HIDUPKATOLIK.COM – DUA minggu lalu, di suatu sore yang basah dengan hujan gerimis. Perempuan muda, duduk di depan saya, di meja makan keluarga. Wajahnya yang manis dilipat ke dalam. Nada bicaranya minor. Ada sesuatu yang sedang tak disetujuinya.
“Ayah, mengapa orang baik bisa kalah sama orang jahat?. Mengapa kebesaran Tuhan tidak tampil ketika ketak-adilan sedang merajalela?”.
Saya terdiam, memikirkan jawaban yang harus saya sampaikan. Sambil mencuri waktu untuk menyelidik, mengapa dia sampai pada pertanyaan yang berkadar filosofis tinggi seperti itu.
Nampaknya, dia membaca beberapa hasil survei pilpres di Amerika yang memenangkan Trump. Sementara menurutnya, Trump adalah bad cop dan Biden good cop.
Tak penting lagi memastikan apakah Trump benar-benar jahat, dan Biden sang malaekat. Masalahnya berkembang, tak terbatas di ranah pilpres Amerika saja. Untung, saya menemukan cara untuk mengupas pertanyaan yang menggelitik itu. Saya awali dengan kisah hukuman mati Yesus di tangan Gubernur Jenderal Pontius Pilatus, kira-kira 20 abad lampau.
“Di puncak pengadilan Yesus, Pilatus menghadirkan pilihan kepada orang banyak, antara Yesus dengan Barabbas. Satu di antara mereka akan dibebaskan”. (Katolisitas.org – 19/12/2018)
Barabbas adalah seorang penjahat kejam, sementara Yesus selalu berbuat baik dan sangat baik, sepanjang hidupnya. Barabbas ditangkap karena selalu mendzolimi masyarakat, sedangkan Yesus mengasihi mereka. Dua tokoh yang sangat kontras diajukan Pilatus, dengan harapan massa akan memilih untuk membebaskan Yesus dan menghukum Barabbas. Itulah yang diinginkan Pilatus.
Tapi, kenyataan yang terjadi jauh panggang dari api.
Nilai moral, kebajikan dan akal sehat tak selamanya menang. Pilihan manusia tak selalu memihak kepada kebenaran. Massa berteriak-teriak agar menghukum mati Yesus dan membebaskan Barabbas. Akhirnya Pilatus memenuhi desakan rakyatnya. Yesus dihukum mati, Barabbas dibebaskan. (Matius 27 :15-26)
Itu adalah fakta. Pilihan yang jelas baik, tak ada cacatnya, ditolak, yang jahat dipilih. Prinsip meritokrasi dibuang jauh-jauh. Bagi saya, itu tak masuk akal sehat. Tapi bagi mereka, entahlah.
Proses berpikir manusia tak selalu mudah dipahami. Ia kompleks. Manusia berpikir tidak linier, atau “straight to the point”. Yang terjadi bukan hitam-putih. Yang baik menang, kalau jahat kalah. Orang baik rezekinya banyak, orang jahat susah hidupnya. Orang baik disayang teman, orang jahat dibenci. Dalam dunia nyata, sering berlaku sebaliknya.
“Psychological proses are complex”. (Margaret W. Matlyn – Psychology Professor State University of New York)
Contoh keberpihakan dunia terhadap kejahatan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat Yahudi, masih berlangsung hingga kini. Tidak saja di Palestina, atau di Amerika, tapi terjadi di mana-mana. Kalau benar hasil survei-survei yang dirujuk di atas nanti menjadi kenyataan, maka Trump yang berperan sebagai bad cop (masih) yang menang, dan good cop belum berhasil menaklukkannya. “Kejahatan” berkuasa kembali dan kebenaran dan kebaikan masih bersembunyi entah di mana.
Tapi, kalau besok atau lusa diumumkan Trump kalah, sekaligus membuktikan bahwa keunggulan “kejahatan” ada batasnya. Jangan khawatir, ia tak akan berkuasa selamanya. Kuasa Kebenaran ikut campur membereskannya.
Hukuman mati yang menimpa Yesus, “tak lama”. Pada hari ketiga Ia bangkit dengan mengibarkan segala atribut kemenangan, dan duduk di sebelah kanan Bapa. Kebenaran pasti mengalahkan kejahatan.
Kejahatan memang kadang menang, tapi Kebenaran tak membiarkannya berlangsung selamanya. Kalau rakyat Amerika 4 tahun lalu “salah” memilih pemimpin, Kebenaran akan segera mengoreksinya. Kapan? Ketika waktu-Nya tiba.
“Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti”. (Ronggowarsito – 1802-1873)
Itulah hukum alam yang berlaku. Ketika manusia bisa “lupa” dan memilih atau berpihak kepada yang jahat (suro diro joyoningrat), jangan risau. Kebaikan akan turun tangan memperbaikinya (lebur dening pangastuti).
Tak usah risau kalau Trump, naga-naganya, kalah. Tak perlu jumawa kalau Biden menang di akhir perhitungan suara. Trump yang terlihat kontroversial bisa saja kamuflase kampanye belaka. Biden yang lebih tenang harus terus didoakan agar membawa kamaslahatan bagi umat seluruh dunia. Biar saja alam yang mengaturnya. Fakta dan kenyataan, baik atau buruk, bisa terlihat oleh siapa saja.
“Becik ketitik, olo ketoro”.
P. M. Susbandono, Penulis buku inspiratif, Kontributor