HIDUPKATOLIK.COM – “Computer are not magic. Teachers are” (anonim).
Saya memanggilnya “Bu Tres”. Tak ingat nama lengkapnya. Bayangan sosoknya pun samar-samar. Bu Tres adalah guru TK saya. Guru pertama dalam hidup saya. Harap maklum, itu terjadi sekira 60 tahun lampau.
Hari pertama masuk kelas terasa menegangkan. Rasa takut, ingin tahu, tak nyaman, bercampur baur menjadi satu dengan keinginan untuk bermain dengan banyak teman. “Mix feeling, nano-nano”. Berangsur-angsur Bu Tres menentramkan kami. Kemudian, yang tersisa adalah keceriaan.
Bu Tres adalah “orang lain” pertama yang membuka pikiran dan hati saya. Hingga, sekian puluh tahun kemudian, saya bisa menjadi seperti sekarang.
Jasa Bu Tres terkenang sampai sekarang, tapi terus diikuti rasa bersalah. Sesaat setelah meninggalkan bangku SD, jangankan berjumpa, saya tak tahu lagi, di mana dan bagaimana Bu Tres.
Ada 100-an ibu dan bapak guru, yang meneruskan jasa Bu Tres. Mereka mendidik dengan telaten, dedikatif dan sabar meski sering mengelus dada dan menahan nafas, karena sikap murid-muridnya yang kurang layak.
Litani “kesalahan” di atas, bisa jadi milik banyak orang Indonesia. Para guru berbakti mendidik kita, kemudian lap, hilang begitu saja tanpa bekas. Bila sekali-dua bertemu, paling diwarnai sapaan basa-basi, tanpa mengenang dan menghormati jasa-jasa mereka.
Sebagian (besar) bahkan mengarungi masa sepuhnya dalam penderitaan. Mereka bukan hanya pahlawan tanpa tanda jasa. Kadang juga tersia-sia. Ini kesalahan kolektif bangsa.
Di TK sampai SMA saya punya guru-guru hebat seperti Bu Tres. Saat kuliah idem dito. Saya mengenal banyak guru dedikatif. Salah satu di antaranya adalah Profesor Doktor I Dewa Gede Raka.
Pak Raka adalah guru “Statistik Industri II”. Tutur katanya khas seorang cendekiawan yang rendah hati. Cara menjelaskannya sistematis dan komunikatif. Singkatnya, saya kesengsem dengan Pak Raka, sampai sekarang.
Tak heran, kalau beberapa konsep dasar mengenai ilmu statistik masih tertanam di kepala saya. Beberapa kali bertemu, dengan nada becanda, kami mengangkat materi tentang “kesalahan tipe 1 dan tipe 2”. Kemudian, kami tertawa bersama-sama.
Di akhir semester beberapa muridnya meraih nilai “A”. Itu jelas bukan karena kami pintar, tetapi karena Pak Raka piawai dalam mengajar. (Pak Raka bukan hanya “mengajar”, tetapi juga “mendidik”). Harap dicatat, selain Guru Besar, Pak Raka juga seniman. Kompetensi yang utuh dan lengkap tinggal dalam satu sosok.
Bu Tres dan Pak Raka hanya 2 dari sekian banyak guru saya. Sekali lagi, sayang, sebagian (besar) dari mereka tak lagi saya ketahui di mana dan bagaimana. Mungkin untuk itulah pemerintah menetapkan tanggal ini, 25 November, sebagai “Hari Guru Nasional”. Hari khusus untuk menghormati mereka yang berprofesi sebagai guru, sebagai pendidik, sebagai tokoh yang mencetak masa depan bangsa.
Banyak negara mempunyai “Hari Guru”. India, memperingatinya setiap tanggal 5 September. Pas tanggal itu, Presiden India (1962-1967), Dr Sarvapalli Radhakrishnan, juga seorang guru, merayakan hari ulang tahun.
Di Taiwan, “Hari Guru” dirayakan setiap tanggal 28 September, bersamaan dengan hari ulang tahun Konfusius, sang guru agung bangsa Taiwan. Di Indonesia, “Hari Guru” dirayakan berbarengan dengan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Tanpa honorable calling, guru menjadi profesi tanpa roh, hampa atau bahkan sia-sia. Tantangannya juga tak ringan. Sering masyarakat menerapkan norma dengan batas di atas normal. Kompetensi harus paling utama, karakter harus extra prima.
Tak heran bila “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, menjadi “bayang-bayang” Guru yang siap menerkam. Ucapan atau tulisan seorang guru yang bernada tak layak, bisa membuat “kusuma bangsa” luntur dan terbang entah ke mana. “Nila setitik, rusak sebelanga”.
Denise Vaillant, ketua umum “PGRI Uruguay”, mempunyai pendapat menarik, yang disampaikan pada “World Innovation Summit for Education (WISE) ke 5”, 28-31 Oktober 2013, di Doha, Qatar.
Jangan hanya guru yang harus mengejar kemajuan teknologi, sampai seperti Steve Jobs. Jangan hanya guru yang harus meningkatkan kepandaiannya, setaraf empu. Jangan hanya guru yang harus memperbaiki moralnya, selevel sufi. Jangan hanya guru yang harus rela mengabdi, setara Bunda Teresa. Perbaiki sistem pendidikan. Ubah cara pandang masyarakat. Ciptakan bangsa untuk menghargai guru sebagai pejuang dan pahlawan. Niscaya bangsa akan memiliki banyak guru ideal seperti yang diharapkan.
Selamat dan hormat untuk para guru yang mengabdi tanpa pamrih untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlandaskan Pancasila.
“Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara”.
(Lagu : Jasamu Guru, Gubahan : M Isfanhari)
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif