web page hit counter
Selasa, 5 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

JIKA ANDA SUKA POSTING HAL-HAL MENARIK, WASPADA ADA YANG JADI SEDIH! YUK ISI WA GROUP DENGAN KONTEN YANG BERBELA RASA!

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – DUA suku kata yang indah. Adakah kalimat yang lebih indah untuk mengungkap rasa kepada sesama selain kalimat ini? Cinta sudah usang. Cinta kasih terlalu gamang. Kasih sayang bernuansa melankolik. Amor? Terasa makin abstrak.

Apa sesungguhnya arti kata bela rasa dan bagaimana praktek bela rasa dalam kehidupan kita sehari-hari?

Saya, dan mungkin anda, mempunyai beberapa atau banyak komunitas online, dengan macam-macam aplikasi atau platform. Saya mengikuti beberapa komunitas melalui WhatsApp, di mana anggota bisa mengunggah gambar dan video, emoticon dan lain-lain. Ada WAG (WhatsApp Group) yang setiap hari isinya selamat pagi, selamat siang dan selamat malam. Ketika anggota tersebut ada di grup lainnya, maka ucapan tersebut akan diulanginya lagi. Ada WAG yang isinya banyak doa, maka jam 3 pagi sudah ramai sampai malam, menjelang mau tidur, ditutup dengan doa malam. Maka kalau anggota tersebut ada di WAG-WAG lain yang saya ikuti, maka doanya akan sama. Ada WAG yang isinya politik – lalu berantem -, agama, lintas agama, profesi, sekadar menyapa dan bercanda atau WAG yang isinya penuh nostalgi waktu SD, SMP, SMA kuliah, atau ada yang isinya khusus kuliner, promosi barang dagangan  serta masih banyak lagi. Bisa dibayangkan jadwal untuk clear chat setiap malam untuk menghindari hape lemot.

Kalau saya amati, ada beberapa postingan yang cukup umum.

Yang pertama adalah upload gambar dan sedikit cerita kalau sedang berwisata ke mana, entah di dalam negeri atau di luar negeri. Gambar lengkap dengan isteri dan anak-anaknya, dengan wajah-wajah ceria. Sebagian anggota grup menanggapi dengan berbagai ungkapan kegembiraan, Memberikan apresiasi atas momen-momen yang indah bersama keluarga. Sebagian lagi mengingatkan karena ini masih ada di masa pandemi Covid-19. Namun sebagian besar anggota diam, menjadi silent majority, seperti massa mengambang yang belum punya pilihan berpendapat. Saya hanya membayangkan seandainya kebanyakan anggota grup adalah keluarga-keluarga yang tidak mempunyau luxurious times untuk berwisata. Barangkali ada satu anggota grup dan keluarganya sudah bertahun-tahun memimpikan bisa melihat keindahan pantai namun tidak atau belum terlaksana karena keterbatasan ekonomi, dan situasi sekarang ini lebih diperburuk lagi karena wabah. Posting temannya tadi tentunya bisa membakar semangat untuk mewujudkannya, namun alih-alih berwisata, saat ini dia harus fokus untuk melewati hari-hari dan bulan-bulan dengan keprihatinan. Bagaimana seandainya kondisi ini dialami oleh dua pertiga dari anggota grup?

Baca Juga:  Setahun Menjadi Uskup Banjarmasin; Mgr. Victorius Dwiardy, OFM.Cap: Mencoba Meneladani Santo Carolus Borromeus

Yang kedua, banyaknya postingan soal gowes. Tujuannya bisa dipastikan adalah untuk memberikan info bahwa bersepeda itu sehat. Sehingga ke mana pun dia bersepeda, gambar akan selalu diupload. Daerahnya berbeda-beda, kadang-kadang jauh dan barangkali sepeda harus diangkut oleh mobil untuk mencapai lokasi. Foto yang diposting adalah foto-foto ketika bersama rombongan, dengan latar belakang pemandangan yang indah. Namun lebih banyak postingan foto ketika makan di suatu tempat, atau merek sepedanya, yang harganya bisa sampai 40-50 juta. Postingan jenis ini tidak terlalu mendapat banyak tanggapan. Kalau ada tanggapan lebih kepada mengingatkan agar tidak terlalu ngoyo atau agar hati-hati kuliner setelah olah raga. Bagaimanapun mereka terberkati karena mendapat kesempatan itu. The silent mayority tidak menanggapi, namun saya tahu banyak anggota yang tidak terlalu memikirkan untuk bisa gowes, cukup bersyukur atau barangkali kembali kepada keadaan masa sulit di masa pandemi. Boro-boro mikir gowes. Belum lama salah satu anggota grup juga sambat karena dithongkrongin sama debt collector gara-gara  angsuran kredit motor sudah dua bulan nunggak.

Yang ketiga, dan yang paling banyak adalah postingan makanan. Entah berfoto dengan yang makan, sedang makan atau makanannya doang. Umumnya sih bikin ngiler. Mungkin juga tidak terlalu mahal tapi pagelarannya di WAG itu membuat hati miris untuk mereka yang belum bisa makan enak. Bebagi kegembiaraan adalah wajar dan seharusnya. Berfoto sedang membuka mulut dengan makanan di depan mulut di sebuah restoran adalah bagian canda yang mengundang komentar atau mengundang lapar. Melihat sepotong ikan di atas piring atau pasta dengan saos tomat merah tersaji di meja café mengundang decak kagum dan syukur karena anggota grup bisa mendapatkannya. Namun bagaimana dengan para anggota WAG lainnya yang sedang berjuang untuk mendapatkan makanan sehari-hari di masa wabah Covid-19? Saya hanya membayangkan mereka akan bersemangat dengan melihat postingan itu atau sebaliknya hatinya teriris karenanya. Di dalam sebuah WAG saya melihat anggota tidak malu-malu lagi untuk menawarkan asetnya, atau menawarkan dagangannya. Ada anggota-anggota yang saya kenal menawarkan kursi malasnya, lemari, mie ayamnya, masakan rumahnya, sampai ke rumahnya sendiri.

Baca Juga:  Renungan Harian 4 November 2024 “Hospitalitas”

Barangkali kita terlalu menganggap sebelah mata terhadap dampak Covid-19 ini, dengan harapan akan segera pulih seperti sediakala. Kita telah mengalami akibat beruntun, dari mulai sektor kesehatan, sektor ekonomi dan sekarang terasa di sektor pendidikan. Upaya-upaya keras harus segera dilakukan agar bisa hidup berdampingan dengan virus covid-19.

Bela rasa adalah menyatukan rasa dengan mereka yang terdampak secara langsung oleh wabah. Bukan membela siapapun tetapi ikut merasakan penderitaan, kesulitan, perjuangan surviving dari anggota WAG pada khususnya atau masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah pada umumnya.

Bela rasa ini pun barangkali juga untuk anggota WAG dari kelas menengah dan menengah ke atas yang mempunyai usaha namun terpuruk oleh karena kondisi bisnis yang tidak kondusif. Beberapa teman pengusaha juga mengeluhkan kesulitan yang dialami dan cukup serius. Seperti menghadapi dilema, mempertahankan karyawan namun income turun, melepaskan karyawan, biaya putusnya hubungan kerja juga besar. Beruntung usaha-usaha yang masih bisa memperthankan diri atau justru naik daun karena wabah covid-19.

Untuk merealisasikan bela rasa, barangkali baik mulai membentuk demand-supply chain tersendiri atau mandiri. Info-info kesempatan kerja atau kesempatan bekerja sama usaha banyak diposting. Ada demand apa, di mana dan ada supply apa, di mana bisa mewarnai WAG-WAG di komunitas kita sendiri. Saya mendapatkan dalam sebuah WAG saat seorang anggota berbisnis catering dan menawarkan supply sayuran, bumbu, gas dan pengantaran di grup, dan ditanggapi positif oleh anggota grup yang lain. Saya melihat sebuah roda ekonomi kecil tercipta, mulai berjalan. Sangat membantu. Bela rasa telah mewujudkan diri dalam produktivitas.

Baca Juga:  "SOS": Ini Kebutuhan Mendesak Korban Erupsi Gunung Api Lewotobi Laki-laki

Di era digital sekaligus di masa wabah ini, connecting dots sangat diperlukan. Sifatnya complimentary, saling melengkapi. Bukan karena belas kasihan namun karena profesionalisme.

Bela rasa tidak hanya merasa tapi mencipta.

 

RUY Pamadiken, Kontributor (Tangerang)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles