HIDUPKATOLIK.COM – PERAN seorang wanita di rumah tidak hanya sebagai istri dan ibu, tetapi menjadi seorang pendoa.
Komunitas Pertumbuhan Iman Wanita Bunda Hati Kudus, Surabaya atau yang akrab disebut Komunitas Bunda Kudus merupakan komunitas kategorial yang terdaftar di Keuskupan Surabaya. Berawal dari Lucia Henny Kuncoro (almarhum), seorang pemilik salon sering memperhatikan ibu-ibu yang sedang berkumpul sembari menunggu anak sekolah. Karena tidak ada kegiatan khusus, mereka kebanyakan kumpul-kumpul dan bergosip. Henny merasa prihatin. Kemudian terlintas di benaknya, bagaimana jika para ibu-ibu ini mempunyai kegiatan yang jelas seperti merenungkan firman Tuhan. Tidak sekadar wacana. Henny membentuk kelompok kecil untuk berkumpul sebulan sekali. Kemudian kelompok kecil yang berisikan 10 orang yang melakukan kegiatan pendalaman Alkitab itu berkembang menjadi sebuah komunitas.
Kegiatan Bervariasi
Komunitas Bunda Kudus didirikan pada 8 Februari 1994 dan terdaftar dibawah kepemimpinan Uskup Surabaya saat itu, Mgr. Aloysius Joseph Dibjakarjana. Kemudian dikukuhkan oleh Uskup Surabaya berikutnya, Mgr. Johannes Sudiarna Hadiwikarta di Puh Sarang, Kediri, Jawa Timur. Komunitas ini tidak sekadar tempat kumpul para ibu-ibu saja. Ketua Bunda Kudus, Theodora Monica Ervin, akrab disapa Ervinna, menerangkan, dari namanya, komunitas ini sudah terfokus dalam mengembangkan pertumbuhan iman seorang wanita. Visi Bunda Kudus adalah Menjadikan Wanita Tiang Doa Keluarga dengan misi mengajak para wanita mengenal Yesus melalui firman Tuhan.
Bunda Kudus mempunyai lima kegiatan rutin yang bervariasi. Pertama, kegiatan doa oleh tim/kelompok doa yang diselenggarakan setiap Rabu pukul 08.30 WIB di Catholic Center Keuskupan Surabaya. Tim doa tidak hanya mendoakan kegiatan internal di Bunda Kudus, mereka juga mendokan negara, para imam, biarwan-biarawati. “Karena Covid-19, semua kegiatan diadakan melalui zoom,” jelas Ervinna.
Kedua, kegiatan membina diri di dalam Bina Doa dan Firman Tuhan (Bindoman), yang diselenggarakan setiap Rabu pukul 09.30. Tahun 2009 Bunda Kudus menyelenggarakan Kursus Alkitab Dei Verbum setiap Kamis pukul 09.30 dan dibimbing oleh beberapa pengajar, salah satunya, Pastor Robert Wowor, OFM.
Bunda Kudus juga membuat paduan suara, seperti yang diinginkan oleh almarhum Henny. Paduan suara yang dibimbing oleh seorang guru vokal ini diadakan setiap Senin dan Kamis pukul 14.30 WIB. Bunda Kudus membuat kegiatan eksternal semisal retret, karya sosial seperti pada tahun 2002, dalam rangka HUT ke-8 Bunda Kudus bekerja sama dengan Panitia Dana Sekolah Minus Yohanes Gabriel membentuk GRATIA (Gerakan Orang Tua Iman dan Asuh) dan pada tahun 2008. GRATIA diserahkan kembali kepada seluruh donator dan dilajutkan oleh Keuskupan Surabaya. Jika dilihat, mayoritas kegiatan komunitas ini diadakan pada pagi hingga siang hari. “Sore harinya anggota akan kembali kepada keluarganya masingmasing. Jika kegiatan dilakukan sore hari jelang malam pun tidak lama-lama dan kami harus kembali kepada keluarga masing-masing,” jelas Ervinna.
Fokus Keutamaan
Kembali kepada visinya, Bunda Kudus hendak menjadikan para anggotanya menjadi tiang doa dalam keluarga. “Sama seperti Bunda Maria, kami berdevosi khusus kepada Bunda Maria, baik itu Novena, Rosario dan sebagainya. Tahun lalu kami mulai mendaraskan Novena kepada Bunda Maria Pengurai Simpul Masalah. Beberapa anggota ada yang berdevosi pada Kerahiman Ilahi. Hidup doa para anggota sangat luar biasa. Seperti pada pembukaan Bulan Maria, banyak komunitas yang ikut, salah satunya kami yang tidak pernah absen. Begitu juga ketika penutupan,” tutur Ervinna.
Selain berdevosi, mereka tentu meneladani keutamaan Bunda Maria. Menurut Ervinna, anggota Bunda Kudus berasal dari berbagai macam latar belakang. Dengan mengikuti kegiatan di Bunda Kudus, banyak pribadi yang diubah. Mereka lebih hidup sederhana seperti Bunda Maria. Sekadar contoh, jika ada acara kumpul-kumpul biasanya mereka lebih memilih mengenakan seragam kaos, karena yang mereka utamakan adalah hidup doa, bukan hal-hal duniawi. Proses bertumbuh di Bunda Kudus ini juga diterapkan oleh para anggotanya di rumah, khususnya dalam kegiatan doa. “Para ibu ini mempunyai kebiasaan doa yang berbeda-beda. Kalau dengar dari sharing, saban subuh sudah ada yang mulai doa, pukul 04.00. Kalau saya sendiri biasanya pukul 05.00. Semenjak pandemi ini, kami biasanya berdoa Rosario dan dilanjutkan dengan Misa pagi,” ungkap Ervinna.
Mengapa harus wanita yang menjadi tiang doa? Menurut Ervinna sosok wanita tentu berbeda dengan sosok laki-laki, khususnya di dalam keluarga. Berdasarkan pengalamannya bersama Bunda Kudus, beberapa di antaranya mempunyai suami yang belum dibaptis atau banyak suami yang bekerja. Maka wanita hadir sebagai tiang doa keluarga. “Menjadi seseorang yang selalu mengandalkan Tuhan. Ketika sang suami keras hati, sang istri masih bisa mengimbangi dengan teladan Bunda Maria tadi, hidup sederhana dan lebih menerima. Bukan membuat susasana menjadi lebih tegang tetapi menjadi cair serta menjadi pendoa di rumah. Anggota diajak saling menguatkan iman dan peran wanita dalam keluarga,” papar Ervinna.
Selalu Pulang
Ervinna bersama pengurus Bunda Kudus, Agnes Rosalina, Setijawati Muljo, Maria Vera, Maria Hariati, Ira Puspita, Ignatia Shinta dan Heliana Hananta mengalami perubahaan dalam hidup ketika berproses di komunitas ini. Salah satunya Maria Vera. Dulu Vera gemar mendengarkan firman Tuhan di Gereja Kristen Protestan dan tidak tahu jika di Gereja Katolik ada. Sangat disayangkan ketika hendak mengikuti persekutuan doa, waktu Vera bentrok karena persekutuan doa diadakan pada malam hari. Pertama kali bergabung di Bunda Kudus, Vera mengikuti kegiatan Bindoman. “Saya bertumbuh di situ dan kemudian ikut Kursus Alkitab Dei Verbum. Saya merasa lebih mengenal iman saya dan saya mulai terpanggil untuk berpelayanan di paroki,” tuturnya.
Selama 25 tahun berkiprah, Bunda Kudus telah banyak membina para ibu dan berupaya menjadi jelita pilihan Allah. Ervinna dan timnya berharap, walaupun sekarang ini tidak bisa menjangkau dunia secara luas karena kondisi yang terbatas, tetapi sekiranya para ibu diubah menjadi tiang doa dan harapanya akan menjadi lebih baik di dalam keluarga, di mana Gereja kecil terbentuk. Gereja kecil ini akan menjadi terang bagi sesama. “Para ibu ini walaupun mereka pelayanan di komunitas atau di paroki, tidak melupakan keluarga. Mereka tetap pulang untuk melayani keluarganya,” ujar umat Paroki Aloysius Gonzaga, Surabaya ini.
Karina Chrisyantia
(HIDUP No.52, 27 Desember 2020)