HIDUPKATOLIK.COM – BEBERAPA jam, bahkan hampir setengah harian saya terpesona dengan sebuah upload-an di grup WA. Ada foto dan ternyata ada kontes mirip Charlie Chaplin. Foto memuat puluhan orang dengan wajah-wajah mirip si Chaplin. Saya zoom dan mengamati wajah-wajah itu, dan menduga Chaplin yang asli tentunya berada di tengah karena dia primadonanya, meskipun tidak yakin juga. Dituliskan kalau kejadiannya di antara tahun 1915-1921.
Apa yang membuat saya terpesona?
Bukan karena banyaknya peserta yang bisa mirip menyamai wajah orang, namun karena si Chaplin yang mengikuti lomba itu ternyata tidak bisa menang. Ia menjadi pemenang nomer 27 dari 40 peserta. Bagaimana mungkin? Bagaimana Charlie Chaplin tidak bisa mirip dengan dirinya sendiri? Otoritas mana atau apa yang menentukan bahwa dirinya bukan paling mirip Charlie Chaplin? Mencoba mencari jawab atas pertanyaan inilah yang memesona saya sampai lama.
Kejenakaan dan sekaligus kenakalan dari si Chaplin untuk mengikuti kontes mirip dirinya, dan ternyata tidak menang, adalah sesuatu banget. Mungkin dia sendiri heran ketika diputuskan oleh tim juri bahwa dia menang tapi di urutan nomer 27. Bagaimana dia sendiri jauh dengan kemiripan dirinya sendiri dan di saat yang sama banyak orang lain yang lebih mirip dengan dirinya sendiri? Dengan demikian peserta nomer 1 sampai 26 ini mirip siapa? Charlie kelimpungan, dan saya terkapar menyerah memikirkannya.
Akan tetapi ada hal yang jelas bahwa “kebenaran” siapa mirip Chaplin ini ditentukan oleh tim juri, atau pihak lain. Pihak lain yang ditunjuk atau berkuasa alias punya kuasa untuk menentukan. Biasanya ada aturan bahwa keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Kalau keputusannya salah tetap sah meskipun tidak mendekati kebenaran. Maka ketika jagad maya dan dunia perpolitikan kita ditentukan oleh yang mempunyai kuasa, maka di situlah kebenaran berada. Kuasa itu bisa kuasa premanisme, jumlah kursi di DPR, kuasa suara, kuasa uang, kuasa kekuatan fisik, kuasa senjata, kuasa relasi, kuasa kerumunan, kuasa jabatan atau kuasa media. Dalam kelompok yang lebih kecil, kuasa itu bisa ditunjukan dengan kuasa suara keras, kuasa karakter, kuasa data, kuasa umur, kuasa senioritas. Kalau satu tokoh nasional mempunyai dua sampai tiga kuasa dari kuasa-kuasa di atas, misalnya kuasa politik, kuasa media dan kuasa kerumunan, mungkin cukup untuk mengarahkan kebenaran di negeri ini. Mereka yang berhak mengeksekusi tentang sesuatu yang (menurut mereka) benar atau tidak benar.
Di era kemajuan teknologi digital ini, industri media, media sosial dan para buzzer memegang peranan cukup dominan dalam menentukan apakah nama sebuah kenyataan atau kejadian itu. Seorang yang melakukan korupsi, bisa dinarasikan atau di-diksi-kan dalam media dengan mis-management, khilaf, seorang robin hood, atau maling, tergantung dari lingkaran-lingkaran kekuasaan yang dipunyainya. Minimal di tingkatan opini, banyak euphemisme terjadi. Misalnya reklamasi menjadi perluasan pulau, revolusi politik menjadi revolusi akhlak, kongkalikong ekspor-impor komoditi bisa menjadi pemberdayaan nelayan dan lain-lain. Oleh karena itu ada banyak klaim kebenaran, dan massa atau follower mengikuti sesuai interest mereka, terutama yang ada uangnya dan membawa keberkahan sosial – politis. Lalu massa dibutakan, karena tidak tahu lagi apa dan siapa yang benar. Sebuah desain chaos yang sempurna dan makin banyak distorsi.
Sejatinya kebenaran semakin lenyap seperti Chaplin yang tersembunyi dan diletakkan di no 27 oleh kekuasaan tim juri. Para penonton tidak tahu lagi siapa yang Chaplin, dan siapa yang bukan.
Cerita Kedua
Charlie Chaplin beneran suatu hari sakit. Kisah ini diceritakan kembali oleh OSHO, dalam tulisan serinya Life Essential. Karena sudah sekian waktu tidak sembuh, Chaplin pergi ke dokter untuk berobat. Saya ilustrasikan terjadi dialog dengan dokter yang sangat menggugah. Setelah usai memeriksa kondisi Chaplin, Dokter mengatakan bahwa dia tidak mendapatkan sebab penyakit apapun dan karenanya tidak bisa menyebutkan sakit apa.
“Saya tidak menemukan penyakit anda,” kata dokter.
“Bagaimana bisa,” jawab Charlie Chaplin.
“Memang, kemungkinannya anda tidak sakit. Barangkali hanya kecapaian karena kurang tidur atau karena banyak pekerjaan.”
“Lalu?” gumam Chaplin.
“Atau anda sedang mengalami stres atau depresi,” lanjut dokter.
“Saran Dokter?”
“Saya menganjurkan anda pergi jalan-jalan, refreshing atau anda melihat panggung show Charlie Chaplin, agar bisa terhibur dan tertawa.”
“Saya Charlie Chaplin.”
Dia pergi dengan sedih. Bagaimana ia menghibur diri sendiri atau tertawa melihat diri sendiri yang sedang sakit?
Lahir di Walworth, London tanggal 16 April 1889 dengan nama Charles Spencer Chaplin, dia kemudian menjadi icon film komedi bisu sepanjang kariernya. Ini pun menjadi sebuah ironi. Kebisuannya membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Diam-nya telah menghibur, meskipun di dalam adegan-adegan filmnya dia sering menjadi korban, atau di-bully, atau teraniaya oleh orang lain. Dalam episode tertentu ada juga iba yang menusuk karena kejadian tertentu namun penonton kurang peduli. Penonton mengharapkan adegan yang bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Si Chaplin barangkali juga memahami kalau dia hanyalah aktor dari sebuah industri film, dia hanyalah komoditi dari sebuah bisnis besar entertainment. Dalam kepiluannya saat kalah di dalam sayembara mirip dirinya, dan dalam depresinya, ia tetap harus menghibur.
Penonton, masyarakat, komunitas, netizen telah membuat Chaplin terpenjara. Terpenjara oleh anggapan pihak-pihak luar yang harus dipertahankan mati-matian, dibela, bahkan kalau perlu dengan berbohong, menipu atau korupsi. Tidak menjaga citra diri tersebut ibarat kehilangan pasar dan hanya menunggu senja. Karena itu tidaklah mengherankan ketika untuk mempertahankannya seseorang benar-benar at all cost isitilahnya. Total. Kalau perlu saling menyiasati dengan cara-cara yang kurang terpuji. Ketika sudah dikenal sebagai orang sukses, alangkah sulitnya untuk menerima kegagalan di depan orang-orang yang mengelukannya; sudah terbiasa dikenal sebagai politikus jempolan, alangkah sulitnya untuk menerima kenyataan tersingkirkan dari partai maupun pemerintahan. Sudah biasa dikenal sebagai pengusaha yang tajir, alangkah terbebannya ketika harus menerima kenyataan bahwa ternyata usaha-usahanya sekarang bangkrut. Penjara telah dibukakan oleh semesta, namun orang-orang ini tidak mau keluar dan lari dari penjara agar bebas, sebaliknya malah membangun penjaranya sendiri dengan lebih kokoh lagi melalui persekongkolan atau korupsi yang lebih besar. Alangkah sulitnya bagi Chaplin untuk keluar dari imaji seorang tokoh penghibur … menolaknya seakan ia menegasi eksistensinya sendiri, padahal itu palsu atau ilusif. Barangkali hanya kematian yang membebaskannya, pada tahun 1977 di Switzerland.
Banyak orang telah memenjarakan dirinya sendiri dalam ilusi tentang apa yang harus dipertahankan dalam hidupnya: ego, eksistensi palsu, keinginan yang tak pernah berhenti, rasa yang selalu berubah, abstraksi pikiran, atau barangkali sekadar harta benda. Untuk mempertahankannya orang tidak segan untuk melukai orang lain, merendahkan sahabat-sahabatnya, menyingkirkan orang lain dan barangkali bisa sampai kepada titik ekstrem yakni membunuh, menghancurkan ciptaan dan kehidupan.
Si Chaplin telah terlanjur menjadi komoditi keinginan komunitas atau masyarakat sebagai komedian, dan mereka tidak peduli lagi akan Chaplin yang sesungguhnya. Menolaknya berarti ia kehilangan panggung dan itu menyakitkan. Banyak Chaplin-Chaplin lain yang terus mempertahankannya dengan berbagai cara, meskipun itu juga menghilangkan dan melenyapkan dirinya. Ironis.
RUY Pamadiken, Kontributor (Tangerang), IG: innerjourney1503