web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

NATAL YANG SEPI DI SAAT PANDEMI, SEBUAH REFLEKSI KULTURAL

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – NATAL (natus est. Lat.) adalah sebuah peristiwa kelahiran. Sebuah kelahiran biasa layaknya manusia pada umumnya. Menjadi tidak biasa ketika peristiwa tersebut dipahami dan diyakini sebagai kelahiran Tuhan di dunia. Hal ini menimbulkan kontroversi baik secara sosial, psikologis, teologis maupun politis. Pada zamannya, Yesus ditolak di kampung halamannya sendiri (Matius 13,55: Bukankah Ia ini anak tukang kayu?). Secara Biblis, teks sendiri kontroversial karena “Ia mengandung dari Roh Kudus“ (Matius 1,18). Ketidakbiasaan ini  berada di luar jalur tradisi Yahudi pada saat itu, dan telah membawa Yesus kepada hukuman mati di atas kayu salib. Perdebatan teologis mengenai Tuhan yang manusia dan manusia yang Tuhan telah mewarnai sejarah ajaran Gereja perdana dan bahkan seumur dengan usia Gereja itu sendiri. Para teolog besar Gereja (a.l. Thomas Aquinas, Karl Rahner) telah berupaya sedemikian rupa untuk menjelaskan kompleksitas ini, dan akan terus tinggal di kawasan akademis apabila Gereja gagal mewartakan misteri cinta Ilahi secara lebih sederhana kepada masyarakat dimana Gereja berada.

Sejarah Natal dan Inkulturasi

Sudah umum diketahui bahwa peristiwa Natal yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember adalah sejatinya kooptasi perayaan sembahan kepada Dewa Matahari di daratan Eropa pada waktu itu. Analogi terang dan cahaya atas kegelapan dianggap menjadi simbul yang tepat untuk menggambarkan kehadiran Tuhan di dunia. Beberapa denominasi Gereja berusaha secara persis menentukan tanggal kelahiran Yesus, sebelum atau sesudah tanggal 25 Desember, sehingga perayaan Natal sering diadakan pada sekitar tanggal 25 Desember, kecuali Gereja Katolik.

Terlepas dari persoalan teknis, termasuk apakah Yesus lahir di gua atau di kandang, di dalam cuaca dingin bersalju atau tidak, dikelilingi pohon cemara atau palem, kelihatan ada kesepakatan bahwa Sang Juru Selamat telah lahir, menebus dosa dan memberi keselamatan kekal. Berita keselamatan kekal sesudah kematian itu menjadi riil setelah kebangkitan Yesus. Secara iman dan liturgis,  kebangkitan yang dirayakan di hari Paskah lebih meriah  daripada peristiwa Natal. Namun pesta dan gaung Natal lebih gempita dibanding Paskah, mungkin karena sudah ada bawaan komersial dan menjadi industri.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Melihat sekilas sejarah Natal, muatan-muatan inkulturatif sudah sangat kental. Tanggal 25 Desember, gua Natal, pohon cemara, salju, adalah aksesoris inkulturatif untuk memaknai Natal lebih terpahami oleh budaya setempat pada saat itu. Dengan demikian, budaya-budaya lain berhak juga untuk mengejawantah makna kelahiran Yesus dengan budayanya sendiri karena dalam khazanah budaya tidak ada budaya unggulan atau prerogasi budaya. Tidak mengherankan kalau di Jawa Tengah muncul patung Yusuf dan Maria memakai busana Jawa, keledai diganti dengan kerbau dan cemara diganti dengan pohon bambu. Tidak ada salju lagi.

Ada diskrepansi antara wahyu Ilahi dengan tangkapan manusia atas kebenaran wahyu. Tangkapan manusia, dengan demikian, sangat diwarnai oleh kebudayaan di mana dia tinggal. Keallahan, oleh karenanya selalu sah ditangkap oleh ranah kemanusiaan kita. Atau adakah keallahan yang tidak ditangkap oleh kemanusiaan kita sehingga kita tidak mengerti?

Kalau kita simak, kekristenan sebagai agama lebih berkembang ke kawasan Timur Tengah, Turki, Yunani hingga ke seluruh Eropa.. Kerangka pemikiran Yunani tentang logos (Bdk. Aristoteles) sangat menginspirasi teologi Gereja hingga kini. Kesulitan muncul ketika Gereja – dengan warna budayanya yang terbentuk berabad-abad – dibawa ke seluruh bagian dunia, berjumpa dengan banyak sistem religius, tradisi budaya dan agama-agama lain.

Masalah-masalah muncul ketika budaya yang bersifat parsial ingin dijadikan universal.

Lebih memprihatinkan lagi ketika simbol-simbol budaya tersebut menjadi tolok ukur dalamnya keimanan pemeluknya (misalnya menjadi benar-benar Katolik ketika memasang salib atau pohon Natal, atau berkalung rosario dan sebagainya). Penghayatan agama melalui simbol-simbol hanya akan mengerosi kedalaman beragama, dan pengalaman iman menjadi stagnant, sebuah indikasi kegagalan metodologi pengajaran agama atau katekese.

Di sisi lain, menyamakan kekristenan dengan Barat memang tidak sepenuhnya tepat karena kerygma, atau inti pokok pesan Injili tetap disampaikan. Yang bisa bermasalah  adalah bungkus budaya yang khas.

Keniscayaan Inkulturasi

Inkulturasi sebenarnya adalah keniscayaan apabila Gereja tidak mau terjebak dalam keterasingan, eksklusivitas atau mengalami kegagalan syiar-nya. Sudah jamak kita dengar di bumi Indonesia kalau pemeluk Kristen adalah sebuah kelompok eksklusif dan kaya. Tercermin dari pagar sekolah, biara/gereja yang mengelilingi bangunan. Para rohaniwannya yang berjarak oleh karena status sosialnya, atau umat sendiri yang merasa mempunyai privilese keselamatan sehingga merasa lebih berkelas, dan karena itu kurang bersosialisasi, atau bersosialisasi dengan cara-cara yang tidak pas/tepat. Salah satu dampaknya cukup jelas mengapa gereja dianggap “kurang menyatu” dengan masyarakat kebanyakan, menjadi sulit mendirikan tempat ibadah meskipun sudah difasilitasi dengan  terbitnya SKB (Surat Keputusan Bersama) dua menteri.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Sulitnya mendapatkan izin dari perwalian masyarakat setempat untuk membangun gereja tidak menutup kemungkinan bahwa ini disebabkan karena masih adanya kecurigaan atas  keberadaan Gereja di bumi pertiwi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,  ditambah  masalah politik praktis yang ada. Tidak sedikit para pemeluk Kristen Indonesia tiba-tiba merasa menjadi tamu asing di rumah atau di negerinya sendiri. Spirit 100% Katolik dan 100% Indonesia masih belum benar-benar membumi. Menimbulkan pertanyaan apakah Gereja Katolik (di) Indonesia sudah melakukan public communication and relation yang efektif? Branding yang mau dibangun, baik sebagai institusi maupun oleh sebagian besar pemeluknya, termasuk nama-nama besar seperti Van Lith, I.J. Kasimo, Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, Romo Mangun, dan lain-lain,  tidak cukup menarik gerbong imaji bahwa Gereja berpihak kepada kaum miskin dan terlibat dengan keprihatinan serta  pembangunan Ibu Pertiwi, dan kalah imaji oleh mahalnya sekolah-sekolah dan Rumah Sakit Katolik.

Kabar Gembira terkendala untuk disampaikan sebagai pembebasan untuk semua orang karena ketidaksepahaman budaya dan “bahasa” di mana Gereja tinggal, padahal “semua orang tercengang-cengang bagaimana mungkin kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, mendengar mereka (para Rasul) berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah ?” (Lih. Kisah Para Rasul 2, 8-11). Bagaimanakah sebuah pesan Injili yang begitu penting yakni cinta kasih yang membebaskan dapat dipahami oleh semua orang dari berbagai agama, tradisi religius, sistem nilai dan budaya yang berbeda?

Baca Juga:  Perlu Peningkatan Kapasitas, Unio Regio Makassar-Amboina-Manado Adakan Pelatihan Motivasi dan Kepemimpinan kepada Para Imam

Roh Inkulturasi

Roh dari inkulturasi sebenarnya adalah Allah sendiri, di dalam peristiwa inkarnasi (carne = daging. Lat.), yakni Sabda yang menjadi Daging. Mengutip Injil menurut Yohanes, “Pada mulanya adalah Sabda, Sabda itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah sendiri (1,1-2) (dan) Sabda itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita (1,14). Dalam ungkapan Rasul Paulus “telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia“ (Filipi 2, 7-8).

Imperatif teologis yang pertama adalah bahwa Allah meninggalkan “dunia”-Nya untuk masuk ke dunia manusia yang ingin diselamatkan-Nya. Sebuah cara yang luar biasa  untuk pertama-tama menjadi sama, senasib seperjuangan, memahami dan kemudian membawanya kembali kepada tujuan penciptaan. Masuk ke dalam sistem nilai dan cara berpikir budaya setempat, yang ingin dilayani, menjadi keharusan yang tidak dapat diabaikan oleh gereja (di) Indonesia.

Imperatif teologis yang kedua adalah kerendah-hatian Tuhan kepada manusia, yakni,  bagaimana Dia yang duduk di takhta maha tinggi mau merendahkan diri-Nya sedemikian rupa, bahkan sampai masuk ke dalam kematian (sebuah keniscayaan paling akhir yang menakutkan). Kerendahatian ini juga yang semestinya menjadi semangat inkulturasi dan dialog dengan pihak lain di luar Gereja.

Memandangi patung bayi mungil dalam dekorasi sederhana ala Jawa di sebuah keluarga di desa, semakin memberikan pamahaman refleksi atas kerendahan hati Tuhan, bahwa Ia datang tidak hanya untuk kalangan istana dan para ahli kitab, tetapi juga untuk yang paling sederhana, miskin, tertindas dan terlupakan. Tuhan sendiri telah masuk ke dalam dunia manusia yang ingin diselamatkan-Nya. Inilah imperatif teologis yang ketiga: Ia datang bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Faktanya adalah bahwa kelahiran Yesus sudah terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu, dan misinya terus diemban oleh Gereja sampai hari ini. Gereja yang tidak lagi menampakkan wajah Tuhan – yang menghamba – ibarat tubuh kehilangan jiwanya. Mungkin Natal kali ini saatnya merenungkan kembali bagaimana Dia bisa lahir di bumi pertiwi dan menjadi kegembiraan seluruh masyarakat Indonesia.

SELAMAT NATAL 2020!

RUY Pamadiken, Kontributor Tangerang/IG/Instagram: Innerjourney1503.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles