HIDUPKATOLIK.COM – RADIKALISME dalam beragama bukan hal baru. Golongan ini sudah ada sejak adanya agama. Mereka tidak hanya ada dalam agama tertentu. Semua agama punya kaum ini. Bukan hanya publik Indonesia yang alami. Banyak negara juga merasakan akibat buruknya. Sudah menjadi fenomena global. Imbas negatif dari sepak terjang mereka juga dirasakan oleh agama itu sendiri. Kaum radikal merasa diri waras. Sebaliknya, masyarakat umum yakin mereka tidak waras. Apa yang salah: agama? penganutnya? atau cara beragama?
Munculnya golongan radikal bisa memberi dampak positif. Kita hanya dituntut merenungkan cara keberagamaan kita, tapi juga kesempatan mempelajari ajaran agama secara benar. Dua hal ini, yakni mengenal apa yang diimani dan menghayati apa yang dikenal sangat penting, agar keberagamaan berwajah manusiawi, bermartabat dan membumi. Dalam konteks ini, tidak bisa dipisahkan juga peran agama sebagai institusi spiritual, yang menjadi pengayom bagi semua anggotanya.
Menurut Baron von Gügel, seorang penulis spiritualitas, ada tiga aspek penting untuk bisa beragama secara sehat: institusi, intelectual, dan mistik. Ketiganya tidak berdiri sendiri, tapi terintegrasi. Ada dalam satu kesatuan yang kita sebut agama. Artinya, agama itu ibarat segitiga sama kaki yang dihubungkan oleh tiga dimensi ini pada masing-masing sudutnya. Paduan ketiga aspek ini akan memberi wajah keberagamaan yang berbeda, baru, manusiawi dan bermartabat.
Ada kecendrungan umum, khsususnya di Eropa, orang lebih memilih spiritualitas daripada institusi. Slogan mereka adalah: Agama? No. Spiritualitas? Yes. Agama, bagi mereka, adalah institusi yang penuh dengan dogma, aturan, gedung, kekayaan, klerus dan uang. Anggapan mereka, institusi agama lebih fokus pada mempertahankan diri daripada bagaimana membantu umat dalam persoalan hidupnya. Tentu pandangan seperti ini keliru, karena agama tidak sama dengan institusi. Agama sebagai institusi spiritual bertugas memberi ajaran yang benar dan menjaganya agar tidak setiap pribadi bisa menafsirkan semaunya. Tanpa aspek institusi, orang beragama akan seperti domba yang berjalan sendirian di padang gurun.
Aspek lain untuk bisa beragama secara sehat adalah intelektual. Beriman itu perlu tahu, kenal dan mendalami apa yang diimani. Akan sulit beriman dengan baik kalau tak ada pengetahuan yang benar. Meski, agama tidak indentik dengan kumpulan ajaran tapi, pengetahuna adalah dasar untuk mengenal Allah yang diimani dan siapa kita yang beriman kepada-Nya. Keberagamaan tanpa ilmu, pratiknya akan seperti orang buta yang mengenal seekor gajah dengan meraba-raba. Sebaliknya, dengan pengetahuan, beragama menjadi seni membangun relasi dengan Allah, diri sendiri, sesama dan alam semesta.
Karl Rahner SJ, teolog Jerman, pada tahun 1968 sudah memberi satu awasan menarik. Ia katakan: “Orang Katolik masa depan adalah mereka yang punya pengalaman mistik, atau tidak ada orang Katolik sama sekali”. Beragama perlu aspek mistik, yakni pengalaman pribadi akan Allah yang diimaninya. Tanpa pengalaman pribadi akan Allah, beragama hanya kewajiban moral untuk mendapatkan upah surga; bahkan bisa sekadar obat penenang di tengah problem kemanusiaan.
Perpaduan harmonis atara institusi, pengetahuan dan pengalaman akan Allah, pratik keberagamaan akan holistik, membumi dan bermartabat. Dengan demikian, beragama bukan propaganda surga tanpa dasar, melainkan seni membangun relasi dengan Allah, diri sendiri, sesama dan alam semesta. Mari kita beragama secara sehat!