web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pastor Lili Kok Mendalami Ateisme

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – PADA piagam itu tertulis, “Pastor Pertama Bergelar Doktor dengan Disertasi Ateisme Modern”. Sang penerima adalah Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi, pernah menjabat sebagai Ketua STF Driyarkara Jakarta. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberinya kepada Pastor Lili, sapaannya, beberapa waktu lalu. Ia orang Indonesia pertama yang menggeluti bidang ini melalui kajian ilmiah.

Pastor Simon menulis disertasi filsafat tentang Ludwig Feuerbach (1804-1872), sang peletak dasar ateisme modern. Filsuf Jerman ini melihat, masalah Tuhan harus dikembalikan kepada persoalan manusia alias imanensinya. Dalam perkembangan berikutnya argumentasi Feuerbach mendapatkan banyak variannya pada pemikiran para tokoh ateisme lainnya, seperti Karl Marx, Frederich Nietzsche, Sigmud Freud atau Jen-Paul Sartre.

Menurut Pastor Lili, secara amat kasar, ateisme bisa dibedakan antara ateisme praktis dan ateisme teoritis. Ateisme praktis mengaku percaya pada Tuhan, tetapi cara hidupnya sarat dengan praktik korupsi, penindasan terhadap orang kecil atau kerakusan mengeksploitasi kekayaan alam. Ateisme ini dikritik oleh para nabi. Ateisme teoretis masuk dalam bidang pengkajian filsafat. “Ateisme teoritis ini berkaitan dengan argumentasi-argumentasi rasional yang mendasari sikap seseorang menolak Tuhan,” lanjut kelahiran Jakarta 57 tahun lalu ini.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Lewat studi filsafat, bagi Pastor Lili, kita memahami bahwa orang menjadi ateis karena banyak alasan. Ada yang menolak Tuhan demi cita-cita ideal manusia. Yang lain demi membebaskan manusia dari khayalan opium agama yang membuatnya lari dari perjuangan emansipasi politiknya. Beberapa orang menolak Tuhan sebab ajaran dari Kitab Suci dianggap berlawanan dengan data sains. Atau, bisa jadi adanya penderitaan merupakan alasan menolak paham Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik. Di tempat yang satu Tuhan ditolak lantaran ngerecokin kebebasan manusia, atau membuatnya tidak dewasa dan sakit-jiwa. Tapi cukup banyak juga yang menjadi ateis, setelah melihat betapa brengseknya hidup mereka yang mengaku percaya pada Tuhan. Tentu masing-masing alasan ini masih perlu ditelaah dan disikapi secara kritis dalam ranah filsafat,” ungkap pastor yang bisa bermain Kendo ini.

Baca Juga:  Renungan Harian 21 November 2024 “Yesus Menangis”

Pastor Simon merasa imannya tidak diperlemah lantaran studinya itu. Sebaliknya ia merasa diperkaya dan dimurnikan. Itu karena dirinya melihat bahwa unsur paling penting dalam belajar filsafat adalah penalaran kritisnya. “Kritis berarti mampu membedakan antara mana yang benar, bisa diterima, dan mana yang dipertanyakan, bahkan ditolak. Dalam konfrontasi dengan pemikiran para filsuf kita sungguh bisa diperkaya dan dimurnikan dalam iman. Tidak ada tabu untuk mempelajari filsafat, termasuk ateisme,” demikian Pastor Simon.

Indonesia adalah negara berketuhanan yang mahaesa. Sudah pasti paham ateisme bukan sebuah euforia di negara ini. Kendati demikian, Pastor Lili mengingatkan, jika sebuah negara itu agamis, bukan berarti tidak ada ateis. Terkadang, di mana Tuhan dibela mati-matian secara membabi-buta, di situ bisa tumbuh subur ateisme sebagai pandangan yang justru menolak keberadaan-Nya. Ini bisa dikaitkan juga dengan fenomena korupsi dan fanatisme agama dengan kekerasan di negeri ini.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

“Konstitusi kita melindungi kebebasan beragama setiap warga. Tetapi tampaknya belum ada hukum yang secara tegas melarang dan memberikan sanksi terhadap seseorang yang menganut ateisme secara pribadi atau diam-diam,” imbuhnya.

Yusti H. Wuarmanuk

1 KOMENTAR

  1. Saya Andre, 28 tahun, secara wilayah gereja masuk di Paroki Gombong, Keuskupan Purwokerto.

    Sebagai seorang pemuda saya keberatan dengan kalimat anda di paragraf terakhir yang mengatakan ” Konstitusi kita melindungi kebebasan beragama setiap warga. Tetapi tampaknya belum ada hukum yang secara tegas melarang dan memberikan sanksi terhadap seseorang yang menganut ateisme secara pribadi atau diam-diam,” imbuhnya.”

    Kalimat tersebut sangat tendensius dan mengiring ke opini publik bahwa status formal agama seseorang harus diperlihatkan, dan kalau perlu ybs perlu dipidana jika ybs dengan sengaja dan sadar memilih untuk tidak beragama.

    Bukankah puncak hidup beriman seseorang ditandai dengan menghormati pilihan orang lain untuk memilih dengan akal budi & kebebasan hatinya segala sesuatu termasuk agamanya? Apakah seseorang harus disebut juga beragama dulu untuk dapat legitimasi dari pemerintah & masyarakat?

    Jadi orang tidak bertuhan (alias tidak beragama) perlu dihukum & disingkirkan? Bukankah Paus Fransiskus sendiri menghindari kalimat penghakiman ketika dihadapkan pada kasus LGBT? “Siapakah aku harus menghukum mereka kalau mereka punya kehendak baik?”. Sayangnya saya tidak melihat jiwa pengampunan pada kalimat anda ini!

    Berapa banyak orang beragama yg hidup nya jauh dari tatanan sosial, penuh kebusukan dan jauh dari ajaran baik sesuai agama nya? Miris nya hal ini juga terjadi pada pejabat gereja, pejabat pemerintahan & umat Katolik Indonesia !(bdk. kasus mgr.h.leteng; kasus penamparan pipi pastor oleh mgr.p.turang) Mana pembahasan media katolik yg kredibel & transparan untuk kasus2 ini?

    Bukankah di Kitab Suci dikatakan: “Bukan kamu yang memilih Aku, tapi Aku yg memilih kamu.”? Yg dengan demikian memilih agama adalah suatu kodrat yg bukan diluar kehendak kita? Bukankah di Kitab Suci dikatakan: “Iman tanpa perbuatan adalah mati.”? Apakah umat Katolik Indonesia sudah memenuhi ajakan ini atau hanya aktif di kegiatan ritual Gerejawi? Rasanya tidak sedikit individu yg memilih tidak bertuhan tapi melakukan perbuatan baik ke masyarakat.

    Sebagai lembaga media katolik formal & besar di Indonesia, kalimat pada artikel anda ini sangat menggiring opini publik untuk menghakimi orang yg tidak bertuhan. Apakah dengan mengatakan demikian Gereja Indonesia menginginkan tambahan umat baru? Suatu euforia yg sama, yg sedikit banyak menguntungkan pertambahan umat karena pencarian suaka politik G30S-PKI? Apa beda nya artikel ini yg mengatakan bahwa semua manusia di Indonesia harus beragama oleh kelompok radikal?

    Sebagai pemuda saya sangat kecewa dengan kalimat pada artikel ini. Apakah artikel yg sama juga diedarkan pada majalah fisik? Sangat miskin aspek pendewasaan & perluasan pengetahuan umat.

    Saya tunggu pembelaan anda atas argumen saya ini, baik langsung ke email saya atau di media.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles