HIDUPKATOLIK.COM – Jika kamu berjalan menuju Dia,
Dia akan menghampirimu dengan berlari
Hidup ini sebenarnya sederhana, hanya tidak mudah untuk dijalani. Jika dengan teduh kita mengontemplasikan kehidupan, maka setiap yang bernafas sesungguhnya sudah empunya jalannya sendiri. Itulah sebabnya para peziarah batin berlomba-lomba menemukan jalan kehidupan, dan bukan menciptakannya lagi. Menemukan jalan mensyaratkan diskresi dalam keheningan. Ibarat menenangkan gelegak air kolam agar terlihat dasarnya dengan jernih. Banyak orang mengikuti peta perjalanan yang diberikan orang lain. Sungguh, inilah akar banyak penderitaan. Anda hanya akan menyukai apa yang disukai orang lain. Ketika anak-anak, kita dibiasakan menyenangkan orang tua. Ketika remaja, menyenangkan guru. Ketika bekerja, menyenangkan atasan. Saat menikah, menyenangkan pasangan. Coba berhenti dan periksa kembali peta perjalanan hidup Anda: Apakah ini jalan yang Anda temukan sendiri, atau peta jalan yang diberikan orang lain?
Jalan inilah yang akan menuntun kita menemukan: siapa saya, mengapa saya, bagaimana saya dan hendak kemanakah saya! Saat kecil kita bermain puzzle, dan sering kita salah memasukkan sebuah bentuk ke bentuk yang berbeda. Demikianlah sampai dewasa kita juga bermain “puzzle” kehidupan. Tugas sejarah kita adalah menemukan kecocokan untuk segala hal: pada tempatnya dan pada waktunya. Tidak ada yang terlalu cepat, tidak ada yang terlalu lambat. Seorang juara marathon tidak bisa dipaksa bertanding dalam kejuaraan renang. Setiap makhluk memiliki jalannya masing-masing, dan karenanya Tuhan mengatakan, “Carilah dan Temukanlah!”
Tentang Jalan
Orang bijak mengatakan, jalan kebenaran itu bukan untuk semua orang, tetapi hanya untuk mereka yang mencarinya. Siapapun yang berani berjalan, dia didorong oleh sesuatu yang sudah lewat dan ditarik oleh sesuatu yang belum hadir. Dorongan dan tarikan itu bekerja bersama-sama yang mewujud dalam gerakan batin. Ignasius Loyola dalam bukunya “Latihan Rohani” mendidik pengikutnya untuk mengenali setiap gerakan di dasar batin kita sembari membeda-bedakan mana gerakan yang divibrasikan oleh kekuatan Si Jahat dan Si Baik.
Gerakan yang dipecutkan oleh kekuatan baik akan mendorong manusia untuk menggapai kebermaknaan hidup. Makna adalah tentang sesuatu yang lebih bernilai kekal, sesuatu yang membawa kita melenyapkan ego dan fokus kepada mereka di luar lingkaran definisi diri. Makna itu senantiasa mengajak kita keluar dari diri, untuk merengkuh yang Maha Tinggi atau semesta manusia lainnya. Dan karenanya, makna itu menggerakkan kita untuk menjadi lebih besar, lebih tinggi dan lebih mulia. “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8). Karena itulah kita disebut makhluk manusia: Makhluk yang terbatas yang bergerak menyambut yang tak terjamah.
Ada sebuah tulisan tentang The God Hole (Lubang Tuhan). Di dalam batin setiap manusia ada sebuah lubang kekosongan. Setiap hari dalam waktu-waktu yang lama, manusia berusaha menutupi lubang itu. Manusia bertarung dengan hidupnya untuk mendapatkan nama baik dan popularitas, karena menganggap bisa menutupi lubang itu. Demikian juga manusia berjibaku melawan dirinya untuk menggenggam kesuksesan dan kekuasaan duniawi karena berpikir bahwa hal-hal demikian bisa menutupi lubang kekosongannya. Namun ternyata itu keliru. Lubang itu tidak pernah tertutup. Semakin banyak hal-hal duniawi dimasukkan, semakin ganas lubang itu melahap semuanya, ditelan tanpa sisa. Lubang itu tetap mengaga. Tulisan itu menuturkan: Hanya Tuhan sajalah yang sanggup menutup lubang itu, tidak yang lain. Lubang itu milik Tuhan. Dialah yang menggerakkan kita untuk keluar menggapai kebermaknaan itu. Maka “Carilah dan Temukanlah!”
Setelah berlelah-lelah membanting tulang dan memeras keringat, para pekerja akan bertanya: “Untuk apa semua ini kulakukan?” Usai kita bekerja sepanjang hari, terbersit pemikiran: “Apa sesungguhnya yang kucari?” Kita semua mempertaruhkan hidup dengan kebutuhan dan keinginan dunia, dan saat hendak memejamkan mata, kita bertanya: ”Apakah hanya di sini saja atau ada yang lain lagi?” Sumber Maha Makna selalu mengajak kita bergerak, sebab puas dan diam adalah sebuah jebakan. Saat kita memiliki, makna tertinggi justru saat kita melepaskan apa yang kita miliki. Saat kita merasa sudah sampai di atas, makna tertinggi justru saat kita merunduk. Saat kita terkenal, makna tertinggi justru saat kita menyembunyikan diri. Ada yang kita cari, kita rindukan, kita harapkan, sesuatu yang oleh dunia disebut kehampaan, tetapi oleh para peziarah batin disebut undangan pencarian.
Tentang Kerinduan
Ada sebuah film berjudul “Toy Story,” mengisahkan secara dramatis perjuangan para boneka kembali pulang dan bertemu dengan pemiliknya. Bukankah hal yang sama juga kita alami, kerinduan yang bergelora di hati kita kepada Allah Sang Pencipta, seperti didaraskan Sang Pemazmur: “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (Mazmur 42:1-2).
Mereka yang tercerahkan, membiarkan dirinya dibimbing oleh kerinduan ini. Kerinduan ini membakar hati seorang pencari kehidupan sehingga di segala tempat, di segala keadaan, ia hanya mengingat yang dirindunya. Sama seperti seorang kekasih yang sedang jatuh cinta, ia selalu merindukan pasangannya ketika sedang bekerja. Seorang pelaut yang mengarungi ombak samudera, akan berjuang kembali ke rumahnya karena dibimbing kerinduannya pada senyum lucu anak-anaknya dan hangat pelukan sang istri.
Di dalam hati manusia, tertanam benih kerinduan kepada Yang Maha Pencipta. Benih kerinduan ini bisa mati karena tidak dipelihara, atau dipungut burung-burung liar yang berterbangan di angkasa. Beberapa tumbuh dengan susahnya karena duri yang membelit, beberapa tumbuh di bebatuan, dan beberapa tumbuh di tanah yang subur sehingga kerinduan ini menjadi gerakan untuk mencari dan memburu.
Bayangkan, jika segala yang kita lihat, dengar, rasa, cecap, hirup di dunia ini adalah hasrat kerinduan untuk selalu bersama-Nya. Jika setiap matahari yang terbit memerah di cerukan perbukitan, atau setiap embun yang menetes dari dedaunan, adalah momen kenikmatan kecil dari surga. Maka, bukankah langit yang bertabur bintang di malam hari, dengan sebuah lengkung rembulan adalah lukisan yang terserak dari tangan yang Maha Agung. Sang Sufi menulis, “Kemanapun engkau menghadap, Di sanalah terdapat wajah Allah.”
Rumi menulis, bagaimana dirinya merasa teraduk-aduk hatinya ketika mendengar suara seruling ditiup, sebab dari situlah terdengar kerinduan seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu yang membuatnya berbunyi ketika tergesek karena dihembus angin.
Yusuf Marwoto, Kontributor (Tangerang)