HIDUPKATOLIK.COM – JANGAN kaget kalau suatu pagi di kebun Pastoran Paroki Santo Roberus, Cillitan, Jakarta Timur, menjumpai Romo Alex Dirdjasusanto, SJ atau akrab disapa Romo Alex sedang asyik nyangkul di kebun. “Untuk cari keringat saja,” katanya. Dalam usia 82 tahun, Romo Alex yang pernah dijuluki “dokter” di Inrehab Pulau Buru itu, tetap tidak asing dengan cangkul dan sabit. Lahir di Promasan, Sedangsono, Kedu, ditahbiskan sebagai imam Jesuit tanggal 16 Desember 1970, kebiasaan mencangkul waktu keciI tidak hilang.
“Saya sedang menunggu tumbuhnya pohon singkong,” katanya. Selain singkong, ia juga menanam pohon durian. Dari dua durian montong yang ditanamnya, yang satu sudah berbuah. “Bibit dari umat?” “Tidak semua. Bibit pohon singkong memang dari umat, tetapi bibit durian saya beli di Bandung. Dalam rangka suatu acara di Bandung, saya beli durian, lalu sekalian beli cangkokan durian,” kata Romo Alex yang sejak beberapa tahun lalu berkarya di Paroki Cililitan. “Dulu, sudah lama banget.”
Kebiasaan tiap pagi nyangkul kebun pastoran yang tidak luas itu, kata Romo Alex, hanya bagian dari agar terus bugar. Jalan-jalan saja tidak cukup. Masih aktif sebagai romo rekan, termasuk ke wilayah dan lingkungan paroki, hari ini, Rabu, 16 Desember 2020, Romo Alex genap 50 tahun usia tahbisan sebagai imam. Selain dirinya ada dua rekan romo Jesuit lain, Romo Florentinus Subroto Widjojo SJ dan Romo James Barata Putra, SJ. Romo Subroto Widjojo (81) saat ini berkarya di Paroki Blok Q atau dikenal Gereja Santa, sedangkan Romo James berkarya di Valengkanni, Medan, Sumatera Utara.
Dari serangkaian penugasannya, Romo Alex sangat terkesan ketika selama 5 tahun (1977-1982) ditugaskan di Inrehab Pulau Buru. Dia ditugaskan menangani tapol yang ditahan di Pulau Buru, khusus untuk memberikan pelayanan rohani bagi yang beragama Katolik. Jumlahnya kecil. Dari sekitar 17.000 penghuni, awalnya hanya 300 orang Katolik, tetapi kemudian berkembang menjadi 1.000 orang. Tugasnya hanya melayani yang Katolik, tidak ada maksud lain. Tetapi di luar kegiatan rohani, ia juga melayani semua penghuni.
“Nah, dari kegiatan itu saya dijuluki dokter mata,” jelas Rama Alex, pengagum Pastor Antony de Mello SJ ini. Baru beberapa minggu tinggal di Inrehab, Romo Alex melihat yang paling mendesak dibutuhkan untuk penghuni adalah kacamata. Mengapa? “Karena terkena sinar matahari yang terik ketika membuka persawahan.” Atas persetujuan komandan Inrehab, dia mencari bantuan ke Jerman. Saat itu dibutuhkan sekitar 300 kacamata positif maupun negatif. Karena mendapat bantuan dari Jerman, setiap pasang kacamata bisa mereka beli dengan harga Rp. 10.000. “Karena mengusahakan kacamata murah itu saya dijuluki dokter mata.”
Selain mengusahakan kacamata bagi penghuni, atas seizin komandan Inrehab dan permintaan umat, Romo Alex membangun gereja di Namlea. “Sebelumnya sudah ada beberapa kapel yang dibangun Romo Ruffing, SJ. Saya menggantikan dia, sebab dia tidak diizinkaan masuk ke Inrehab. Menariknya, ketika membangun gereja, orang harus berlari-lari membelah laut selagi air laut surut sambil membawa semen, batu bata, dan lain-lainnya.” Gereja berukuran 20 x 20 meter ini selesai dikerjakan dalam waktu 11 bulan, melengkapi 15 kapel sebelumnya. Gereja langsung diberkati dan dipakai untuk kegiatan rohani. Beberapa tahun kemudian, ketika Romo Alex mengunjungi Buru, gereja dipakai untuk penampungan pengungsi korban konflik agama di Ambon. “Konon kemudian mereka berangsur-angsur pulang,” ujarna.
Mengenai de Mello, buku-buku renungannya banyak diterjemahkan oleh Ignatius Kardinal Suharyo, karena selama 12 bulan pada tahun 1975 Romo Alex pernah mengikuti bimbingannya di India. “Saya banyak memanfaakan buku-buku dia dalam memperdalam kehidupan rohani saya dan dalam memimpin retret, atau kegiatan rohani lainnya.” Tidak lagi banyak membaca seperti dulu, sebab ada gangguan pada mata, Romo Alex terus menulis. Buku terbarunya, tiga buku tipis terbitan April, Mei dan Juni 2020, berisi bimbingan doa hening/meditasi/kontemplasi dalam upaya pendalaman kehidupan rohani yang praktis untuk umat. “Nyangkul itu untuk cari keringat. Sebentar saja. Sudah tua,” sambungnya sambil tertawa lepas.
St. Sularto, Kontributor