HIDUPKATOLIK.COM – SELAMAT datang Desember ….
Menghalau kemarau, menghadirkan teduh
Sayang musim hujan kali ini tak sekadar air yang mengucur
Meluncur deras pula ujaran kebencian bahkan serapah
Masihkah payung yang disediakan mampu mencegah?
Ada dua lagu dari generasi berbeda yang kukenal dengan payung sebagai objek liriknya. Tembang lawas bertajuk Payung Fantasi dengan syair romantis menggelitik juga ceria. Satu lagi lagu Umbrella dari Rihanna di mana liriknya bila dicermati konon agak nakal.
Bagaimanapun penjabaran soal payung dalam lirik lagu atau kalimat puitis saat melepas rayuan, tampaknya payung tetap identik sebagai simbol ‘pelindung’. Baik dari hujan, maupun terik surya menggigit kulit. Begitu pun dalam banyak aktifitas, kerap timbul tanya: “Organisasi, lembaga atau siapa yang memayungi perhelatan ini ya?”
Termasuk payung juga mengingatkan kita dalam berjaga-jaga sebagaimana pepatah klasik tapi tetap relevan sampai kini: “Sedia payung sebelum hujan.” Secara harafiah ungkapan ini bermakna ajakan agar terus berjaga dalam setiap hal sebelum sesuatu menimpa. Lagi-lagi melindungi dalam upaya pencegahan.
Perihal berjaga-jaga, seturut Kalender Liturgi sebagaimana khotbah salah satu romo di minggu pertama adven lalu, ia juga membuka homil singkat dengan kalimat: Sedia Payung sebelum Hujan. “Saatnya berjaga jaga, agar kita selalu siap menyambut kedatangan Tuhan,” ujarnya sambil menyajikan ilustrasi sebagaimana tersurat dalam Injil Markus 13: 33-37 – berjaga-jagalah sebab kamu tidak tahu bilamana tuan rumah pulang. Jangan sampai kita tertidur saat tuan rumah pulang –
Menilik situasi terkini, di tengah pandemi beradu dengan hawa panas iklim politik jelang pilkada hari ini, Rabu, 9/12/2020, hingga keterpurukan ekonomi, kiranya selain dalam konteks kerohanian, rasanya banyak sekali yang harus kita jaga, termasuk dalam lisan.
Bulan Desember yang kerap jadi penanda musim hujan ini tampaknya tidak saja akan mengucurkan air. Masih ada jenis ‘hujan’ lain tak kalah deras berupa ujaran serapah demi perebutan kekuasaan. Tumpahan rangkaian kalimat melimpah bagai air bah membanjiri kehidupan sehari hari. Tak terbendung sekalipun sudah sedia payung sebelum hujan. Sebab ‘hujan’ kali ini sangat istimewa.
Bila semua ingin bicara, berebut kata hingga hujatan, siapalah gerangan bakal jadi pendengar? Dan ketika kata yang melesat kilat lewat cangkem itu pun lebih banyak berupa serapah? Siapa lagi kiranya bisa menyimak dengan kepala dingin selain bersiap meluncurkan serangan balik hingga terciptalah perang kata diikuti fisik, sebab diam pun bukan lagi emas akhirnya.
Ahhhh… musim hujan ini pun terasa tetap panas, bertambah panas bahkan. Pertikaian tak berujung dengan isu itu itu lagi telah menggoreskan kekejian. Tak mungkin lagi sedia payung sebelum hujan, sebab ‘hujan’ itu datang bahkan sebelum lagi ada waktu untuk bersiap. Ngeriiii…..!
Permisiiii.. ini sekadar kecemasan terpendam..
Bagaimana akan kuceritakan pada anakku kecantikan Indonesia?
Bagaimana kututurkan kebhinekaan itu kekayaan?
Sebab yang dia saksikan saksikan ternyata:
Tubuh terhempas tak berdaya
Untaian kalimat dalam perang kata
Nyawa jadi syarat persembahan
Pada saatnya dia bertanya: Kenapa ada yang begini ya..?
Apa jawabku?
“Pupuk KASIH di hatimu Nak, agar tak ada yang begitu, apalagi begini…!
Abstrak! Yaah. Apa boleh buat… Payungku sudah robek
Salam Cinta: Ita Sembiring