HIDUPKATOLIK.COM – PERNAH aku dengar seorang berkata
Ibadah nanti saja kalau lanjut usia
Nikmati masa muda penuh cerita
Timbul sejumput tanya
Siapa yang tahu akan menua?
Atau tutup usia Ketika belia?
………
Satu pesan masuk ke kotak ajaib yang orang modern sebut gadget, benda kecil nyaris tak pernah lepas dari genggaman. Tersebut satu nama remaja Italia, Carlo Acutis, akan dinobatkan menjadi orang kudus 10-10-2020.
Serentak pemahaman perihal orang kudus bergeser. Bukan mustahil seorang awam, muda pula bisa jadi santo atau santa, beato atau beata, sebagaimana dalam tradisi Katolik. Memang tidak mudah digelari kudus, terlebih di era digital yang semakin permisif ini, kerap kali orang muda merasa aktifitas keagamaan adalah urusan para lanjut usia.
Eeeiitss…! Di masa remaja dulu, saya ingat betul sebelum ke gereja perlu iming-iming sesudah Misa bakal mampir di mal, makan enak di restoran, atau janji menggoda dari orangtua. Pokoknya ada imbalan dulu baru ke gereja. Ironisnya, itu berlanjut pada generasi berikut di keluarga saya.
Ketika bermukim di Roosendaal, kota kecil di Provinsi Noord Brabant, Belanda, tempat paling sering saya kunjungi justru gereja. Bukan sok religius, tapi karena merasa jadi ‘primadona’ di situ. Tiap melangkah seluruh mata memandang. Perempuan muda berkulit coklat di antara para lansia yang bukan hanya kulitnya putih tetapi juga seluruh rambut. Saat melantunkan lagu pujian pun disusul batuk berkepanjangan.
Awalnya baik saya maupun umat setempat sama bingungnya. Saya bingung kenapa isi gereja sebesar dan arsitektur semegah ini semua orang tua dan kursi terisi tak sampai seperempat. Lengang! Sementara mereka bingung kenapa ada orang muda (saat itu masih muda) masuk gereja. Tidak pernah absen, bahkan akhirnya ikut sebagai anggota paduan suara de’ jompo’s dengan tetap lebih banyak ‘backsound’ batuknya daripada lirik dan nada.
Nah.., bisa ditebak di ruang gaul saya jadi terlihat aneh. Bahkan setiap pamit duluan dari kegiatan ngopi cantik karena harus ikut Misa, malah ditertawaan. Kata mereka enggak keren sama sekali sebagai orang muda. Biar sajalah… tiap orang toh punya ukuran keren berbeda. Jalan terus…, dengan prinsip butuh keseimbangan hidup antara gaul dan rohani. Saya tidak terpengaruh, juga tak berusaha mempengaruhi apalagi ngajak gereja bareng. Anggapan mereka, gereja identik dengan lansia, bosan, bahkan nggak keren. Old style.
Kuno….!
Jadi ingat di usia gaul, saat ke café, party atau sekadar nongkrong selalu penuh persiapan, dandan habis habisan agar mempesona. Sementara ke gereja bisa begitu saja, tanpa dandan apalagi persiapan. Tarik baju sembarangan dari lemari dan berangkat. Hmmm…betapa tidak adilnya saya pada Tuhan saat itu.
Sekarang kembali tersadar lewat perjalanan Carlo Acusti, yang meninggal di usia 15 akibat leukimia. Akan menjadi catatan baru, di mana tak perlu harus tua untuk menjadi orang kudus bahkan tanpa jubah. Tetap tampil kasual khas anak gaul. Carlo Acutis telah mengisi masa remaja dengan bijak menggunakan gadget dan berelasi sangat baik dengan Tuhan.
Tak perlu iming-iming menggoda bila menjalankan kewajiban seperti masa muda saya. Sebaliknya terjadi dalam keluarganya, konon ibunya yang ke gereja 3 kali saja, saat menerima Komuni, Sakramen Krisma dan Pernikahan mengalami perubahan. Sebagaimana remaja lain selalu akrab dengan gadget, Carlo Acutis pun begitu, tetap gaul dan memanfaatkan era digital dengan menjadi influencer Tuhan sebagaimana penuturan ibunya.
Saya tidak mengulas seperti apa hidup dalam iman Katoliknya, termasuk perubahan dan pertobatan keluarga. Semua kisah tersaji saat mengklik nama Carlo Acutis. Selalu optimis dalam ragam situasi bagaimanapun. Tetap berjalan dan bernafas dalam Tuhan, tanpa kondisi tertentu. Sehat atau sakit.. suka atau duka.. muda atau tua…!
Permisiiii .. ini semata perwujudan optimis
Pada situasi kritis
Mencoba meneladani Carlo Acutis
Tanpa merasa paling religius
sebab perjalanan saya pun masih minimalis
(salam cinta: Ita Sembiring)