HIDUPKATOLIK.COM – “SAYA mengenal Uskup Anicetus Bongsu Sinaga,OFMCAp, ketika saya menjadi Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Sumatera Utara. Sebagai orang yang menjabat lembaga resmi keumatan maka kami sering sekali bertemu dalam acara-acara resmi kenegaraan dan pesta gerejawi seperti Natal, Paskah, Tahun Baru, dan lain-lain.
Suatu hari tahun 2015, saat acara open house di rumah Gubernur Sumut, kami bertemu dan dia memanggil saya, serta berkata di depan banyak orang: ” Bunda (demikian dia dulu memanggil saya), saya mau berdoa untukmu agar kau bisa menjadi Sekjend GKPS. Karena saya dengar kalian tahun ini periodesasi.” Dengan malu-malu di hadapan meja bundar tempat ia duduk, saya menjawab,” Terimakasih, Uskup”.
Beberapa bulan kemudian, kami bertemu lagi di acara serah terima jabatan Pangdam Bukit Barisan Medan, kembali lagi Uskup Anicetus, menyapa saya dan mengatakan hal yg sama. Saya menjawab lagi, “Terimakasih, Ompung Uskup.”
Tetapi Wakil Sekum Pendeta Hotman Hutasoit yang kebetulan bersama saya langsung mengatakan, “Pastikan saja dulu, buatlah janji kapan dan di mana bisa bertemu.”
Ompung Uskup langsung memberi respons, “Betul. Kita bertemu nanti hari Senin jam 10.00 WiB di kantor saya”. Saya setuju dan mengangguk.
Pada hari Senin sesuai waktu yang kami sepakati, saya datang ke kantornya di Jln.Imam Bonjol, Medan bersama suami. Kami berbincang-bincang. Sangat terekam dalam ingatan saya apa yang dia sebutkan tentang saya. Dia mengatakan, “Saya sangat terkesan dengan Ibu, saya salut dengan cara kerja Ibu sebagai Sekum PGI Wilayah Sumut. (Saya tidak tahu dari mana dia tahu, cara kerja saya). Saya baru bertemu dengan seorang perempuan yang gigih dan ulet tanpa rasa sungkan bertemu dengan banyak laki-laki atau bapak-bapak dalam banyak kegiatan bersama. Kau perempuan hebat yang membuatku merasa dekat dan sayang padamu. Karena itu saya mau berdoa untukmu agar kau bisa dipilih Tuhan menjadi Sekjend GKPS. Karena GKPS yang rugi jika kau tidak mereka pilih,” ungkapnya.
Saya katakan pada Uskup, “Ompung, hal itu sulit, karena saya merasa tidak mampu dan kami masih kental dengan budaya patriarki”. Jawabnya, “Untuk itu maka saya merasa harus berdoa untukmu. Saya yang merasa terbeban, untuk memberangkatkanmu dalam doa. Karena saya melihat dalam kerja sama kita selama ini, ada kedekatan yang terasa tanpa sekat antara Protestan dan Katolik. Dalam dirimu saya melihat sekat itu hilang”.
Maka dengan sukacita sekali saya bersedia dia doakan.
Dia langsung mengatakan, “Bersediakah kau kalau saya doakan dengan cara Katolik?”
Saya langsung mengangguk dan mengatakan, “Bersedia, Ompung Uskup.”
Dia melanjutkan mengatakan, “Kalau begitu tunggu sebentar.”
Ternyata dia mengambil pakaian resmi sebagai Uskup, tidak lupa topi dan stola, lengkap berpakaian seperti hendak melayani di gereja. Saya terkesima melihat dia saat itu.
Dia langsung meminta saya didoakan secara Katolik dan meminta saya berlutut berlutut di tempat dia tunjukkan, dan meminta suami saya (yang dari tadi hanya diam mendengar dialog kami), agar ikut berlutut di belakang saya.
Setelah kami berlutut, dia mengatakan, “Maaf ya, sebagai Uskup, saya mau mengurapimu, karena itu saya mau berdoa dengan cara Katolik dan menumpangkan tangan atas kepalamu, walau kamu bukan anggota Gereja atau pengikut ajaran Katolik.”
Dengan mengangguk saya mengatakan, “Setuju dan sangat bahagia.”
Ketika Uskup berdoa dengan tumpang tangan di atas kepala saya, saya merasa ada cahaya dari langit dan seperti seekor burung, bersama cahaya putih itu masuk ke sekujur tubuhku, aku segera merasakan urapan Ilahi, kemudian saya langsung menangis sampai tersedu- sedu, tetapi Uskup terus mendoaka saya, seolah tanpa menyadari tangisan saya. Dia terus mengurapi saya dengan kata-kata dalam doa seolah saya sedang diurapi sebagai seorang abdi Tuhan di hadapan umat Katolik.
Dalam doanya dia menyerahkan saya untuk dipakai Tuhan secara luar biasa dan jangan memohon agar dipilih oleh Tuhan sebagai Sekjend GKPS.
Sampai saya berpeluh karena lamanya doa dan bersatu dengan air mata karena merasakan urapan Ilahi, kekuatan doa yang begitu agung.
Sungguh pengalaman spiritual seperti ini belum pernah saya alami selama ini. Sudah beberapa kali saya menerima tumpangan tangan di kepala: ketika angkat Sidi, pernikahan, pentahbisan sebagai pendeta. Tapi saya tidak mengalami hal supranatural seperti saat ini.
Setelah Uskup selesai berdoa, ia mengangkat tanganku, dan menuntunku duduk kembali ke kursi di mana kami berdiskusi tadi.
Setelah duduk beberapa saat, Ompung Uskup mengatakan, “Runtuh sudah sekarang tembok pemisah antara Katolik dan Protestan. Saya tidak lagi menyebutmu dengan sapaan “bunda” seperti selama ini, tetapi mulai sekarang: kau menjadi anak rohani saya, yang akan terus saya pelihara dan saya doakan. Maka mulai sekarang saya akan memanggilmu, “putri”.
Mendengar perkataannya itu, saya kembali menangis, karena perkataan itu, bagi saya seolah deklarasi Ilahi. Bahwa dalam diri saya tidak ada lagi tembok yang membedakan Katolik dan Protestan.
Saya menjawab dengan spontan, “Ompung, saya perduli lagi, dipilih atau tidak menjadi Sekjen GKPS, tapi saya sudah kuat dan siap menerima terpaan apapun dalam menjalani kesetiaan sebagai pendeta GKPS, sebab saya sudah mengalami urapan Ilahi dengan merasakan ada Roh Tuhan masuk ke dalam diri saya.
Ompung Uskup ini menjawab, “Saya pun mengalami sesuatu ketika mendoakanmu tadi”
Pergilah dengan setia menjalani tanggung jawabmu di mana pun kau berada.”
Aku mengangguk dan mengatakan, “Ya, Ompung!”
Dia kemudian bercerita dan bercengkerama dengan suami saya sampai kami mohon izin pamit pulang.
Kepergian “bapa rohani”ku: Mgr A.B. Sinaga, membuat saya terluka dan sangat kehilangan. Hanya doa dan tetesan air mata saya memberangkatkan Opung Uskup kembali kepada keabadian Ilahi.
Pergilah, bapa….
Doamu akan terus terpatri dalam-dalam di hati dan sanubari saya. Walau saya tidak pernah menjadi Sekjend GKPS. Tapi janji kesetiaan sebagai abdi Tuhan akan saya pegang terus hingga saya berada dalam jalanmu sekarang.”
Catatan: Sebagaimana disampaikan Pendeta Enida Girsang kepada Redaksi.