HIDUPKATOLIK.COM – SETIAP hari kita disuguhi berbagai berita yang menggambarkan agama tidak selalu berhubungan dengan hal-hal yang baik dan suci tetapi juga menjadi sumber konflik dan perpecahan. Memang diakui, bahwa agama pada dirinya menjawab kerinduan manusia untuk membangun relasi yang baik tidak saja dengan Tuhan tetapi juga dengan sesama dan segenap mahluk. Tetapi yang menjalani praktik hidup beragama adalah orang dan pribadi yang dalam dirinya juga memiliki kecondongan untuk berbuat jahat dan jatuh ke dalam dosa.
Salah satu dari sekian banyak kecondongan untuk berbuat jahat dan jatuh ke dalam dosa ialah melakukan kekerasan termasuk di dalamnya kekerasan atas nama agama. Tentu saja ada banyak faktor penyebab mengapa kekerasan atas nama agama bisa terjadi. Menurut hemat saya, salah tafsir terhadap agama dan salah tafsir tentang ajaran agama menjadi salah satu faktor serius yang melahirkan kekerasan atas nama agama. Jika interpretasi yang salah terhadap teks-teks agama tersebut terus berlanjut dan tidak bisa dikendalikan, kekerasan atas nama agama ini bisa jauh lebih brutal dari berbagai bentuk kekerasan lain karena para pelaku merasa yakin dan terus diyakinkan bahwa mereka bertindak atas nama Tuhan.
Agama dipakai sebagai legitimasi untuk membenarkan sikap dan perilaku, yang jika kita memandangnya dengan hati jernih dan mengakui dengan sikap jujur, justru bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri. Agama seharusnya membawa setiap pengikutnya makin beriman. Iman memimpin orang beriman makin mencintai sesamanya dan mengungkapkannya dengan memelihara alam ciptaan dan mendukung hidup semua orang.
Ada berbagai gerakan dialog antar agama sebagai wadah silaturahmi dan belajar hidup bersama dalam damai; berbagai peristiwa yang mempersatukan orang-orang dari berbagai agama seperti solidaritas kemanusiaan menanggapi kemiskinan, krisis global, termasuk tanggap bersama terhadap bencana alam. Meski demikian, tesis mengenai agama yang dihubungkan dengan kekerasan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik. Tambah lagi dengan sikap hidup orang beragama sendiri yang seakan-akan membenarkan tesis tersebut.
Apa yang bisa dilakukan jika salah tafsir terhadap agama dan salah tafsir tentang ajaran agama merupakan salah satu faktor serius yang melahirkan kekerasan atas nama agama? Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan atas nama agama? Apa yang masih kurang dalam penghayatan kita dalam hidup beragama? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita untuk menyadari betapa pentingnya Integritas Etis dalam hidup beragama.
Integritas Etis menjelaskan, apa yang kita lakukan, sikap dan perilaku kita, harus sesering mungkin sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Itu berarti, apa yang diyakini dalam batin sebagai nilai juga terungkap dalam sikap hidup. Dalam hal hidup beragama, hal ini menyangkut kesesuaian antara kata dan perbuatan, antara nilai agama yang dianut dengan sikap hidup atau kesesuaian antara nilai-nilai yang dikotbahkan lewat mimbar-mimbar agama dengan praktik hidup keseharian. Integritas Etis menuntut sebuah kejujuran batiniah yaitu sadar diri dengan menata hidup batin untuk apa seseorang meyakini dan percaya pada sesuatu termasuk agama.
Inti terdalam Integritas Etis: nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan hati, kelemah-lembutan, pengendalian diri dan berbagai kebajikan. Memang, nilai-nilai dan norma-norma moral bukanlah monopoli orang beragama. Meskipun demikian, harus diakui, agama memegang peranan yang penting dalam menggerakkan perilaku moral kita. Kekerasan atas nama agama yang disebabkan oleh interpretasi yang salah terhadap agama dan ajaran agama bisa dicegah jika para pemeluk agama sadar diri yaitu mencapai tingkat pengetahuan batin yang tinggi mengenai agama dan menyadari betapa pentingnya Integritas Etis dalam hidup bergama.
Pastor Ignas Tari MSF, Alumnus Program Studi Master Bioetika dari Hochschule für Philosophie München, Jerman