HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH sepuluh menit berlalu namun Ario masih memilih-milih kemeja yang digantung dalam lemari. Biasanya memang aku yang menyiapkan kemeja untuknya saat berencana untuk bepergian. Sepertinya kini ia kebingungan saat harus memilih sendiri kemejanya untuk misa jumat pertama sore ini.
“Yang biru muda itu paling cocok buatmu,” bisikku pelan di telinganya. Ario seperti berpikir sebentar lalu tangannya menyentuh kemeja biru yang kumaksud. Dielusnya kemeja berwarna lembut itu. Akhirnya ia pun memilih kemeja biru itu sesuai saranku.
Aku tersenyum. Kali ini pilihannya pas sekali. Ario tampak lebih muda beberapa tahun saat mengenakan kemeja itu. Warna kulitnya yang terang terpadu serasi dengan warna biru kemeja itu. Kemeja itu sebenarnya berpasangan dengan gaunku. Terakhir kali kami memakainya bersama-sama saat Natal tahun lalu.
Setelah mengenakan kemejanya, lelaki pujaanku itu mulai menyisir rambutnya. Ada beberapa bagian yang terlihat berwarna abu-abu. Di usianya yang sudah lebih setengah abad, uban-uban mulai bermunculan di sana sini, menambah semarak warna rambutnya. Menurutku ia tak terlihat tua. Justru ia terlihat makin berkharisma dalam kematangan usianya. Ah, barangkali karena ia suamiku, jadi aku selalu bangga dengan apa pun keadaannya.
Setelah meyakinkan penampilannya di depan cermin, kini ia siap untuk berangkat ke gereja. Jam menunjuk pukul empat lebih lima belas menit. Suamiku selalu hadir ke gereja setengah jam sebelum misa dimulai. Ia masih punya waktu sekitar lima belas menit untuk bersiap diri.
Ario melangkah keluar kamar lalu menuju ke ruang tengah. Di sana Resti, putri tunggal kami sedang duduk membaca buku. Ario mengerutkan keningnya melihat Resti masih mengenakan celana pendek.
“Kenapa kamu belum mandi Res? Nanti kita telat. Kamu kan lama kalau dandan,” kata Ario. Resti menurunkan buku yang dibacanya. Pandangannya menelusuri penampilan ayahnya dari atas ke bawah. Lalu ia mengerenyitkan alisnya heran.
“Ayah mau pergi ke mana?”
“Ini kan jumat pertama, Res. Masak kamu lupa sih? Ayo sana bersiap. Waktumu hanya lima belas menit.” Ario mengingatkan lagi. Resti menghela napas panjang. Raut wajahnya tampak bosan dan sebal.
“Ayah mau berangkat Misa Jumat Pertama?” tanyanya dengan nada tak percaya. Seolah ia melihat ayahnya sedang bersiap untuk menghadiri pertemuan ibu-ibu PKK.
“Iya dong Res. Kamu ini gimana sih. Kita enggak pernah melewatkan Misa itu kan? Ayo lekas siap-siap!” Ario meraih buku yang dipegang Resti lalu meletakkannya ke atas meja. “Bacanya dilanjut nanti saja,” sambungnya lagi. Resti mengerucutkan mulutnya. Ia mengambil lagi bukunya itu dari atas meja lalu mendekapnya ke dadanya.
“Aku masih mau lanjutin baca ini, Ayah. Lagian ngapain ke gereja…?”
“Kok kamu jadi bandel gini sih, Res? Baca bukunya nanti setelah pulang dari gereja kan bisa. Ayo cepat! Kamu menghabiskan waktu dengan malas-malasan gini.” Ario mulai mengomel.
“Tapi Ayah…”
“Res, menurutmu kemeja biru ayah ini masih cocok kan? Ayah ingin kembaran sama ibumu. Kamu ingat kan gaun biru yang biasa dipakai ibumu yang sepasang dengan kemeja ini? Ibumu cantik sekali kalau mengenakan gaun itu.” Ario tak menanggapi protes Resti. Aku tersenyum. Teringat ekspresinya dulu waktu melihatku mengenakan gaun yang sepasang dengan kemejanya itu. Katanya aku sangat cantik dan terlihat muda. Aku melempar pandanganku ke kamar. Gaun biru mudaku masih kusimpan di sana.
“Ayah, ngapain sih ngomongin gituan lagi!” protes Resti lagi. Ia tak mau menanggapi pembicaraan tentang kemeja biru ayahnya itu.
“Lho emang kenapa enggak boleh ngomongin itu?”
“Bosen!” tukas Resti sebal. Kini gantian Ario yang mengerucutkan mulutnya. Namun tiba-tiba ia lalu ingat sesuatu.
“Oya, nanti kamu saja yang setir mobil. Ibumu lebih suka kalau kamu yang nyetir. Katanya ayahmu ini kalau nyetir ugal-ugalan…haha.” Ario tertawa sambil mengulurkan kunci mobil ke arah Resti. Putriku itu hanya memandangi kunci mobil itu sekilas lalu kembali menatap ayahnya. Wajahnya terlihat kesal karena pembicaraan ayahnya yang melompat-lompat. Tadi memintanya cepat bersiap, lalu menanyakan tentang kemeja, kini memintanya untuk menyetir…
“Ayah ini…”
“Oh iya ayah lupa Kamu belum mandi ya. Udah sana mandi dulu. Ibumu juga tidak suka kalau kita terlambat Misa,” potong Ario lalu tertawa lagi.
“Ayah! Aku enggak mau menyetir!” Tiba-tiba Resti menyela suara tawa ayahnya. Nada suara Resti terdengar tercekik. Sepertinya ia sedang menahan tangis. Aku memandang wajah putriku itu dengan khawatir. Sepertinya ada yang meresahkannya. Kudekati dia dan kucoba untuk mengelus kepalanya.
“Kenapa?” tanya Ario kemudian. Aku juga menanyakan hal yang sama pada Resti bersamaan dengan suamiku.
“Aku juga enggak akan berangkat Misa Jumat Pertama.” Kali ini suara Resti semakin keras bercampur marah. Hey, kenapa dengan putriku itu? Tidak biasanya ia berkeras untuk tidak ikut Misa. Sejak kecil kami sudah membiasakan dia untuk mengikuti setiap Misa. Dan ia terlihat nyaman dengan kegiatan kami itu. Namun kenapa kini…?
“Jangan gitu Res. Kamu kenapa sih? Nanti ibumu marah lho. Kamu kan tahu ibumu enggak pernah absen Misa Jumat Pertama. Nanti dia…”
“Ayah! Hentikan!” Resti mulai menangis. Ia lalu bangkit berdiri. Buku yang tadi didekapnya ke dadanya dilemparnya ke lantai. Wajahnya memerah. Air matanya mulai menggenang. Aku semakin cemas. Kulihat Ario juga terlihat heran. Raut wajahnya penuh tanya namun juga bercampur kesal.
“Resti? Kenapa kamu…?
“Sampai kapan ayah mau seperti ini terus?” jerit Resti memotong kata-kata ayahnya. Aku berusaha meraih bahu putriku itu untuk menenangkannya. Tapi ia sama sekali tak terpengaruh dengan sentuhanku.
“Resti, jaga nada bicaramu pada ayahmu!” Aku mengingatkan. Sungguh aku tidak suka sikapnya yang kurang sopan pada ayahnya sendiri. Namun Resti sama sekali tidak mempedulikan ucapanku. Ia masih menatap ayahnya dengan pandangan sedih dan marah bercampur jadi satu.
“Kamu ini kenapa Res? Ayah hanya suruh kamu siap-siap. Kita akan misa jumat pertama. Ibumu bisa marah kalau melihatmu seperti ini.” Suara Ario semakin meninggi. “Ayo cepat bersiap. Kamu makin menghabiskan waktu kita…”
“Kita sudah lama tidak Misa Jumat Pertama lagi, Ayah!” jerit Resti lagi disambung dengan isakan tangisnya. Ario menatapnya tajam.
“Kamu ini gimana sih Res. Bukankah Misa Jumat Pertama minggu lalu kita berangkat?”
“Tidak ayah. Terakhir kali kita Misa Jumat Pertama tahun lalu!” Resti makin mengeraskan suaranya. Ario mengerutkan keningnya tak percaya.
“Tidak mungkin! Ibumu itu…”
“Ibu sudah nggak ada ayah!”
“Hah? Apaaa?” Ario tersentak. Begitu pun aku. Seperti ada yang mengempaskanku saat mendengar kata-kata Resti itu. Tiba-tiba saja aku dijalari rasa sedih luar biasa. Bagaimana mungkin?
“Sudah setahun berlalu kenapa Ayah masih seperti ini? Setiap Jumat Pertama Ayah selalu mengajakku berangkat Misa lalu mencari-cari Ibu seolah Ibu masih ada. Ayah lupa? Bukankah Ayah yang menyetir waktu kita Misa Jumat Pertama tahun lalu? Ayah yang membuat Ibu meninggal di perjalanan karena kecelakaan itu. Lalu kita… Lalu kita… tidak pernah Misa Jumat Pertama lagi setelah itu. Berhentilah menipu diri, Ayah. Ibu sudah enggak ada. Resti capek kalau Ayah begini terus!” Tangis Resti mulai meledak. Wajahnya terlihat sedih dan putus asa. Putriku itu berlari ke kamarnya lalu membanting pintu. Aku hanya tergugu memandangnya. Seluruh diriku mendadak lemas tak bertenaga.
Ingatanku pun kembali ke masa itu. Ario memacu mobilnya lebih cepat. Kami memang hampir terlambat. Lima menit lagi Misa akan dimulai. Aku sudah memperingatkannya untuk melambatkan mobilnya. Tidak apa kami terlambat sesekali. Namun Ario tidak mau mendengar kata-kataku. Sebuah mobil lain dari arah berlawanan melaju kencang tepat saat Ario membelokkan kemudinya menuju arah gereja. Ia terlambat menginjak rem. Suamiku itu membanting kemudinya ke arah tepi jalan. Sebuah pohon besar menyambut laju mobil kami. Itu terakhir kali kami berangkat bersama menuju gereja untuk mengikuti misa jumat pertama.
Aku menoleh ke arah Ario yang masih berdiri sendirian di ruang tengah. Sesaat ia masih terpaku mendengar debam pintu kamar Resti. Perlahan kepalanya menoleh ke arah deretan foto-foto yang terpajang di atas meja. Langkahnya terhuyung mendekati meja itu. Lalu diraihnya fotoku. Itu foto terakhirku saat kami menghabiskan waktu bersama di pantai. Tangan Ario bergetar saat mengelus fotoku itu. Dari mulutnya terdengar suara isakan menyayat. Aku terdiam memandangi bahunya yang terguncang hebat.
Tantrini Andang, Cerpenis