HIDUPKATOLIK.COM– KOTA Nice (Alpes-Maritimes), Prancis, terasa hidup dalam mimpi buruk sejak serangan teroris yang merenggut nyawa tiga orang di Basilika Notre-Dame, Kamis, 29/10.
Setelah pembantaian tersebut, komunitas Katolik sangat terkejut dan terluka. Banyak upacara diselenggarakan di gereja-gereja, meskipun dalam masa sulit, pandemi Covid-19. Banyak umat datang untuk mendoakan para korban di gereja-gereja. “Membiarkan diri melakukan serangan atas nama sebuah agama, menurutku, tidak bisa diterima”, seru seorang umat.
“Kalau teroris melakukan ini, itu karena dia belum mengerti apa-apa tentang keyakinannya sendiri,” kata umat yang lain. “Ini tidak bisa diterima, hampir membuat saya marah. Untungnya, saya datang ke Misa, menenangkan amarah ini,” kata seorang lagi. Seorang pastor menenangkan mereka, katanya, “Kita harus menyambut kejahatan ini untuk menyebarkan kebaikan.”
Dari info yang dirampung, serangan pisau terjadi di Basilika Notre-Dame-de L’Assomption di Nice, Kamis, 29 Oktober, pukul 09.00 pagi. Akibat dari tindakan itu, tiga orang meninggal. Korban pertama adalah seorang Nenek lanjut usia yang datang ke gereja untuk berdoa di pagi hari. Dia ditemukan dibantai di dekat tempat air berkat pintu masuk gereja. Korban lainnya adalah seorang pria yang adalah sakristan gereja itu. Dia juga ditemukan terbunuh di dalam gereja. Sedangkan korban ketiga adalah seorang ibu muda yang berhasil melarikan diri di kafe terdekat. Dia kehilangan nyawanya di sana, tubuhnya ditusuk beberapa kali. Ibu itu adalah seorang warga Brazil yang tinggal di Nice. Sebelum menghembuskan napas terakhir dia sempat berujar, “Anak-anakku, saya ibumu, mencintai kalian semua.”
Lalu siapakah pelaku terorisme itu? Dia adalah seorang pemuda Tunisia. Namanya Brahim A. Dia baru berusia 21 tahun yang tiba di Prancis dari Italia. Dia berulang kali meneriakkan “Allahu Akbar”. Polisi kota menangkap pelaku, yang dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka tembak.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron tiba di lokasi kejadian di awal sore itu, bersama Gérald Darmanin (Menteri Dalam Negeri) dan Éric Dupond-Moretti (Menteri Pertahanan Nasional). Di depan Basilika Notre-Dame, Macron mengecam serangan teroris Islam. “Ketika kita berperang, kita harus memahami bahwa telah dan akan ada fakta-fakta tercela lainnya”, jelas Macron.
Prancis tahu itu, mereka harus yakin, kita berperang melawan ideologi Islam ini. Ancamannya sangat tinggi. Tiga serangan berturut-turut tidak saja terjadi dalam tiga minggu, tetapi sudah terjadi sejak 2015. Ancaman berubah karena ISIS tampaknya tidak lagi mampu merencanakan serangan seperti sebelumnya. Tetapi ada ancaman yang sangat endogen, artinya orang-orang mampu menyerang dengan pisau, mobil, dan menebar teror di jalanan Paris atau jalanan Nice. Ancaman ini sangat nyata dan bisa terjadi.
Setelah serangan teroris di Basilika Notre-Dame, Perdana Menteri Jean Castex menaikkan vigipirate ke tingkat maksimumnya, atau “serangan darurat”, di seluruh wilayah, sehingga memungkinkan untuk memobilisasi suasana yang terjadi. Operasi Sentinel adalah salah satu bagian dari peningkatan keamanan dengan menempatkan sejumlah personel di berbagai sudut kota Paris dan Nice. Macron juga mengumumkan bahwa milisi Prancis akan meningkatkan keamanan dari mulai tiga ribu personel hingga saat ini tujuh ribu personel militer yang menjaga keamanan.
Setelah serangan itu, Macron mengatakan bahwa perlindungan tempat ibadah dan sekolah akan diperkuat, terutama sejak dimulainya liburan All Saints atau perayaan Semua Orang Kudus. Macron juga menyerukan penguatan langkah-langkah keamanan untuk perkumpulan Muslim dan tempat ibadah yang perwakilannya secara terbuka mengutuk serangan teroris, dan khususnya pembunuhan pada hari Jumat 17 Oktober terhadap Samuel Paty.
Mgr. Eric de Moulins-Beaufort, Uskup Agung Reims, sekaligus Ketua Konferensi Para Uskup di Prancis memutuskan untuk menyelenggarakan Misa bagi para korban. Pada hari aksi terorisme itu, dia mengundang semua pejabat terpilih dan perwakilan dari berbagai agama di kotanya.
Hadir dalam pertemuan itu, Catherine Vautrin, Presiden Greater Reims dan Arnaud Robinet selaku Walikota Reims menghadiri doa sore. Hadir juga Anouar Alimi selaku Presiden Dewan Daerah Ibadah Muslim dan Mohamed Bouzagou, Presiden Asosiasi Masjid Agung Reims. Para prefek Marne dan Ardennes, termasuk Françoise Ferat dan Yves Détraigne, dua senator, juga turut hadir. Sixte-Anne Rousselot, Komisi Komunikasi Keuskupan Reims dan Ardennes, ingin menunjukkan bahwa, “Semua yang ingin datang akan diterima.”
Setelah Nice, di mana Uskup Eric de Moulins-Beaufort menemani Presiden Republik, Emmanuel Macron, Uskup Agung Reims kembali ke Paris. Dia juga ikut pergi ke Matignon untuk pertemuan informal dengan Perdana Menteri, Jean Castex. Ia didampingi Mgr. Michel Aupetit, Uskup Agung Paris. Bersama-sama, mereka membahas masalah keamanan di gedung-gedung gereja.
Pastor Yongki Wawo, MSC
Issoudon, Prancis