HIDUPKATOLIK.COM – BUBARAN dari acara resepsi pernikahan saya cepat-cepat berjalan menuju pintu keluar hotel di daerah Senayan. Sesampai di teras hotel, banyak orang berkerumun. Rupanya antri menunggu jemputan mobil pribadi ataupun taksi, dan karena hujan. Saya berdiri di tangga paling atas, tidak bisa turun lagi. Tidak lama datang satu mobil mewah, yang benar-benar mewah karena brand yang jarang. Rupanya milik seorang pejabat. Ajudannya keluar dan membukakan pintu. Bapak dan ibu pejabatnya menuruni tangga namun tidak segera masuk mobil, melainkan berbicara dengan ajudannya sambil menengok ke kiri-kanan dan ke arah kerumunan. Semua mata yang berkumpul di tangga layaknya tertuju ke sana, dan melihat wajah mereka. Setelah cukup waktu, mereka masuk mobil dan pintu ditutup oleh ajudannya. Sama seperti bossnya, sang ajudan juga berdiri menengok ke arah kerumunan sebelum masuk mobil. Nggak tahu apa maksudnya, namun semua mata melihat bahwa engkau juga hebat.
Mobil ternyata mengidentifikasi pemiliknya. Mobil berharga merasa dirinya berharga dan perlu pengakuan khalayak.
Hal tersebut juga nampak ketika saya berkendara di jalan tol. Mobil yang disalib dengan sedikit dipepet oleh mobil lain tiba-tiba membunyikan klakson dengan keras dan berusaha membalas untuk mendahuluinya. Atau mobil ukuran kecil yang tiba-tiba mendahului mobil dengan cc yang lebih besar, membuat penasaran atau marah si mobil besar sehingga tidak mau kalah untuk juga berlari kencang. Meskipun tidak nampak orang di dalamnya karena kaca mobil gelap, namun cara mobil ber-zigzag seolah mewakili orang yang di dalam.
Mobil menyatu dengan perasaan, pikiran dan perilaku pemiliknya.
Teman saya juga marah besar saat mobilnya yang baru selesai dicuci, dipegang oleh anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak lari terbirit-birit karena dibentak oleh teman saya. Ada pemilik mobil yang teriak saat kaca spion mobilnya tersenggol spion kendaraan roda dua ketika keluar dari halaman gereja, sehabis Misa Minggu pagi.
Rupanya apa yang terjadi dengan mobil (seolah) langsung terjadi pada pemiliknya, mobil menjadi kepanjangan dirinya. Dia identik dengan mobil dan sebaliknya. Kepemilikan seseorang atas mobil seratus prosen, membuatnya terlekat menjadi satu. Senggol bacok.
Rumah
Rupanya identifikasi seseorang tidak hanya terjadi pada mobil, tapi juga pada rumah.
Rumah yang besar dan mewah menumbuhkan kepercayaan diri, sebaliknya rumah yang sederhana membuat pemiliknya kurang percaya diri, merasa enggan menerima tamu atau teman di rumahnya sendiri. Banyak yang meng-upload gambar rumahnya di grup-grup virtual karena merapresentasi “harga” pemiliknya. Tidak hanya rumah, identifikasi kepemilikan itu sampai ke halaman rumah. Saya ingat sekian puluh tahun yang lalu ketika seorang tetangga sangat tersinggung karena halaman rumahnya kemasukan daun-daun pohon yang menjulur dari rumah tetangganya. Tidak boleh ada ranting pohon yang melewati batas pagar rumahnya. Seakan-akan mencederai atau mengintervensi daerah kekuasaan dirinya. Mungkin karena itu banyak halaman rumah yang diberi pagar tinggi, seakan-akan pagar makin tinggi makin kuat pemilik rumahnya. Terjadi percekcokan antara batas pribadi dan umum.
Dunia dan hubungan manusia menjadi rumit ketika tidak ada ruang bersama, namun hanya batasku dan batasmu, tiada ruang toleransi dan dialog. Banyak hal diukur dari kepemilikan, alias having, yakni mobil, rumah, harta, uang dan kekuasaan.
Identifikasi Lain-lain
Apabila litani di atas diteruskan, maka akan ditemukan banyak penyamaan-penyamaan atau identifikasi diri kepada atau dengan wujud-wujud lainnya.
Saya ingat seorang teman lama yang – tidak diminta – membagi-bagikan kartu namanya. Di depan namanya ada gelar Drs, dan di belakang namanya ada gelar MBA dan di bawah namanya ada tulisan Logistic Manager. Oh ya, kantornya di Jalan Sudirman, Jakarta, sebuah kawasan perkantoran elit. Gambaran orang sukses dan tentunya orang penting di perusahaannya. Ia berhasil menduduki jabatan tersebut pasti dengan perjuangan yang lama dan keras. Dan karena jabatan tersebut ia “terpaksa” mentraktir saya dan teman-teman (haha). Kemudian ia pergi pamit balik ke kantor dengan perasaan terbang, yang memang pantas untuk itu.
Fenomena lain yang juga terjadi adalah bahwa orang merasa menjadi “sesuatu” atau “seseorang” hanya dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada hubungannya, namun dikaitkan dan dibanggakan. Seperti misalnya seseorang yang tinggal di daerah kawasan perumahan mewah tertentu, menjadi karyawan di sebuah perusahaan besar, ikut menjadi anggota organisasi dari sebuah organisasi masyarakat atau partai politik yang terkenal, menjadi peserta sebuah webinar nasional dengan para tokoh, aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan berkelas, bergabung di dalam komunitas religius tertentu dan lain-lain. Sampai kepada hal yang kecil, yakni merasa istimewa karena mempunyai pelat mobil yang nomernya lain daripada yang lain, sehingga merasa lebih berhak atas jalan umum dan mengabaikan urgency pengendara lainnya. Fenomena kecil lain adalah seseorang merasa berharga dan hebat kalau bisa menyebut nama atau berfoto bersama para tokoh atau para pejabat negeri, atau tinggal bertetangga dan satu jalan dengan salah satu dari mereka.
Mengidentikan diri dengan komunitas atau kelompok di mana dia berada juga delusif. Memang ada anggota partai yang jempolan, bukan berarti semua anggota partai juga otomatis jempolan. Memang ada alumnus dari sekolah SMA yang hebat, bukan berarti alumninya juga semua hebat, meskipun merasa hebat boleh-boleh saja. Kekeliruan-kekeliruan persepsi ini telah menimbulkan keyakinan dan rasa percaya diri yang semu. Karena seseorang masih belum menemukan dirinya sendiri, yang sama sekali tidak berbasis atas predikat, kepemilikan, peran maupun atas pandangan komunitas sosialnya tadi.
Semua itu pada hakekatnya sementara, terbatas oleh waktu, ilusif dan dapat dikatakan palsu. Predikat atau peran berbicara tentang seseorang tetapi bukan seseorang itu sendiri.
Oleh karena itu mengapa orang yang berkelimpahan masih terus mencari, karena identifikasi diri dengan predikat dan peran-peran ilusif tadi tidak ada batasnya. Batasnya ada pada kesia-siaan dan kehancuran karena dikendalikan oleh ego dan kelekatan tidak teratur. Kebahagiaan tidak pernah ditemukan di luar diri sendiri, sejatinya. Ketika orang mencarinya ke luar, ke dalam bentuk uang, harta, jabatan dan kekuasaan atau kelekatan yang lain, ia akan kehilangan, tidak hanya kebahagiaannya tapi dirinya sendiri dan hidupnya sendiri.
Bagaimana pribadi-pribadi yang seperti ini bisa menyuarakan kebenaran? Seorang penyair Persia sekaligus seorang sufi pada abad ke empat belas menulis dengan sangat elok “I am a hole in a flute that the Christ’s breath moves through. Listen to this music” (The Gift, New York: Penguin, Arkana, 1999, terjemahan Daniel Ladinsky).
Namun manusia sudah tidak menjadi filter yang transparan lagi bagi kekudusan Allah dan semesta ciptaanNya.
“Alangkah sukarnya seorang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah, lebih mudah seekor unta masuk ke dalam lubang jarum,” kata Yesus (Mat. 19, 24-25). Bukan soal uang tapi mentalitas. Tidak ada ruang tersedia bagi Kerajaan Allah alias Allah yang meraja.
Hidupnya terpenjara dalam ruang kosong ilusif, greedy, dan tak pernah sampai, bahkan kepada dirinya sendiri.
RUY Pamadiken, Kontributor, Tangerang. IG: innerjourney1503