HIDUPKATOLIK.COM – DIBANDINGKAN dengan presiden-presiden sebelumnya, Presiden Jokowi memang bukan komunikator massa yang unggul. Bahasanya datar, singkat, dan sederhana. Tetapi keunggulan Presiden Jokowi dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya, dia sungguh-sungguh seorang pekerja yang melakukan kerja-kerja besar dalam diamnya. Karena terbatasnya tuturan, komunikasi publik dia terlihat sering menggunakan bahasa simbol untuk merespons berbagai peristiwa besar yang sedang terjadi.
Saat energi publik tersedot kasus Setyo Novanto, ketua DPR saat itu, dalam sidang etik MKD (Majelis Kehormatan DPR), Presiden Jokowi justru mengundang para pelawak untuk makan malam di Istana. Mungkin Presiden mau mengatakan panggung sidang MKD itu seperti pertunjukan humor yang dimainkan para pengocok perut (pelawak). Saat mantan presiden SBY mengritik pemerintahannya, Presiden Jokowi menjawabnya dengan mampir ke proyek Hambalang yang mangkrak.
Saat publik gaduh dengan masuknya kapal-kapal Tiongkok ke Natuna, dia berfoto di atas kapal perang Imam Bonjol. Banyak komunikasi simbolik kepada publik yang dilakukannya. Yang terakhir, saat Istana Negara didemo ribuan orang terkait UU Cipta Kerja (Omnibus Law), dia justru diekspose sedang berfoto di sebuah peternakan bebek saat melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah untuk melihat proyek lumbung pangan (food estate). Headline berita pun marak: Daripada menemui rakyat, Jokowi memilih menemui bebek.
Kekuatan Simbol
Komunikasi memang sebuah transaksi simbolik. Simbol sering dipakai untuk menyampaikan sebuah pesan. Keterbatasan kosa kata dihadapan sebuah pesan yang ingin disampaikan, sering memaksa sang komunikator menggunakan simbol sebagai mediumnya. Simbol seringkali lebih efektif untuk menyampaikan pesan sebab minim kata-kata yang berarti minim terdistorsi. Simbol juga hadir secara utuh; tidak menjajah pesan tetapi justru membuka diri untuk penafsiran. Simbol senantiasa hadir sebagai teks tanpa melepaskan konteks. Bahasa bukan lagi menjadi cermin yang utuh bagi realitas. Gambaran epistemologis hancurnya representasi (bahasa) tercermin dalam gagasan Richard Rorty di bukunya In Philosophy and the Mirror of Nature.
Bahasa yang dulu dianggap sebagai representasi realitas, kini terasa tak berdaya menjadi medium pengantar pesan. Bahasa menjadi miskin kosa kata untuk menghadirkan perasaan dan pemikiran yang lebih utuh. Segala hal yang terbahasakan, dia terdistorsi pada saat yang sama. Semakin kita menjelaskan sesuatu, semakin kita jauh dari kejelasan itu sendiri. Ada paradoks dalam setiap tutur bahasa. Sebab saat suatu pesan menyingkapkan dirinya, dia juga sedang menyembunyikan bagian dari dirinya yang lain. Meskipun kebenaran itu disingkap, tetapi kita hanya mengetahui kebenaran sejauh yang kita ketahui saja. Kita hanya memahami sebuah pesan, sejauh pemahaman kita saja. Di luar itu atau yang melampui itu, kita tidak tahu dan kita tidak paham.
Kembali ke Bebek
Banyak orang menafsirkan bahwa eksposure Presiden Jokowi menjumpai bebek adalah komunikasi yang buruk. Namun menurut saya, ini adalah komunikasi simbolik Presiden kepada oposisi dan publik, terlepas dari efektif dan tidak. Tapi mari kita tafsirkan, berangkat dari seekor bebek.
Mengutip laman “Duck” dan “Live Science”, selain punya keunggulan, bebek juga punya sifat yang dijadikan satire hidup sosial manusia, yakni perilaku senang meniru. Apapun yang dilakukan teman yang ada di depannya, akan langsung diikuti oleh bebek-bebek lainnya. Apabila bebek yang paling depan berjalan, maka bebek yang lain langsung berbaris mengikuti bebek yang paling depan. Kalau bebek yang satu minum maka yang lain pun akan langsung minum.
Mungkin pesan ini yang mau disampaikan oleh Presiden Jokowi terkait hiruk-pikuk penolakan UU Cipta Kerja. Pemerintah mengekspos satu demi satu ketidaktahuan mereka yang terlibat unjuk rasa terhadap poin apa yang mereka tolak. Pemerintah mau menarasikan para penolak UU Cipta Kerja itu hanya membebek saja, ikut-ikutan dengan ajakan orang lain tanpa berpikir kritis. Terlepas benar dan tidaknya narasi ini, pesan itu yang saya tangkap.
Kultur Mengekor
Simbol bebek memantik kita untuk menyadari kalau budaya mengekor seperti bebek ini memang sudah akut di masyarakat kita. Ketersinambungan digital ke setiap orang dengan perangkat gadget dan platform media sosial, memudahkan pihak tertentu untuk memobilisasi dan mengorkestrasi massa secara lebih mudah. Dengan bantuan algoritma dan big data, sebuah pesan bisa dengan mudah menerobos ke lubuk emosi seseorang tanpa melalui pintu rasio. Dan hasilnya, sebuah ledakan emosional yang dengan mudah digiring sesuai kepentingan si pembuat pesan.
Demokrasi menuntut kualitas individu, dalam bahasa F. Budi Hardiman dalam bukunya “Ruang Publik,” yakni sebuah proses individuasi: Pematangan kapasitas individu di dalam masyarakat sehingga mampu mempertanggungjawabkan setiap pilihan dan sikapnya secara rasional. Sebab akhir cerita dari demokrasi adalah memilih. Jika sekumpulan individu dalam jumlah yang besar, bisa memilih dan merespons secara rasional, maka praktik demokrasi yang sehat akan terjaga. Sebaliknya, jika individu-individu masih mudah dimobilisasi oleh faktor emosional, maka demokrasi menjadi jebakan yang mengerikan; sebab kendali pemerintah akan diserahkan kepada kekuatan massa yang tidak menimbang baik dan buruk secara mendalam.
Itulah sebabnya Plato dalam bahasa tertentu menolak demokrasi. Dalam “Republic,” ia mendorong sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh filsuf yang memahami secara mendalam kemana arah menggapai kebenaran. Bagi Plato, individu yang tidak bertanggung jawab secara rasional akan menjadi biang kerok kehancuran sebuah negara yang demokratis. “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” (Republic, page: 11). (…mereka adalah manusia bebas, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan setiap orang didalamnya boleh melakukan apapun yang disukainya). Pesan yang sama juga diserukan oleh Søren Kierkegaard. Melalui bukunya The Crowd is Untruth, Kierkegaard hendak mengatakan bahayanya suatu kumpulan massa yang emosional, karena akan semakin menjauh dari kebenaran.
Kultur mengekor hanya bisa dipatahkan melalui pendidikan kritis (critical thinking). Setiap individu dalam komunitas yang demokratis harus mampu memahami secara rasional setiap pilihannya, sehingga tidak sekadar membebek ikut mobilisasi dan orkestrasi pihak tertentu yang anonim, tetapi secara prinsip berdiri teguh di atas argumentasinya sendiri. Demokrasi mensyaratkan kecerdasan menimbang secara rasional, dan itu pekerjaan rumah bagi kita semua.
Yusuf Marwoto, Kontributor