HIDUPKATOLIK.COM – WAKTU kecil ayah selalu pesan…
Masa lalu tinggal catatan
Masa depan masih kejutan
Masa kini…? Buat dong berkesan….
Biar jadi masa lalu penuh kenangan
Dan olahan masa depan sarat harapan
Nah itu kata ayahku lho…..! Tentu beda lagi kalau ayah lain yang berpesan. Tapi ayah siapapun itu, pastilah selalu memberi pesan terbaik untuk masa depan anaknya.
Ya, pesan yang selalu diberikan ayah selain uang saku tentu saja tiap berangkat sekolah. Cukup pesan, tak sekalipun beliau mencoba meramal masa depanku kelak akan jadi apa. Namun tetap menyelipkan dalam pesan itu, sekilas keadaan di masa mendatang (kata keadaan sengaja kutegaskan untuk membedakan dengan ramalan)
Begini ucapnya: “Kalau malas nanti masa depanmu suram, sebab kemalasan akan disusul kemiskinan lalu mereka bersatu menciptakan kesusahan.”
Ajaaaaw.., mendengar ini sudah barang tentu tak butuh lagi keterangan perbandingan bagaimana kelak masa depan anak rajin. Seiring pertumbuhan, aku ternyata bukan anak rajin tapi juga tidak tergolong malas. Sedang-sedang saja, sebagaimana anak seusia menikmati masa kecil tanpa harus larut di masa lalu apalagi sibuk merenda masa depan.
Pesan ayah paling menancap di pikiranku, soal masa depan itu kejutan. Mungkin karena inilah aku jadi tidak tertarik pada ramalan. Bagiku kegairahan hidup itu saat mendapatkan kejutan demi kejutan dalam menjalaninya. Jika sudah diramal kan jadi ketahuan! Habislah kejutannya dan itu sama juga membunuh kegairahan tadi. Hidup berubah monoton tanpa variasi sebab semua sudah diketahui sebelum lagi menjalani. Lalu apa faedahnya meniti hari tanpa gairah?
Tja! Aku memang tidak menaruh perhatian pada ramalan. Permisi sebelumnya teman…, tak kubahas soal percaya atau tidak. Itu perihal lain. Aku hanya tidak tertarik. Tapi sedikit berkisah saja, aku pernah kok baca ramalan bintang semasa remaja, terutama bagian keuangan dan asmara. Jujur saja, beberapa kali ramalan bintang itu merusak pikiran dan prilaku ku masa itu.
Pernah ramalan keuangan bintangku tertulis sangat membaik. Padahal nyata-nyata dompetku kosong. Bahkan buat beli permen asam termurah saja tidak ada. Akhirnya untuk menyesuaikan biar sama dengan ramalan bintang, sebelum berangkat sekolah sempat terlirik kemeja kerja ayah masih tergantung di balik pintu kamar. Beruntung Ibu belum beresin cucian, dan sudah kebiasaan ayah menaruh pecahan sepuluh ribuan beberapa lembar di saku. Dengan sangat hati-hati ‘kupindahkan’ beberapa lembar ke dompet supaya genaplah ramalan itu bahwa keuangan sedang sangat membaik.
Lanjut soal asmara katanya, sedang berbunga-bunga dan berikan perhatian pada si dia. Entah siapa si dia itu, tapi ada cowok kelas sebelah yang sudah sebulanan bikin resah dan gemesin banget. Aku enggak berani menunjukkan rasa suka sampai geregetan sendiri. Nah, mengacu pada ramalan bintang soal asmara tadi, secara kebetulan aku bertemu cowok itu di kantin dan benar saja, satu ramalan terbukti. Hatiku berbunga-bunga.
Tinggal satu kalimat lagi: berikan perhatian pada si dia. Mata pun tak lepas mengawasi gerak langkah cowok itu. Tak boleh lepas lagi. Tiba saat makanannya selesai dan berjalan menuju kasir, basho di mangkokku masih tersisa tiga terpaksa kuabaikan. Berlagak sudah selesai makan juga, kususul dia dan gerak cepat menyodorkan uang ke bu kantin sambil menawarkan ramah aku saja yang traktir. Bentuk upaya memberi perhatian spesial seperti bakmi goreng yang disantapnya, juga spesial pakai udang ekstra telur mata sapi setengah matang pula.
Dia tersenyum puas, tidak menolak juga tidak bilang terima kasih. Aku tetap berbunga-bunga sekaligus tersedak. Ternyata dia makan banyak sekali dan minum saja 3 jenis. Es teh manis, jus jeruk lalu masih minta air mineral dingin buat isitrahat kedua katanya, tambah kerupuk udang dan emping sepiring. Ludes sudah uang hasil menggerayang kantong ayah dan tiga basho sia-sia tak terkunyah. Mau kembali menyantap bashonya, mangkok sudah diangkut pelayan. Aku tergugu…, berharap berikutnya ramalan bintangku enggak akan bilang, cermati hari ini sebab bisa jadi anda tak putus dirundung malang. Arrrggghhhhh..!
Selamat tinggal ramalan bintang. Aku beralih ke ramalan cuaca. Itupun karena menetap di Roosendaal, Propinsi Brabant Utara negeri kincir angin. Tujuannya simple, supaya enggak salah kostum saat ke luar rumah. Selain itu soal iklim di negeri empat musim ini memang jadi bagian penting dan merupakan topik hangat warga setempat. Sampai sekarang kalau soal ramalan cuaca aku selalu tertarik, sebagai bahan pengambil keputusan mencuci pakaian atau tidak. Kuperlakukan ramalan ini sekadar panduan, bukan soal percaya atau tidak. Sekiranya meleset pun, paling angkat jemuran lebih cepat tanpa debat. Apalagi sampai komplain menelpon si peramal cuaca. Tak perlu! Sesimpel itu menyikapinya.
Tapi hari ini semua jadi berbeda karena ternyata ramalan pun bisa jadi komoditi bisnis bahkan sampai menimbulkan perdebatan bahkan berujung kasus. Sudah terbiasa aku melihat sajian artikel, berita atau tontonan menjelang akhir tahun sampai awal tahun dimulai dengan ramalan peristiwa di tahun berikut. Yang bikin terkesima, ada peramal menyebut gamblang identitas yang diterawang mengenai karier berikut nasib yang bakal menimpa hingga diberi saran sebaiknya bagaimana demi menghindari ramalan tersebut.
Jangankan ramalan buruk, ramalan baik sekalipun, bukankah orang punya hak untuk tidak diobrak abrik masa depannya apalagi tersaji sebagai konsumsi publik. Seakan nasib dan masa depannya berada dalam genggaman orang yang bahkan merasa lebih tahu dari orang itu sendiri atau ibu yang melahirkan. Apalagi kalau itu soal nasib buruk. Kasihan sekali yang sedang diramalkan akan kepikiran terus hingga terpuruk untuk sesuatu yang belum diketahui kebenarannya.
Ada pula ramalan nasib percintaan sepasang kekasih yang bahkan sekadar melakukan pendekatan. Jadi belum tapi sudah dirongrong ‘nasib’ hubungan itu seperti apa. Atau kisah asmara penyanyi pria dan wanita padahal baru sekadar duet di panggung, sudah diterawang seakan merasa berhak atas masa depan mereka. Simak lagi ramalan kehidupan pasutri pesohor baru menikah. Gaun pengantin pun belum ditanggalkan langsung muncul ramalan seputar kondisi rumah tangga kelak. Bakal ada rintangan apa, bagaimana menjalani serta segambreng pernyataan terurai jadi santapan khalayak. Bahkan bisa pula menentukan siapa bakal berjodoh dengan yang mana.
Bukankah semua itu ada dalam skenario Sang Pencipta Kehidupan? Siapalah kita ini sampai merasa bisa mengubah sepotong masa depan lewat ramalan?
Kalau tepat tinggal bilang: tuuuuh kan.. beneeeer.
Kalau meleset katakana saja: yaaah…. namanya juga ramalan.
Hmmm, baiklah aku kembali ke pesan ayah saja, bahwa masa depan itu kejutan. Tugas kita adalah mempersiapkan serta merencanakan agar hidup semakin bergairah. Mengupayakan rancangan terbaik agar datang kejutan menggembirakan, bukan malah ‘mengagetkan’.
Percaya bahwa rancangan Tuhan pasti lebih indah dari sebuah ramalan.
Percaya bahwa Tuhan mampu mengubah kejadian buruk pun menjadi baik bila kita sungguh meminta dan berserah padaNya.
Berserah.., bukan menyerah….!
Permisiiii ..
Ini hanya kenangan tentang pesan ayah
Di tengah situasi yang lumayan payah
Mencoba bertahan meski lelah
Tak ingin situasi semakin parah
Mari singkirkan gundah
Karena kita masih punya masa depan cerah
Salam Cinta
Ita Sembiring, Kontributor, Pekerja Seni