HIDUPKATOLIK.COM – BEDAH buku lewat webinar Ensiklopedia Muslimah Reformis karya Musdah Mulia, Jumat, 7 November 2020 yang lalu menyegarkan. Tidak saja karena ketiga pembedah dan moderatornya tangkas, cantik, muda usia, tetapi terutama cara menyampaikan sehingga terbangun suasana serba cair. Materi serius dan njelimet, mereka sampaikan ibarat bercanda tanpa keluar dari konteks ilmiah. Serba mak nyus.
Shahnaz Haque, pembedah pertama mengatakan “buku ini penyelamat keimanan saya.” Kenapa? Langsung dia buka halaman 667. Tertulis, “Jika ayat-ayat jilbab mengandung pesan moral untuk meninggikan martabat kaum perempuan……ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan sebagainya”.
Shahnaz sehari-hari memang tidak pernah memakai jilbab. Karena itu setiap kali berkumpul dengan teman-teman muslimah, dia sering satu-satunya yang tidak berjilbab, sering merasa serba salah. Namun dengan buku karya Musdah Mulia, katanya, dia merasa dikuatkan untuk terus tidak berjilbab. Lain lagi pengalaman pembedah ketiga, Khoirunnisa Nur (Ninies–berjilbab). Katanya, “Saya sering merasa tidak enak ketika ada teman yang ingin ikut pengajian padahal bukan Muslimah. Tentu saja tidak berjilbab.” Jalan keluarnya, karena peserta acara pengajian semua berjilbab, temannya menunggu sampai acara selesai. “Buku ini mewakili suara hati saya,” tambah Ninies.
Oleh penulis buku Musdah Mulia, dua pernyataan muslimah itu ditanggapi santai. Dia pun bercerita. Berjilbab sejak pendidikan dasar pada sebuah pesantren tradisional, Pesantren As’adiyah di Sengkang Sulawesi Selatan. “Tetapi bentuk jilbabnya berbeda dengan yang sejak tahun 90-an sampai sekarang ketika saya aktif di Fatayat NU. Berjilbab itu kebiasaan saja.” Jilbab itu bukan tanda keimanan dan ketakwaan. “Kita hargai pilihan bebas tiap orang. Jangan mengambil posisi Tuhan menilai salah dan tidak, dosa dan tidak.” Keimanan dan ketakwaan terletak dalam hati bukan dari baju. Mengenai kesulitan teman non-Muslimah dan tidak berjilbab mau ikut pengajian, dia pesan “boleh saja, wong kita berbagi kebaikan, dan tidak memaksa.”
Selain soal jilbab, dalam bedah buku itu juga disinggung soal kesetaraan. Menurut Diahhadi Setyanaluri (Luri), dalam masyarakat kita gender equality masih mengalami hambatan sosial. Dalam bidang ekonomi, partisipasi perempuan masih rendah. Pendapat umum mengatakan, urusan perempuan itu domestik, di dapur. Memang ada peningkatan jumlah keterdidikan sebesar 50 persen kaum perempuan, tapi peningkatan ini tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan. Ada peningkatan 30 persen di bidang sains, tetapi mereka kebanyakan tidak bekerja sesuai dengan kesarjanaan mereka.
Di bidang politik, memang persentase perempuan dalam legislatif sudah mencapai 20,6 persen. Tetapi umumnya mereka berasal dari kerabat dan keluarga, sehingga dengan mudah dikritik kurang berkualitas. Kaum perempuan dibiarkan berkompetisi dengan kaum pria, tetapi sudah kalah duluan.
Dalam masa pandemi Covid-19, ketika semua kegiatan dilakukan di rumah, beban kerja ibu-ibu bertambah berat. Kaum perempuan memanggul beban berlipat. Terutama terasa bagi ibu-ibu yang selain melakukan tugas domestik sekaligus publik. Mereka tidak hanya bekerja urusan kantor dan rumah tangga, tetapi juga mendampingi anak-anak belajar, dan lain-lain yang dulu diselenggarakan di sekolah.
Musdah Mulia menyampaikan satu hasil penelitian di UGM beberapa tahun lalu. Mengapa umumnya kaum perempuan kurang perform dibanding kaum pria dalam pencapaian jenjang akademik? Dari penelitian, ditemukan kondisi itu disebabkan kaum perempuan baru bisa bekerja, misalnya menulis disertasi setelah pukul sembilan malam.
Bedah buku Ensklopedia Muslimah Reformis. Pokok–pokok Pemikiran untuk Representasi dan Aksi malam itu baru sepenggal dari materi buku setebal 863 halaman. Terdiri atas 17 materi (bab), di antaranya mengenai pendidikan, perkawinan, kesetaraan gender, demokrasi, kekerasan. Judul buku berasal dari judul buku karya sebelumnya, yang terbit tahun 2004, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan.
Muslimah Reformis, demikian Musdah, bukanlah perempuan yang hanya terpaku pada simbol-simbol keislaman yang kini menjadi komoditas kaum kapitalis, bukan juga hanya berkutat pada urusan legal-formal agama, tetapi mereka dikenal dari tekad dan karyanya melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang bermanfaat dan membawa rahmat bagi semua mahkluk di alam semesta.
St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior