HIDUPKATOLIK.COM – “KAMBUH, Mo?” tanyaku saat Romo memegang perutnya.
“Biasa,” jawab Romo Pri.
Romo Pri punya masalah dengan pencernaannya. Saat kelelahan, penyakitnya pasti kambuh.
“Minyak kayu putih, Mo. Air putih hangat atau saya buatkan teh?” ucapku.
“Sudah minum teh. Mau kuolesi minyak kayu putih. Istirahat sebentar dulu,” ucap Romo Pri.
Melihat muka Romo yang menahan sakit, aku merasa trenyuh. Romo Pri tidak mungkin tidak memimpin Misa malam ini. Hanya ada satu romo di sini. Misa pukul 19.00 tidak bisa dibatalkan.
Pukul 18.30, Romo Pri belum keluar dari ruangannya..
“Bagaimana, Bu? Romo sudah siap?” tanya Pak Tanto, ketua Komsos.
“Belum keluar,” kataku.
“Tinggal 25 menit,” ucap Pak Tanto.
“Kita tunggu saja. Romo bilang mau istirahat sebentar tadi,” kataku.
Covid-19 yang berpengaruh pada semua bidang kehidupan, membawa perubahan juga pada peribadatan umat. Pandemi akibat Covid-19 membuat umat tak bisa lagi beribadah di Gereja. Kalau toh sekarang sudah ada ibadah di Gereja, jumlah umat yang ikut dibatasi.
Paroki kami berinisiatif mengadakan Misa live streaming dengan tujuan memfasilitasi umat dalam beribadah. Usai Misa, ada acara hiburan secara live streaming juga. Acara ini diharapkan dapat menghibur umat yang harus tinggal di rumah dan tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
“Romo belum keluar, Bu?” tanya Pak Didi, koster..
Aku menggelengkan kepala. Ruangan favorit Romo Pri letaknya di samping ruang Komsos. Ruang Komsos menjadi ruang operator live streaming. Di sinilah, semua diolah untuk disiarkan kepada umat.
“Saya ketuk saja kamarnya. Tinggal 15 menit lagi,” kata Pak Didi.
“Ya, Pak. Beliau juga pasti akan menegur kita kalau tidak dibangunkan,” kataku.
“Atau Bu Ani saja yang mengetuk?” tanya Pak Didi.
“Woalah, Pak. Piye to? Lha kok malah saya,” kataku.
“Kalau sama Bu Ani, Romo tidak bisa marah to,” kata Pak Tanto.
Kondisi begini yang paling tidak aku sukai. Jika ada saat-saat genting dan harus bicara dengan Romo, maka aku yang disuruh untuk maju.
Akhirnya, aku pun beranjak. Pintu kuketuk satu kali …. Tuk ….
“Ya ….”
Terdengar suara Romo dari dalam. Semua yang di ruang Komsos terlihat bernapas lega. Romo membuka pintu. Pak Didi sudah siap untuk memakaikan Alba dan segala perlengkapannya.
“Lonceng pembuka agak lama durasinya agar Romo bisa persiapan,” kataku pada Dian.
“Baik, Bu,” jawab Dian, operator handal kami.
Misa malam ini berlangsung khidmat dan khusyuk. Di mataku, Romo terlihat masih menahan sakit. Tapi dari live chat, tak ada satu pun umat yang berkomentar tentang kondisi Romo. Memang, Romo Pri berusaha menyembunyikan apa yang dirasanya. Keceriaan saat awal menyapa umat dan homilinya yang selalu menarik, membuat beliau dapat menutupi rasa sakit yang diderita sampai Misa usai.
“Teh,” kataku. Kusodorkan teh manis hangat.
“Terima kasih,” kata Romo.
Pak Didi membantu Romo melepas Kasula. Setelah itu, Romo minum teh.
“Masih sakit, Mo?” tanyaku.
Romo menatapku. Dimintanya Kasula yang dipegang Pak Didi.
“Ibu tahu ini? Apa namanya?” tanya Romo.
“Kasula,” jawabku.
“Ibu tahu maknanya?” tanya Romo lagi.
Aku mengelengkan kepala.
“Ada yang tahu maknanya?” tanya Romo kepada semua orang yang ada di ruang Komsos.
“Ketulusan dan pengorbanan,” jawab Dian, mantan putra altar yang sekarang sudah jadi OMK dan berkontribusi di Komsos.
“Kurang lebih begitu. Kasula ini melambangkan keutamaan kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan,” kata Romo sambil masuk ke dalam ruangannya.
Aku hanya bisa diam menatap Romo yang masih memegangi perutnya. Sebelum masuk ruangannya, Romo menoleh.
“Heh … kalian orang Komsos. Cari tahu juga tuh apa makna Alba, Singel, Stola, dan Amik. Itulah yang membuat Romomu ini kuat memimpin Misa malam ini,” kata Romo sambil menutup pintu.
Usai acara hiburan, tugasku berakhir untuk malam ini. Aku bisa pulang dan bertemu dengan suami serta anak-anakku. Tidur di rumah yang nyaman sambil melepaskan sejenak urusan sebagai penanggung jawab Komsos di Gereja.
“Kalian bisa pulang dan melupakan segala hal yang berkaitan dengan masalah Gereja. Aku? Ke mana aku pulang? Di sinilah rumahku. Ketaatanku membawaku untuk tinggal di gereja ini. Kuabdikan waktuku 24 jam untuk paroki kalian. Paroki yang belum lama berdiri. Paroki pinggiran yang ada di bagian ujung wilayah keuskupan kita,” kata Romo Pri.
Baru saja, Romo mendapat laporan berupa protes dari beberapa umat yang menanyakan acara live streaming di Paroki. Romo dituduh menghambur-hamburkan dana. Acara itu dinilai tidak berbobot dan tidak memberi solusi bagi umat yang terkena dampak Covid-19. Maklum, umat kami banyak yang berprofesi sebagai karyawan industri. Pengurangan gaji, dirumahkan, bahkan di-PHK menjadi masalah yang menghantui umat dan perlu dicarikan solusi.
“Bisa saja aku show on sendiri seperti yang sedang trend saat ini. Aku bisa homili atau khotbah atau bikin renungan untuk cari duwit. Bisa! Aku ahli peran, tata panggung, dan tata artistik. Aku menguasai beberapa bahasa. Ilmuku juga tidak cethek,” ucap Romo Pri lagi.
Aku dan Pak Tanto hanya bisa diam. Kami sengaja diundang siang itu sebagai pengurus komsos untuk diajak bicara oleh Romo.
“Tapi bukan watakku untuk tampil solo. Aku ingin saat aku harus pergi dari sini, kalian yang akan membangun gereja ini, meneruskan program-program yang membuat Gereja kalian mandiri. Tidak lagi harus ngamen untuk minta-minta dana ke paroki-paroki lain. Lanjutkan apa yang sudah kurintis! Ini gereja kalian. Maka, cintailah gereja ini! Aku pasti akan pergi. Aku tidak mungkin akan ditugaskan di sini terus. Katakan pada mereka, aku tidak menggunakan dana yang kalian punya. Dana itu masih utuh dan bisa kalian gunakan.”
Romo Pri terdiam. Dari sorot matanya, aku tahu kalau pria paruh baya itu sebenarnya sangat capek.
“Kubaktikan diriku untuk gereja ini. Lihatlah, aku di sini 24 jam. Kalau aku keluar dari lingkungan gereja ini, itu karena ada keperluan yang memang mengharuskan aku keluar. Selebihnya, aku di sini 24 jam. Mengertikah kalian?”
Aku mengamini yang Romo Pri katakan. Jarang sekali, Beliau keluar. Kalau mau mengakui, banyak perubahan yang Romo Pri lakukan untuk gereja kami. Sayangnya, belum semua umat boleh masuk ke gereja karena protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19. Sebagian besar umat, hanya bisa menyaksikan kondisi gereja lewat live streaming acara-acara hiburan yang diprogramkan oleh Romo Pri, untuk penggalangan dana. Cara ini dilakukan karena tidak mungkin lagi berharap pada pemasukan yang berasal dari kolekte umat. Umat yang tidak mengerti tujuan program-program itu hanya bisa mengajukan protes ketidaksetujuan. Sebagai pengurus Komsos, kami diminta untuk memberi pengertian kepada umat agar tidak salah paham.
Dengan langkah sigap, Romo Pri kembali mengawasi para tukang yang sedang mengerjakan proyek pembangunan gereja. Romo Pri mengawasi langsung proyek itu. Sebelumnya, proyek pembangunan gereja menjadi lahan basah bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dari pagi, Romo mengawasi proyek. Sore nanti, Beliau harus mengawasi live streaming. Belum lagi, persiapan Misa harian, mingguan, dan administrasi gereja. Delapan ribu umat juga harus dipikirkan dengan berbagai persoalannya..
“Itu sudah pilihan hidupnya. Hidup sebagai pastor. Maka, dia harus tanggung semua konsekuensinya. Sok banget sih. Gak bisa ditemui karena sibuk. Sibuk apaan?” ucap seorang umat ketika diberi tahu harus menunggu jadwal kosong dari Romo Pri, dan tidak bisa langsung menemui Romo paroki kami itu.
Memang benar, menjadi pastor adalah pilihan hidup. Benar juga kalau seorang pastor harus menanggung segala konsekuensi dari pilihan hidupnya. Tapi, tak bisakah umat menyadari bahwa pastor juga manusia? Seorang manusia dewasa yang butuh banyak pemehuhan juga dalam hidupnya, tapi sebagian tidak terpenuhi karena dia korbankan untuk tugas yang mulia. Pantaskah cacian, ketidakpercayaan, hinaan, bahkan hujatan dilayangkan untuk manusia yang punya rahmat tahbisan sebagai pastor? Romo Pri sudah membaktikan hidupnya untuk melayani sesama selama 24 jam. Masih kurangkah?
Oleh Fransisca Tining Akasiani