HIDUPKATOLIK.COM – SEBAGAI book fans and movie mania, saya sangat suka membaca atau menonton kisah yang berjudul ‘inspired by true story’. Sebab, kebanyakan jalan ceritanya pasti sulit ditebak, bikin ‘emotional roller-caster’, sehingga saya suka deg-degan sendiri, bahkan seringkali ikutan nangis terharu kalau tokohnya terus-terusan ditimpa kemalangan, dan ikut bersorak gembira saat akhirnya sang tokoh berhasil melewati berbagai cobaan hidupnya yang membuat dia keluar sebagai pribadi yang lebih tegar.
Suatu kali saya janjian ketemu dengan seorang sahabat saya, biasalah untuk sekadar melepas rindu sambil update status kisah hidup masing-masing. Babak pertama tentunya masih tahap ‘happy stories’ yang membuat kami tertawa-tawa ceria. Tetapi tak lama kemudian, hati saya kembali terbawa ‘emotional roller-coaster’ karena true story yang diceritakan sahabat saya siang itu dengan cepat meluncur turun ke level ‘sad stories’ sampai ‘tragic stories’.
Sahabat saya menceritakan bahwa pernikahannya, sedang diuji untuk kesekian kalinya. Bila dalam kisah drakor, sebuah rumah tangga rusak hanya dengan satu kali perselingkuhan. Tetapi teman saya ini sudah mengalaminya berkali-kali. Bahkan kasus yang terbaru, sahabat saya mendapati suaminya sudah menikah siri dengan seorang wanita di kota lain. Ini tentunya belum termasuk pacar-pacar yang masih eksis diluar istri baru itu. Mendadak mulut saya terasa pahit, sepahit kisah yang diceritakan sahabat saya ini.
Herannya sahabat saya menceritakan semua ini, dengan ekspresi wajah biasa, tatapan matanya hanya sedikit kelihatan lelah saja. Dia cerita bahwa di saat-saat ini dia terus mendaraskan doa Rosario untuk minta kekuatan Bunda Maria agar bisa menghadapi semua badai perkawinan mereka, tanpa berpikir sedikit-pun untuk bercerai. Sahabat saya malah mau membawa perkara perkawinan siri yang dianggap tidak sah ini ke ranah hukum, dengan bukti-bukti resmi bahwa perkawinan katolik yang mereka sudah jalani sekian dekade adalah perkawinan yang sah dimata agama dan negara.
Sebagai sahabat, sejujurnya saya sempat merasa sewot juga, gak rela sahabat saya ini terus disakiti hatinya. Sebab biasanya kebiasaan lama akan sukar hilang, dan kalaupun sahabat saya ini menang di pengadilan, apa yang akan menjadi jaminan kejadian serupa tak akan berulang di masa depan? Sahabat saya hanya tertawa kecil dan sedikit mengedikkan bahunya, “Aku cinta suamiku, karena dia ayah anak-anakku. Dan aku sudah mengikrarkan janji perkawinan di depan Tuhan.” Sesederhana itu alasannya.
Sore itu saya pulang dengan speechless, sebab saya nggak kebayang betapa beratnya salib ‘hidup perkawinan’ yang harus dia tanggung. Berapa banyak air mata teman saya sudah terkuras selama bertahun-tahun dalam upaya menghikhlaskan hati dan melapangkan dada untuk memberi maaf 70 X 7 kali, seperti yang Tuhan perintahkan, yang kita sama-sama tahu bukan berarti 490 kali saja, tapi SELALU sampai selamanya. Titik gak pakai koma!
Setelah itu, selama berhari-hari kemudian entah mengapa saya merasa begitu gloomy. Untungnya ada teman lain yang mengajak saya nonton Pertandingan Merpati Balap. Wah asik juga, sebab saya belum pernah nonton pertandingan burung seperti ini. Ternyata family Columbidae alias Merpati atau Dara, mampu terbang sampai berkilo-kilo meter jauhnya. Uniknya, mereka selalu tahu jalan pulang. Merpati adalah hewan yang hidup berpasang-pasangan, sehingga ia akan selalu kembali kepada pasangannya, sejauh apapun dia terbang pergi. Teman saya menjelaskan ada beberapa Merpati muda yang baru saja mulai ikut lomba, sehingga seringkali mereka nyasar, dan baru berhasil pulang lama setelah lomba selesai, sehingga Merpati betina pasangannya sudah dibawa pulang pemilik burung. Maka selama berhari-hari Merpati Jantan ini akan hidup merana, terus bersiul-siul memanggil pasangannya.
Saya iseng bertanya,”Gak bisa dikibulin aja? Kasih betina lain? Toh tampang merpati kan mirip-mirip satu sama lain.” Teman saya tertawa, “Ya enggak bisalah, semua merpati hanya punya satu pasangan semasa hidupnya, gak akan ganti-ganti.” Lalu teman saya ini menceritakan pernah ada kejadian, salah satu Merpati Betina terbang terlalu rendah sehingga mati tertabrak motor yang melaju kencang. Maka Merpati Jantan dengan setia akan terus mendampingi disamping tubuh Merpati Betina yang sudah tak bernyawa itu, sampai pemiliknya mengambil si Merpati Jantan untuk dimasukkan ke kandang. Kesetiaan merpati ternyata betul-betul sampai “till death do us part”.
Setelah pulang dari lomba, saya jadi kepikiran soal kesetiaan Merpati dan kesetiaan manusia. Kenapa kesetiaan itu mudah sekali bagi seekor merpati, tapi sulit sekali buat seorang manusia. Mengapa monogami ‘Once and for all’ dan ikrar ‘till death do us part’ semakin lama semakin sulit dilakukan? Saya yakin betul, setelah bertahun-tahun menjalani perkawinan, pastinya semua kartu telah terbuka diatas meja, tak ada lagi kebiasaan atau sifat jelek yang bisa ditutupi, sudah tak bisa lagi ‘jaim’ alias jaga image atau segala bentuk pencitraan palsu lainnya. Sehingga tak heran bila point kita di mata pasangan mungkin saja semakin menurun. ‘Awesomeness’ semasa pacaran dulu telah berganti dengan ‘Awfullness’. Perut yang ‘six pack’ semakin menjadi ‘family pack’. Body yang berlekuk-lekuk bagaikan gitar Spanyol sudah menjadi tambur Korea. Wajah yang cantik dan ganteng, tak mampu menahan terpaan waktu dan gravitasi.
Tapi sebelum kita membandingkan pasangan hidup kita dengan yang lain, mari kita merenung sejenak. Perut ‘family pack’ itu bisa jadi karena kebanyakan duduk berjam-jam di kantor selama bertahun-tahun untuk menafkahi keluarga, makan malam terlalu larut sehingga semua makanan tertimbun menjadi lemak. Tetapi, tak juga sempat olah raga saat weekend karena sudah kelewat lelah atau karena lebih memilih ‘family time’ dengan mengajak anak-anak jalan-jalan ketimbang ‘me-time” di gym
Sebaliknya, di balik body seperti tambur Korea itu telah lahir anak-anak yang sehat, membesarkan mereka sambil mengurus keperluan rumah tangga yang serasa tak pernah habisnya. Bukan 9-5 seperti kerja kantoran, tapi 24/7. Dan dibalik setiap kerutan wajah, tersimpan segala kisah hidup berkeluarga, susah-senang, sedih bahagia yang sudah dialami dan ditanggung bersama.
Bila demikian, rasanya betul-betul tidak fair, bila kita membandingkan pasangan hidup kita dengan para ‘pendatang baru’. Sebaliknya juga, betul-betul tidak fair bila kita memutuskan perjalan hidup perkawinan yang sudah begitu lama, hanya karena pasangan kita belum bisa setia seperti burung Merpati. Maka saya betul-betul salut pada teman saya yang berhasil keluar dari pergumulan batin yang saya yakin tak mudah, untuk memegang teguh janji kesetiaan perkawinan yang diucapkannya ke hadapan Yang Maha Kuasa sekian tahun silam. Janji yang tak mungkin sanggup dipenuhinya tanpa kekuatan doa. Satu-satunya sumber kekuatan manusia, hingga mampu menghadapi bukan cuma badai tapi juga tsunami juga tornado kehidupan sedasyat apapun dalam hidupnya.
Saya mendadak ingat buku “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji” karangan Mba Mira W., yang saya baca saat sekolah menengah dulu. Entah kenapa saya yakin sekali, dengan kekuatan doa, manusia juga bisa kok seperti Merpati yang selalu setia, memaafkan 70 x7 kali alias always Bukan cuma forgiven tapi juga forgotten…till death us part!
Fransisca Lenny, Kontriutor, Pekerja seni, alumnus KPKS