HIDUPKATOLIK.COM– SAYA masuk Kota Jakarta dengan tujuan pokok cari kerja. Bukan kerja apa saja, tetapi pekerjaan yang sesuai minat dan pengalaman. Minat dan pengalaman? Saya merasa terlatih sejak masuk seminari dalam tulis-menulis, terdidik lebih dari 10 tahun sebelum jebling di seminari sehingga saya merasa punya modal dalam profesi yang butuh kepekaan kemanusiaan itu.
Suatu ketika saya diminta melakukan tugas jurnalistik ke Banjarmasin. Banjarmasin? Mengingatkan sesuatu. Di ibu kota Kalimantan Selatan itu, di sana sejak tiga tahun lalu Susi memenuhi panggilan hidupnya sebagai biarawati. Saya hormati pilihan hidupnya. Selama ini pun saya tidak pernah mencari informasi tentang biara, nama ordo atau nama barunya.
Oleh karena itu, ketika saya ditugasi ke Banjarmasin untuk tugas peliputan pendidikan di sana, saya kaget. Rasa ingin tahu, jiwa dasar profesi jurnalistik “selalu bertanya dan ingin tahu lebih”, muncul. Senantiasa jeli mencari celah. Serta merta wajah yang menyejukkan dengan rambut sebahu, gigi putih berbaris rapi itu menari-nari di depan mata saya.
Meskipun sudah mengantungi telepon dan alamat sejumlah narasumber, begitu sampai di Banjarmasin, niat pertama saya adalah bertemu Susi. Ngiras ngirus, kata orang Jawa. Pakaiannya tentu tidak putih dan abu-abu seragam sekolahnya dulu dengan rambut sebahu, tetapi putih atau soklat jubah biarawati dengan kerudung putih.
Sore itu setelah naik pesawat paling pagi, begitu mendarat, sore harinya saya sudah duduk di ruang tunggu. Menunggu Suster Rosa, nama biara Susi yang saya peroleh dari seorang teman di Jakarta dua hari sebelum berangkat. Entah karena apa, saya baru merasakan, menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan. Dibanding menunggu gajian sementara uang sudah habis pun, sore itu lebih membosankan. Ruang tamu dengan salib, foto Paus dan uskup Banjarmasin tergantung, di tembok sebelah kanannya foto Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, dan foto di dinding sebelahnya, Sr. Angelina dari Marciano (Italia), pendiri Kongregasi Suster-suster Fransiskanes Ordo Ketiga, ikut menambah kesesakan hati. Setengah jam saya menunggu. Dan, pada menit ke-45, pintu terbuka.
“Pak Baroto?”
“Ya, suster.”
“Saya Suster Rosa. Ada apa? Tidak keliru, ya?”
“Betul suster. Saya Baroto, dulu Frater Baroto.”
Diingatkan masa lalu tiga tahun lewat, muka Suster Rosa memerah. Dia kaget. Tidak menyangka, Frater Baroto yang dulu dia rasakan memberi perhatian lebih dari teman-teman yang lain, sekarang duduk di depannya. Rambutnya tidak teratur, nyaris awut-awutan, sedikit gondrong. Beda dengan tiga tahun lalu ketika di Semarang. Berpakaian rapi, kadang-kadang pakai jubah, kadang-kadang pakaian biasa lengan panjang. Dia tidak lupa senyuman orang muda yang ada di depannya ini. Bekas guru agamanya, bekas frater yang membujuknya jadi katekumen, dan kemudian dibaptis. Dirinya, bekas muridnya, yang sekarang biarawati.
Dengan menegaskan nama saya dan panggilan saya dulu, saya sengaja memancing reaksinya. Perkiraan saya tepat. Dia kaget. Wajah memerah, tanda kekagetan luar biasa seorang wanita. Tapi wanita itu sekarang seorang biarawati, yang memilih hidupnya tidak menikah. Saya rasa, dia ingat perhatian lebih yang pernah saya berikan padanya. Dulu memang tidak aneh, sebab saya biasa mengunjungi keluarga-keluarga Katolik. Anehnya, saya paling sering mengunjungi rumah orangtuanya, padahal bukan keluarga Katolik. Anehnya lagi, ibunya selalu menerima saya dengan riang gembira, bahkan meminta Susi sekali-kali ke luar nonton film di bioskop di kota itu. Kami tidak pernah memenuhi anjurannya, sampai suatu saat saya selesai menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral, kembali ke Yogya meneruskan studi.
Sekarang saya berhadapan dengan Suster Rosa yang bukan remaja lagi, tetapi wanita dewasa dengan pakaian biara. Kami sama-sama diam. Kaku. Bel berdering panggilan doa bersama Malaikat Tuhan pukul 18.00. Artinya saya harus pamit.
Dalam taksi yang membawa saya kembali ke hotel, saya merasa kecil di depan Suster Rosa. Dia kelihatan anggun. Semakin cantik. Semalam suntuk saya tidak bisa tidur. Berayun-ayun Susi-Rosa-Susi-Rosa-Susi. Menjelang subuh, saya ambil keputusan: saya menemukan calon istri saya. Suster Rosa.
Setelah seharian mengumpulkan bahan, sorenya pukul lima saya sudah duduk di ruang tamu biara. Sengaja datang pukul lima, sehingga tidak terpotong Doa Angelus. Berbeda dengan kemarin, sore ini Suster Rosa cepat menemui. Berbeda kemarin, sekarang terlihat riang gembira. Kami berjabat tangan. Niat saya mengecup pipinya, tapi urung sebab di depan saya adalah seorang biarawati. Basa basi, saling tukar ceritera. Saya pun berkata pelan: “Suster Rosa, saya cinta.”
Dia diam. Tidak ada ekspresi. Mematung. Beberapa saat baru tersadar.
“Saya sudah kaul memilih hidup membiara, Pak!”
“Saya tahu. Suster tidak boleh menikah. Baru sekali ini saya mengatakan jatuh cinta. Saya ingin kita hidup berkeluarga.”
“Hah! Bapak ini aneh. Tidak bisa. Saya sudah mengucapkan kaul tidak menikah. Tidak bisa.”
“Suster. Sebelumnya saya mohon maaf. Tiga tahun saya sengaja tidak mencari info keberadaan suster, e…Susi, murid saya yang cantik itu. Sekarang justru dalam keadaan pakaian biara, Susi jadi bertambah cantik.” Saya obral gombal, sebab konon wanita suka dipuji. “Susi, jodoh yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak akan jauh-jauh. Yang akan terjadi, terjadilah.”
Entah mengapa, entah karena saya selipkan kata-kata bertuah itu, Suster Rosa mengajukan pertanyaan.
“Apa maunya, Bapak?”
Jurus saya mempan. Dengan pertanyaan itu, saya lihat Suster Rosa mulai membuka pintu hatinya. Cepat saya sambung.
“Begini suster. Saya sudah bekerja. Pada akhirnya nanti berkeluarga. Butuh seorang pendamping, dan itu Susi.”
“Gila Bapak. Saya tidak mau.”
“Tidak usah buru-buru dijawab sekarang. Besok sampai lima hari ke depan, saya ke Banjarbaru mengumpulkan bahan di sana, dan balik ke Banjarmasin. Saya akan bertemu suster lagi.”
“Silakan. Silakan.”
Dengan ketusnya dia berdiri, meninggalkan saya kebingungan. Saya mengerti. Suster Rosa atau Susi pasti terguncang. Shock oleh akal bulus saya. Di satu pihak akan menolak mentah-mentah di lain pihak tidak sampai hati menyakiti hati bekas gurunya yang baik hati itu. Dilematis.
Sore itu saya sudah duduk di ruang tunggu biara. Setelah menunggu satu jam, saya pun keluar ruang tamu. Penjaga tamu tergopoh-gopoh datang, menanyakan buru-buru pulang, saya jawab besok sore saya datang lagi. Esok sorenya saya memang duduk kembali di ruang tamu yang sama, di kursi yang sama.
Sepuluh menit kemudian, Suster Rosa datang. Kali ini saya ambil inisiatif mengulurkan tangan untuk bersalaman dan diterimanya dengan ramah. Dia terlihat gembira. Walaupun dengan jubah biara, gigi sebaris putih itu, wajah yang menyejukkan itu, menari-nari di depan mata. Tambah dewasa, tambah cantik.
Setelah basa-basi, saya bicara tegas seperti tiga tahun lalu di Semarang.
“Susi. Yo, kita hidup menikah.”
“Gila Bapak. Saya harus berkhianat dengan panggilan hidup yang saya pilih? Berkhianat pada Tuhan yang dulu Bapak ajarkan?”
“Bukan berkhianat Susi. Tetapi Anda menemukan jalan yang benar. Hidup berkeluarga atau hidup berselibat sama-sama panggilan suci. Asal dijalankan benar, sama-sama terberkati.”
“Begini saja, Bapak. Tidak usah beri kuliah. Berikan saya waktu dua minggu. Saya akan berikan jawaban, ya atau tidak.”
Dia mengatakannya dengan serius. Terlihat ketus. Saya mengulurkan tangan untuk bersalaman tapi dia tolak. Saya pamit. Sebuah perpisahan yang menyakitkan. Saya menangkap ada keraguan di hatinya.
Dua minggu menunggu jawaban Suster Rosa, ibarat menunggu godot. Tak ada kepastian, juga tugas membuat laporan belum saya sentuh sejak pulang seminggu lalu. Sampai editor saya yang baik hati itu, marah. “Seminggu lagi harus selesai, tiga tulisan bersambung. “ Anehnya, justru dalam waktu belum satu minggu tiga tulisan saya selesaikan lebih cepat, ditemani wajah yang menyejukkan itu. Gigi sebaris putih rapih dengan pemiliknya berjubah biara putih kerudung putih. Menari-nari di atas mesin ketik. Sampai suatu saat ada telepon berdering.
“Halo. Pak Baroto, ya?”
“Ya. Suster Rosa? Apa kabar?”
“Baik. Pak Baroto, langsung saja. Setelah saya bicarakan dengan suster kepala, setelah berdoa dan merenungkan janji saya, saya tidak bisa Bapak. Saya ingin tetap di biara. Mohon maaf.”
Telepon diletakkan. Ambyar sudah harapan saya. Saya terduduk lesu di kursi. Gagang telepon belum saya letakkan di tempatnya. Cukup lama. Saya siuman ketika ada orang yang meletakkan gagang telepon di tempatnya, dan menyentuhkan tangannya agar saya duduk yang benar di kursi.
“Tidak ada apa-apa, kan?”
Suara merdu yang menyadarkan saya itu suara Henriette, sekretaris Redaktur Pelaksana yang datang menaruh surat di meja saya.
“Tidak apa-apa.”
“Mas Baroto tadi pingsan.”
Henriette lantas mengangsurkan minuman. Saya pingsan? Karena cinta saya ditolak? Lama-lama saya ingat wajah Suster Rosa dua minggu lalu. Cantik. Saya merasa berdosa. Membujuk dia meninggalkan biara. Saya hormati keputusannya.
“Tuhan, maafkanlah saya.”
Jakarta, Agustus 2020
Oleh Baroto