HIDUPKATOLIK.COM – HARI AIDS sedunia yang jatuh pada hari Selasa, 1 Desember 2020, mengingatkan saya akan tema hari AIDS tahun 2019 yaitu Bersama Masyarakat Meraih Sukses. Salah satu yang ingin dicapai oleh Kementerian Kesehatan dan para mitra melalui tema tersebut adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat agar menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV.
Ajakan ini mengingatkan saya akan film nominasi FFI tahun 2015 berjudul Nada dan Asa karya Charles Gozali. Film ini mengangkat kisah sebuah keluarga yang terpapar HIV. Di satu sisi, digambarkan bagaimana masyarakat kebanyakan masih mendiskreditkan dan menjauhi orang dengan HIV, walaupun mereka dapat berkarya dengan baik. Di sisi lain, dikisahkan juga segelintir orang yang peduli dan mempunyai hati untuk menjadi sahabat positif bagi orang dengan HIV. Film ini sangat realistis dan itulah yang terjadi di masyarakat pada umumnya.
Beri Dukungan
Hari AIDS sedunia ditetapkan sebagai bentuk dukungan kepada orang yang hidup dan terdampak oleh HIV dan untuk mengenang mereka yang kehilangan nyawa karena AIDS. Namun tampaknya tahun 2020 ini merupakan tahun yang sedikit berbeda di bandingkan tahun-tahun sebelumnya karena adanya Covid-19.
Tema hari AIDS sedunia 2020 adalah Solidaritas Global, Tanggung Jawab Bersama. Covid-19 telah menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang aman sampai semua orang terpapar virus atau mencapai herd immunity. Hemat saya, salah satu kunci untuk mengakhiri HIV dan Covid-19 ini adalah bergandengan tangan menghilangkan stigma dan diskriminasi, dan menempatkan manusia sebagai pusat pelayanan kita.
Manusia yang dimaksudkan di sini adalah orang yang tersingkir, yang sakit, dan yang tersisih seperti orang yang terkena Covid-19 dan yang terpapar HIV ataupun orang yang terkena dampak pandemi ini.
Paus Fransiskus saat memperingati ulang tahun pontifikalnya yang ke-7 dalam kunjungannya ke Pulau Lampedusa, Italia, mengingatkan kata-kata Yesus, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Paus mengisyaratkan kepada kita untuk mencari wajah Tuhan dan mengenali-Nya di wajah orang miskin, orang sakit, orang yang dikucilkan, orang yang ditinggalkan, dan orang asing di persimpangan jalan, dan lain-lain.
Salah satu upaya mencari wajah Tuhan adalah menjadi sahabat positif seperti dilakukan oleh komunitas Lentera Anak Pelangi (LAP). LAP merupakan program layanan masyarakat Pusat Penelitian HIV Atma Jaya yang sudah 11 tahun mengabdikan diri pada program pendampingan bagi anak yang hidup dengan HIV.
Anak dengan HIV adalah bagian dari masyarakat, yang kerap (rentan) mengalami stigma dan diskriminasi terutama di layanan pendidikan (sekolah). Keluarga yang merawat mereka pun rentan mengalami stres karena mengasuh anak dengan HIV. Bahkan mereka yang bekerja untuk anak dan keluarga ini juga rentan mengalami kondisi menyalahkan diri sendiri dan putus asa. Dalam hal ini, LAP melakukan empat intervensi utama dalam kegiatannya, yaitu intervensi kesehatan dasar dan gizi, psikososial dan pendidikan life skill, advokasi, dan manajemen kasus.
Di masa pandemi ini LAP bersama dengan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia (UI) dan AD Familia Indonesia, bersinergi menyelenggarakan sebuah program kegiatan yang sangat positif bagi adik-adik remaja LAP yaitu program Loving and Growing. Tujuannya adalah agar anak-anak ini dapat semakin bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mencintai diri sendiri, menjadi manusia yang utuh dengan segala keterbatasannya sehingga adik-adik ini bisa berkarya bagi keluarga dan masyarakat.
Kisah Sahabat
Saya ingin berbagi kisah saat saya mendampingi seorang sahabat yang terpapar HIV dan dinyatakan positif menjelang hari pernikahannya. Melihat hasil tes kesehatan pranikah, wajah sahabat saya ini menjadi pucat, diliputi rasa takut, bingung, heran dan tidak mengerti mengapa bisa hasil tes menyatakan dirinya positif HIV. Dengan rasa tidak percaya, dia pergi ke tempat lab lainnya, bahkan sampai tiga kali, hasilnya sama saja. Dia sungguh bingung dan tidak mengerti kenapa bisa seperti ini. Dia merasa hidupnya baik-baik saja selama ini.
Bukan hanya dia yang shock, calon pasangannya terlebih lagi. Berbagai pikiran negatif dan kecurigaan muncul dalam benaknya. Di saat yang bersamaan muncul perasaan takut dan cemas jika tertular meskipun hasil tesnya non reaktif, kecewa dan marah, merasa dibohongi. Terlintas juga pikiran membatalkan rencana pernikahan. Memikirkan bagaimana tanggapan keluarga dan kenalan. Perasaan malu dan perasaan lainnya campur-aduk. Sampai seorang perawat memanggil mereka masuk ke dalam ruang konseling. Saat keluar dari ruang konseling, wajah mereka tampak sudah lebih tenang.
Saya pikir, kita perlu belajar, bagaimana menjadi sahabat “positif” bagi orang yang positif terpapar HIV. Kita perlu mengambil bagian dalam memberikan pemahaman yang benar tentang HIV dan AIDS sehingga dapat menghapus stigma negatif dan sikap diskriminatif dalam masyarakat terhadap orang dengan HIV.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) seringkali disamakan dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), padahal, sesungguhnya HIV adalah suatu kondisi yang sangat berbeda dengan AIDS. AIDS merupakan stadium akhir akibat dari terinfeksi virus HIV. Di tahap ini kemampuan tubuh untuk melawan berbagai infeksi sudah hilang sepenuhnya. HIV termasuk virus yang rapuh, tidak bisa bertahan lama di luar tubuh manusia sehingga tidak dapat tersebar melalui keringat atau urine. Kunci bagi orang dengan HIV adalah meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan bersahabat dengan virus melalui terapi ARV (Anti Retroviral). Obat ARV akan menekan virus HIV hingga pada tahap tidak terdeteksi. Bila virus tersebut tidak terdeteksi, maka tidak akan bisa menular kepada orang lain.
Sekali lagi, orang dengan HIV adalah manusia yang sama berharganya dengan manusia berpenyakit lainnya. Penerimaan dan persahabatan dari orang-orang terdekat dan dari lingkungan masyarakat sangat penting bagi orang yang hidup dengan HIV, untuk menumbuhkan semangat “berani untuk hidup” dan menjalani hidup dengan penuh makna dan sukacita. Terkadang penyakit timbul dan menjadi lebih parah bukan semata-mata karena sakit fisiknya tetapi karena sakit dari sisi psikologis. Perasaan ketidakbahagiaan, ketidakberhargaan, perasaan tidak dicintai, perasaan tidak layak dan tidak diinginkan, menimbulkan sakit secara psikologis dan lebih jauh lagi sakit secara spiritual.
Kita semua adalah bejana kasih Allah di dunia ini. Mari kita ambil bagian untuk menebarkan kasih dan pengharapan dengan membagikan sukacita bagi orang tersingkir, orang dengan HIV dengan menjadi sahabat mereka.
Jika kita masih benar-benar tidak mampu mengasihi dan menjadi sahabat positif, paling tidak kita tidak bersikap menghakimi dan mengucilkan mereka.
Tuhan memberkati kita semua.
(Tribute to adik-adik dan kakak-kakak volunter LAP: “You are Amazing”)
M. Fellicia Fenny S., Kontributor, Alumni KPKS, Tangerang Angkatan 2