HIDUPKATOLIK.COM – SAYA punya seorang teman yang profesinya accountant, hidupnya penuh hitung-hitungan. Satu rupiah-pun akan teliti dicatat. Berhubung gak bisa masak, teman saya ini ‘terpaksa’ membeli makanan jadi. Awalnya beli dari Go Food, mau makan apa saja tinggal pilih, dan langsung diantar ke rumah. Tetapi karena ‘pandai berhitung’ lama-lama dia merasa rugi untuk membeli makanan yang radiusnya terlalu jauh, “Rugi ongkir!” katanya dengan sewot. Setelah beberapa lama, dia kembali berhitung. Kesimpulannya lebih murah lagi untuk berlangganan catering dekat rumah saja, sebab bebas ongkir dan makanannya bisa untuk dua-tiga kali makan. Saya yang suka makan enak, langsung bertanya, “Cateringnya enak?” Jawabnya,’Yaah…standard sih, tapi gak apalah yang penting murah!”
Saat itu kami lagi minum teh di teras rumahnya yang megah dan asri, disisi kolam renang. Sebetulnya saya agak heran, sebab teman saya ini hidup sangat berkecukupan. Punya rumah megah dan beberapa mobil mewah, tas dan sepatu bermerk, sering sekali berlibur keliling dunia, bahkan anak-anaknya pun sekolah di universitas ternama di luar negeri. Mengapa untuk makan sendiri saja dia begitu perhitungan ya? Bukankah makanan bernutrisi akan membuah tubuh ini sehat dan konon sekarang ini ‘Health is a new Wealth?’..sebelum mengeluarkan komentar yang menyinggung tuan rumah, buru-buru saya guyur saja lidah nyinyir saya ini dengan teh chrysanthemum yang manis yang hangat.
Beberapa minggu kemudian, saya diundang makan oleh teman saya yang lain. Teman saya ini rumahnya kecil, menyerimpit di komplek perumahan lama non-cluster yang tak beraturan. “Ayo makan, gua baru kelar masak!” saya pun duduk di meja makan, menghadapi setumpuk besar ayam panggang madu dan mie goreng sea food. Di ujung meja tampak ada tumpukan wadah plastik tempat makanan. “Lu jualan?” saya bertanya polos. “Ya enggaklah, ini mah buat bagi-bagi aja ke tetangga.” Kemudian dia bercerita panjang lebar, bahwa ada beberapa tetangganya yang hidup serba kesulitan, ada yang baru di-PHK padahal punya anak kecil, ada lagi pasangan lansia yang tinggal hanya berdua. Jadi, sesekali teman saya ini sengaja masak untuk berbagi dengan mereka. Teman saya bilang, ini sebagai ungkapan syukur bahwa di jaman susah ini, dia dan suaminya masih punya pekerjaan sehingga tak pernah berkekurangan makan. Sambil sibuk mengunyah mie ayam sea food yang lezat, saya pun mengangguk-angguk setuju seperti Maneki Neko, patung kucing emas pembawa hoki yang dipajang di dekat kasir toko.
Saat pulang dengan perut kekenyangan dan setengah mengantuk. Saya merenung memikirkan teman-teman saya ini. Yang satu pandai sekali berhitung, bahkan sampe hitung-hitungan sama diri sendiri. Yang satu sepertinya bodoh sekali, karena meski serba pas-pas-an, kok mau-maunya mengeluarkan extra dana untuk berbagi. Tetapi kemudian suara hati saya protes “Pintar menurut siapa? Bodoh menurut siapa?”
Jangan-jangan kedua temen saya ini, punya ‘ilmu accounting’ yang berbeda.
Teman saya yang pertama pastinya belajar tentang betapa pentingnya menjaga balance sheet, dan memastikan kondisi keuangannya adalah surplus dan jangan sampai minus. Saya menyebutnya ‘Ilmu Lumbung Padi’, makin sering ditumpuk, akan makin bertambah penuh lumbungnya. Semakin penuh lumbung padi, maka akan semakin terjamin kesejahteraannya.
Teman saya yang kedua, justru kebalikannya. Dia yakin rezeki yang dia peroleh, tidak akan berkurang meskipun sering berbagi. Saya menyebutnya ‘Ilmu Mata Air’. ‘Mata Air’ akan terus mengeluarkan air, dan tak akan pernah kering, air yang keluar akan selalu menemukan jalannya, melewati batu dan berbagai celah, menuju dataran yang lebih rendah. Air yang mengalir dari ‘Mata Air’ itu akan menjadi tempat melepas dahaga berbagai jenis hewan serta menyuburkan tumbuhan disepanjang tepi sungai. ‘Mata Air’ adalah sumber kehidupan. Dari mana asalnya? Tentulah dari Sang Pencipta sendiri.
Bila demikian, saya pikir sebaiknya saya menganut ‘Ilmu Mata Air’ saja.
Rasanya kok jadi lebih rileks, untuk menyadari bahwa hidup saya ini akan selalu dipelihara oleh Allah sendiri. ‘Mata Air’ kehidupan yang Allah sediakan bagi saya, akan terus mengalir. Dalam konteks itu, saya gak perlulah pelit-pelit amat sama diri sendiri, atau bikin hitungan ‘njelimet’ sebelum bertenggang rasa dengan orang lain.
Dengan hati lebih ringan, tanpa sadar saya ikut bersiul-siul lagu lawas Bobby McFerryn….”Don’t worry, be happy….”
Fransisca Lenny, Kontributor, KPKS Tangerang Angk.3, Graphic Designer, Writer