HIDUPKATOLIK.COM – SEBANYAK 270 daerah akan mengikuti Pilkada serentak di seluruh Indonesia yakni 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sejumlah calon kepala daerah beragama Katolik pun turut menjadi kandidat dalam tahapan pilkada serentak menuju 9 Desember 2020. Keterpilihan kandidat terbaik berisi harapan besar warga negara akan penataan ulang kehidupan masyarakat menjadi lebih bermartabat.
Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung dilakukan tahun 2005, sejumlah kepala daerah beragama Katolik pun sudah terpilih, baik di daerah yang banyak penduduknya beragama Katolik maupun yang penduduknya mayoritas beragama non Katolik. Sejumlah daerah yang bisa dikategorikan sebagai mayoritas Katolik tentu saja kabupaten-kabupaten di wilayah daratan Nusa Tenggara Timur, Provinsi Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, sejumlah daerah di Sumatera Utara. Sementara daerah lain yang mayoritas non-Katolik tetapi kepala daerah terpilih beragama Katolik misalnya di Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Mengapa identitas agama kita singgung? Ternyata sejak sebelum kemerdekaan, isu primordialisme agama dan suku adalah dua isu sangat sensitif. Isu agama jauh lebih sensitif dibandingkan isu SARA yang lain. Termasuk dalam konteks politik Indonesia terkini, isu agama kerap dipakai dalam pemilihan kepala daerah dan pemilu legislative, sesuatu yang sangat buruk.
Kita tidak hendak mengangkat isu SARA, tetapi justru mau memosisikan keberadaan Gereja dalam sumbangan khas politiknya yang bermartabat dan bermoral. Sejak zaman I. J. Kasimo tahun 1923 di lembaga Volksraad, peran umat Katolik dalan politik selalu dalam upaya memberi arah moralitas dan bermartabat politik.
Keterlibatan umat Katolik dalam pemilihan umum tentu bukan terutama sekadar meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu. Wajah para politisi Katolik adalah postur yang dihiasi raut bonum commune, semua dilakukan demi kebaikan umum sebagai panggilan kita.
Gereja Hadir dalam Politik
Keberadaan Gereja pun demikian, sebagai institusi moral dan etik yang sangat kuat, kehadiran Gereja mewarnai peta politik nasional dan lokal dengan seruan-seruan moral sebagai panduan seluruh politisi dan masyarakat luas, karena Gereja sebagai hierarki memang tidak mungkin berpolitik praktis. Kekuatan moral dan etika politik justru menjadi suara kenabian yang senantiasa diwartakan dari mimbar-mimbar.
Posisi umat Allah, yakni masyarakat beragama Katolik menjadi sangat penting dalam pewartaan riil ajaran moral dan etik Katolik. Salah satu bukti pertama yang harus dilakukan oleh umat beriman adalah hadir secara aktif dalam prakteik-praktik politik di seluruh level. Entah umat beriman menjadi pengurus partai atau menjadi penyelenggara pemilu, atau setidaknya menjadi warga negara yang melaksanakan hak pilih politik yang bermartabat. Hak pilih itu dibuktikan dengan memberi suara pada hari H pencoblosan terhadap kandidat yang paling layak dan paling tinggi kualitas moralnya.
Tanggung jawab lain tentu saja dengan menolak tegas pemberian uang atau rupa sejenisnya dengan tujuan mempengaruhi pemilih. Contoh berikutnya adalah melaporkan kepada pengawas pemilu seluruh dugaan pelanggaran. Penyelenggara Pemilu beragama Katolik harus menempatkan tugas dan kewenangan itu sebagai tanggungjawab moral dengan mengingat sumpah jabatannya di hadapan Tuhan.
Kekuatan moral Gereja Katolik menjadi harta kita yang selalu diperhitungkan di negara ini dalam peta politik nasional sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Maka, Gereja, yakni pihak hierarki Gereja bersama umat Allah, bertanggung jawab mensukseskan martabat Pilkada Serentak 2020.
Osbin Samosir, Dosen Ilmu Politik Fisipol, UKI, Jakarta