HIDUPKATOLIK.COM – Ketika pandemi Covid-19 belum teratasi dan ada saran ditunda, Pilkada 2020 serentak tanggal 9 Desember 2020 jalan terus. Make the best of it, buatlah yang terbaik sebagai jalan tengah. Proses pentahapannya dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat. Kalau tidak, pilkada kali ini menciptakan bencana baru atau memperparah bencana pandemi Covid-19, pun ketika gencar penemuan vaksin dilakukan.
Ketika hampir 60 negara membatalkan atau menunda pemilu nasional atau pemilu lokal, alasan yang ke publik ialah, pilkada 9 September 2020 selain memenuhi konstitusi juga problem krusial daerah yang mendesak ditangani pemimpin yang terpilih. Protokol kesehatan secara ketat diberlakukan, diterapkan sejak dari pendaftaran dan masa kampanye, dan pengawasan lebih ketat pada penghitugan hasil yang biasanya diikuti dengan eforia; pesta gembira ria pemenang dan pendukungnya yang potensial mengesampingkan risiko.
Memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat tidak mudah. Sengaja mengabaikan dengan berbagai alasan, tidak hanya dilakukan rakyat kebanyakan, tetapi juga oleh pejabat di daerah yang seharusnya jadi teladan. Pelanggaran sering terjadi tidak hanya saat pendaftaran, tetapi bisa diprediksik pada masa kampanye, hari H dan waktu penghitungan hasil. Bangsa ini, kita telanjur menjadi serba cuek, semau gue buah negatif reformasi setelah 30 tahun lebih terkekang.
Pilkada serentak yang digelar di 270 daerah, meliputi 9 pemilihan tingkat provinsi, 261 kabupaten/kota ini tidak terkecuali wilayah-wilayah yang hari-hari ini menunjukkan pertambahan kasus Covid-19. Fakta sikap cuek dan keasyikan menyukseskan pilkada, menambahkan risiko yang perlu diantisipasi. Kesadaran dan kepatuhan secara kuratif perlu dilakukan lebih tegas. Apalagi dalam menanamkan kesadaran dan kebiasaan baik sering perlu persuasif. Harus dipaksakan.
Ketika risiko-risiko di atas diantisipasi, tidak bisa dilupakan tenaga yang terlibat dalam kegiatan ini. Mereka yang berinteraksi dengan banyak orang, mulai dari para petugas KPU maupun KPPS terutama, rentan mengalami penularan. Kepatuhan pada protokol kesehatan pada pemilih dan petugas menjadi keharusan. Dan, tidak bisa dilupakan tenaga medis yang sejak hampir setahun terakhir menjadi garda terdepan dalam penanganan dampak virus corona. Bukan tidak mungkin rasa lelah yang sudah dialami selama ini, bertambah dengan penyelenggaraan Pilkada 9 Desember 2020.
Sebuah jajak pendapat di awal Oktober 2020, menunjukkan beberapa data yang menarik (Kompas, 12 Oktober). Separuh lebih dari 514 responden sepakat optimalisasi kampanye secara daring (63,4%) untuk menghindari penularan Covid-19. Tetapi masih ada 23,3 persen responden menolak. Data ini terkait dengan pertanyaan mengenai kesiapan masyarakat. Sebesar 61,1 persen menjawab belum siap. Ketidaksiapan tidak hanya akses teknologi yang belum menjangkau seluruh wilayah, juga terkait dengan hoaks, perang opini, tagar, dan saling serang di antara para pendukung.
Hasil jajak pendapat Kompas di atas diharapkan bisa mencerminkan pendapat publik secara umum tentang kampanye daring, bagian utuh dan penting dari tahap-tahap pilkada. Komentar banyak orang, kampanye kali ini sepi. Kampanye kok daring? Belum lagi hoaks, tagar, saling serang secara daring antarpara pendukung, dan kelompok pendengung (buzzer) yang mengacaukan informasi.
Menengarai berbagai risiko Pilkada 2020, Ramlan Surbakti, guru besar FISIP Universitas Airlangga (Kompas, 6 Oktober 2020), tentu tidak bermaksud mendengungkan kebingungan, apalagi mengusulkan peninjauan kembali rencana Pilkada 2020. Melainkan make the best of it. Mengingatkan. Buatlah yang terbaik dari keputusan ini. Termasuk kemungkinan risiko kecilnya partisipasi pemilih yang bisa memengaruhi legitimasi hasil Pilkada 2020.
Menyikapi keputusan politik dan risiko Pilkada 2020 tanpa mengabaikan “tanda-tanda zaman” dengan menjadi “golput” tentu bukan pilihan pertama mengekspresikan hak kehendak bebas. Membaca “tanda-tanda zaman” barangkali langkah cerdas dalam proses ini. Kawal seberapa jauh tahap-tahap proses pilkada dilewati, selain tidak dilanggarnya rambu-rambu legal dan praksis pilkada yang demokratis, jujur dan adil, juga ketatnya pengawasan protokol kesehatan.
Mengawal dalam arti aktif mengingatkan adalah keharusan, yakni menyampaikan spiritualitas politik di sini dan di zaman kini (hic et nunc). Bentuknya mengakui politik sebagai jalan kesucian. Politik menjadi medan perwujudan kasih, terletak pentingya mengembangkan kegiatan politik tidak sebagai kegiatan rebutan kedudukan dengan segala cara, tetapi sebagai bentuk terjadinya “revolusi kasih” bagi kebaikan umum (Paus Benediktus XVI). Ungkapan make the best of it memeroleh penegasan. Memilih tanpa dibebani titipan dan tumpangan.
St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior