HIDUPKATOLIK.COM – SEJAK Muhammad Rizieq Shihab (MRS) pulang tanggal 10 November 2020 dari tiga tahun di Mekkah, ribut-ribut sekitar dia tak habis-habis. Mirip dengan kembalinya Imam Khomeini di Teheran, Iran pada tanggal 1 Pebruari 1979. Terjadi kerumunan puluhan ribu pendukung di Soekarno-Hatta, di depan rumahnya, di jalan ke Megamendung, Bogor. Selama tiga hari, pemerintah diam terkena shok. Akhirnya ada reaksi. Ada pimpinan kepolisian dicabut. Militer menyatakan sikap.
Lalu kita, kita orang Katolik, harus bersikap bagaimana? Yang jelas, kita jangan larut ikut emosi. Di saat seperti ini kita harus tahu diri. Penuh semangat mendukung pelbagai reaksi malah bisa konterproduktif. Kita tidak akan menaikkan baliho MRZ dan tidak akan menurunkan baliho MRZ. Biar tanggapan hukum dan politik ditangani negara. Kepolisian dan TNI tidak perlu tepuk tangan kita.
Begitu pula, apakah fenomen MRZ termasuk radikalisme agama atau tidak, bukan urusan kita. Itu tentu urusan komunitas Islam di Indonesia. Biar mereka sendiri menyikapi pelbagai pewujudan dalam umat mereka. Kita ikut ribut-ribut Pak MRZ dan FPI itu hanya akan, sekali lagi, konterproduktif.
Yang diharapkan dari kita umat Katolik Indonesia adalah terus membangun hubungan baik denga umat Islam. Di situ perlu kita mensyukuri toleransi yang kita nikmati. Toleransi? Memang, bisa ada dua tiga paroki yang diganggu perayaan Natalnya. Ada gereja yang tak bisa dibangun. Setahun paling-paling ada 20 atau 30 kasus intoleranasi dalam wilayah seluas 5.000 km lebih, “dari Sabang sampai Merauke”, dengan 270 juta warga! Sedangkan di semua tempat lain – dari Banda Aceh sampai Jayapura – umat-umat kita hidup, berkomunikasi, bekerja dan beribadat tanpa takut! Kita harus mensyukuri toleransi bangsa Indonesia itu!
Tentu selalu akan ada masalah. Tetapi seharusnya kita mensyukuri integrasi kita umat Katolik dalam masyarakat Indonesia. Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bersahabat dengan Pater van Lith di Muntilan. Para peserta Kongres Pemuda II 1928 – yang melahirkan Sumpah Pemuda – malah mulai pertemuan mereka dalam bangsal milik Pemuda Katolik. Partai Masyumi bersahabat dengan Partai Katolik, PMKRI dengan HMI. Kita ingat peran dua sosok luar biasa, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, dalam membangun jaringan komunikasi dengan kita. Hubungan kita dengan Nadlatul Ulama dan Muhammadiyah belum pernah sebaik sekarang. Dengan sikap tahu diri, menghindar dari segala jor-joran, terbuka, positif dan rendah hati kita mendapat sahabat-sahabat dalam umat Islam yang dapat kita andalkan.
Dan satu hal mesti jelas: pemerintah dapat mengandalkan loyalitas kita. Kita bisa, dan kadang-kadang harus, kritis. Tetapi pemerintah boleh memperhitungkan kita (dan bukankah pemerintah Jokowi membawa kita secara lumayan bahkan dalam pandemi Covid-19?). Sebaliknya, seruan seperti yang kita dengar sejak Agustus lalu, dan sekarang lagi: “Ambil Alih Pemerintahan ke tangan rakyat!”; “bersama Gerakan KAMI mari kita cabut mandat Jokowi’; “mari hancurkan pemerintahan oligarki ini! Sudah saatnya rakyat mengambil alih!” adalah seruan haram dan jahat. Siapa yang mengangkat Anda untuk menggantikan pemerintah yang dipilih oleh rakyat sendiri?
Masa depan bangsa Indonesia tidak akan gampang. Krisis Covid-19 akan menuntut perubahan-perubahan yang pasti tetap ada kurbannya. Sumbangan kita adalah agar di Indonesia tetap benar bahwa Bhinneka Tunggal Ika, “meski banyak kita bersatu”. Untuk itu kita harus menjadi kawan tepercaya umat-umat lain di Indonesia.
Pastor Franz Magnis-Suseno, SJ, Guru Besar Emeritus STF Driyarkara, Jakarta