana mengatasinya?”.
Kami terlibat diskusi panjang yang cukup menarik. Memang agak pelik.
Akhirnya kami sepakat sebab-sebab orang terperosok ke kubangan CZ.
Wahyu mengaku bahwa ternyata, organisasi tak menempatkan “Goal & Objective” sebagai panduan yang “sakral”.
Meski disiplin kerja cukup tinggi, tapi punishment tak jatuh ketika “target” tak dipenuhi.
Idem dito dengan “reward”. Kompensasi yang berarti untuk high achiever dan hard worker tak tersedia. Proses-bisnis tak dikelola dengan ketat, aturan main bisa diulur ke sana ke mari. Keluhan dari pelanggan berdatangan. Itu pun tak dilihat sebagai masukan yang dianggap penting.
Relasi atasan-bawahan plus the owner tergolong mesra, penuh kekeluargaan yang guyub. Hubungan mereka cair dan kurang strict. Banyak pegawai dengan masa kerja yang lama menduduki posisi atau pekerjaan yang sama. Ini membentuk establishment yang kontra produktif. Rutinitas kental dan rasa nyaman lahir dan membesar. Gaji tak besar, kenapa harus repot-repot mengukir prestasi bila imbalannya tak seberapa.
Wahyu tak sendirian. Banyak perusahaan, organisasi, komunitas, lembaga, bahkan masyarakat dan individu yang terjangkit “penyakit” ini. Secara umum, masyarakat Indonesia mudah (sekali) terjerembab ke dalamnya. Tak produktif, tapi menentramkan.
“Nama besar” organisasi bisa menjadi penyebab lahirnya CZ di hati para anggotanya. Terkenal dan (pernah) sukses sering membentuk “success trap”. Jebakan yang membuat orang santai. Hidup tanpa tuntutan. Ketika tantangan tiada, maka pecut untuk berkreasi tak juga muncul. “Challenges generate responses”.
Yang tersisa adalah “mental leha-leha” yang lama-lama meredupkan nama besar organisasi yang (dulu) pernah disandangnya.
CZ bukan hanya sindrom di tempat kerja. Ia menjalar sampai level personal. Orang merasa nyaman, bahkan nikmat. Kenikmatan adalah “racun” yang melenakan.
Tiba-tiba, saya ingat pesan swargi (almarhumah) ibu saya, yang pasti tak mengenal istilah CZ. Beliau sering menasehatkan kami untuk “menyangkal diri”.
Itu tindakan yang sengaja dilakukan untuk “menghentikan” kenyamanan yang sedang kita nikmati. Kesenangan jangan “diujo”. Itu salah satu cara “merusak” CZ yang dilakukan dari dalam (internal).
Masih menurut sang ibu, tindakan “menyangkal diri” harus proaktif. Bisa dalam bentuk mati raga, puasa atau tirakat.
Bila sedang menghadapi makanan enak, jangan dihabiskan. Jangan biarkan perut kekenyangan. Bila sedang punya uang, jangan konsumtif. Singkatnya, jangan membiarkan tubuh hanyut dalam segara kesenangan.
Tak mudah mengurai problem yang diangkat Wahyu. Perlu resep yang jitu dan konsisten. Faktor yang paling penting adalah “management commitment”. Sekali lagi, “management commitment”.
Rancang kembali (struktur) organisasi, susun penempatan SDM dengan posisi baru dengan tugas dan peran yang lebih menjanjikan.
Belum cukup. Perubahan organisasi harus disertai target-kerja yang lebih menantang. Jangan lupa, “tagihan” yang tertulis di performance contract harus dibuat setiap perioda waktu. Tanpa itu, “goal & objective” hanya menjadi prasasti mati yang tak berarti.
Last but not least, buat “janji” imbalan bila prestasi tinggi bisa diraih.
CZ mula-mula lahir dari kebiasaan meraih pencapaian dengan mudah dengan usaha minimal. Perilaku terbatas dengan kinerja yang pas-pasan. Risiko hampir tak ada.
“Comfort Zone is where our uncertainty, scarcity and vulnerability are minimized – where we believe, we’ll have access to enough love, food, talent, time, admiration. Where we feel, we have some control”. (Brene Brown – profesor, dosen, penulis, dan pembawa acara podcast Amerika)
Proteksi yang tak proporsional bisa menjadi biang keladi. Orang yang “karyanya”, “hidupnya” atau bahkan “dirinya” dilindungi, oleh siapa pun, untuk hal apa pun, di tempat mana pun. Mereka sedang dalam cengkeraman CZ.
Ironisnya, proteksi sering tak kasat mata, karena mirip orang yang seolah-olah kuat. Proteksi menciptakan kenikmatan dan kedamaian palsu. Itu menghalangi orang masuk dalam kondisi “tertantang”.
Sampai titik tertentu, rileks menghambat performance. Sebaliknya, sampai tahap tertentu, stress atau anxiety justru memicu dan memacu kinerja. Tanpa stres tak ada fighting spirit, no deliveries.
Sering CZ terlihat samar-samar. Apalagi, karena ia menghanyutkan dan membuat terlena. Bila merasa selalu nyaman, jarang hambatan, dengan usaha seadanya, itu CZ.
Segera susun strategi dengan pendekatan yang lebih “berani”, tenggat waktu yang lebih singkat, sumber daya yang lebih sedikit, dan ongkos yang lebih murah. CZ akan terusik dan anxiety muncul kembali.
CZ menghapus mimpi. Padahal, mimpi adalah bayang-bayang kreatif. Bila anda merasa berada di CZ, paksa diri untuk beralih dari “kenyamanan” ke “mimpi” baru yang masih asing.
“A dream is your creative vision for your life in the future. You must break out of your current comfort zone and become comfortable with the unfamiliar and the unknown”. (Denis Waitley – American writer)
Catatan :
Mati raga = menahan hawa nafsu
Tirakat = menjauhkan diri dari keramaian atau kesenangan
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif