HIDUPKATOLIK.COM – PANDEMI covid menjungkirbalikkan berbagai tatanan. Frasa VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) yang diambil dari khasanah militer dan dalam lima tahun terakhir mendominasi perbincangan bisnis, selama pandemi frasa ini menerjang semua ranah kehidupan. Semua tatanan tiba-tiba mengalami keadaan yang penuh gejolak, tidak pasti, rumit, dan serba kabur. Manusia dihadapkan pada dua pilihan, menyerah atau beradaptasi. Sejarah memang berpihak pada manusia. Adaptasi menjadi pilihan untuk bertahan, bahkan mengalahkan pandemi.
Adaptasi ini membawa konsekuensi pada manusia untuk memiliki kemampuan baru (reskilling) dan meningkatkan kemampuan yang sudah ada (upskilling). Kunci utama untuk mempercepat reskilling dan upskilling ini tak lain adalah kreativitas dan inovasi. Kreativitas bermain pada ide, konsep dan imajinasi seluas-luasnya, bahkan seliar-liarnya. Inovasi merupakan proses perwujudan ide itu menjadi nyata.
Menjalankan kreativitas hingga mewujud menjadi inovasi bukan perkara mudah. Ada prasyarat pada diri manusia sendiri untuk berani berubah, perkakas pendukung dan kelembagaan yang solid. Pandemi covid pada satu titik membawa pengaruh positif bagi personal dan organisasi untuk kreatif dan inovatif. Perkakas pendukung yang selama ini mangkrak, menjadi terpakai. Kelembagaan yang kaku, tiba-tiba menjadi lentur untuk memberi ruang berkreasi.
Risalah yang dikeluarkan Harvard Business Review edisi Juli – Agustus 2020 menjadi menarik karena pandemi justru membawa empat alasan bagi personal dan organisasi untuk berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Pertama, menyatukan tujuan. Pandemi akhirnya membawa organisasi pada satu visi bersama. Visi menjadi penting karena dengan visi ini terjadi satunya pola pikir dan satunya arah yang hendak dituju.
Kedua, pandemi memberi keleluasaan untuk melihat sistem secara berbeda dan bertindak tidak seperti biasa. Hakekat dari kreativitas dan inovasi adalah berpikir diluar kotak, bahkan menciptakan kotak-kotak baru yang selama ini belum ada. Berpikir diluar kotak ini tentu memerlukan sistem dan kebiasaan yang berbeda. Akibat pandemi salah satunya adalah menghancurkan kebiasaan. Dalam konteks ini kreativitas dan inovasi mendapat amunisi.
Ketiga, pandemi membolehkan penyimpangan tindakan, bahkan membuka diri lebar-lebar untuk berbuat kesalahan. Kemampatan personal maupun organisasi dalam menjalankan kreativitas dan inovasi karena ketakutan berbuat kesalahan. Sementara kreativitas dan inovasi yang dijalankan menyimpang dari kebiasaan akan bermuara pada satu kesalahan ke kesalahan lain sehingga tercipta produk (jasa) baru. Pandemi belum memiliki pembanding pada tempat lain yang sudah sukses menjalankan kehidupan normal baru. Alhasil membuat kesalahan akan ditolerir.
Keempat, mencairkan organisasi. Salah satu teori manajemen perubahan modern tertua diproklamirkan oleh Kurt Lewin tahun 40’an. Teori itu mengatakan perubahan dimulai dari pencairan (unfreezing) yaitu proses menciptakan kebutuhan perubahan dan meminimalisir tantangan terhadap perubahan. Dengan pandemi, proses pencairan organisasi ini muncul dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan tantangan terhadap ide kreatif dan tindakan inovatif menjadi minimal, bahkan tidak ada.
Kampus, Pemerintah, Komunitas
Untuk mendeteksi seseorang positif atau negatif covid, Universitas Gadjah Mada menciptakan produk bernama GeNose dan Universitas Padjajaran meluncurkan CePAD. Dua produk inovatif karya anak negeri ini diperkenalkan kepada khalayak oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Nasional, Bambang Brodjonegoro pada 28 Desember 2020. Menristek Bambang Brodjonegoro menuturkan, pada Maret 2021 ini GeNose akan diproduksi massal dan dipasarkan untuk umum.
GeNose kemudian menyusul CePad menjadi produk massal dan akhirnya bisa dipakai oleh khalayak luas karena kolaborasi dari tiga pihak; kampus, pemerintah dan komunitas (baca: korporasi). Kolaborasi tiga pihak memang menjadi pemercepat proses kreativitas dan inovasi. Kampus dan berbagai lembaga lain yang bertungkus lumus dengan ilmu pengetahuan, memiliki kemewahan untuk menciptakan konsep-konsep baru maupun ide-ide segar untuk menjawab tantangan jaman. Pemerintah menyediakan perkakas dan dana untuk memfasilitasi konsep maupun ide tersebut menjadi purwarupa (prototype) yang siap untuk diwujudkan. Tidak kalah penting, pemerintah juga menciptakan ekosistem dan kelembagaan sehingga kampus maupun kelompok cerdik-cendekia memiliki atmosfer untuk berkreasi seluas-luasnya.
Agar purwarupa (bahkan masih berbentuk konsep) menjadi produk (jasa) dan kemudian khalayak umum dapat menikmati hasil karya kreatif tersebut, perlu dukungan dari komunitas (korporasi). Korporasi ini memiliki berbagai sumber daya untuk memproduksi sekaligus mendistribusikannya.
Pandemi tahun 2021 diramalkan belum berakhir. Sudah selayaknya tahun 2021 dicanangkan sebagai tahun kreativitas dan inovasi. Hanya melalui kreativitas dan inovasi Indonesia akan berhasil melewati tahun penuh tantangan sekaligus peluang ini. Kolaborasi yang solid dari kampus, pemerintah dan komunitas (korporasi) menjadi sebuah keharusan. Sehingga lahir produk-produk inovatif karya anak bangsa yang bermanfaat bagi masyarakat. Nilai tambah dari warga negara yang mayoritas berusia produktif akan mempercepat Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang usia penduduknya menua.
A.M. Lilik Agung, Kontributor, Trainer bisnis. Mitra pengelola Galeri HC, lembaga pengembangan SDM, beralamat di
li***@ga******.com
.