web page hit counter
Selasa, 5 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kritik Itu seperti Vitamin, Menyehatkan

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – BANYAK orang setuju dengan ungkapan di atas.  Jarang yang menolak pendapat itu.  Akal sehat pun mengatakan demikian.

Kritik itu bermanfaat.  Banyak faedahnya.  Saya mendukung dan setuju sepenuhnya.   Kritik adalah masukan, nasihat, dapat mengubah seseorang  mengetahui kekurangannya. Kelemahan dikuak, ruang untuk perbaikan dibuka.

Tapi, tak semudah itu menerapkannya.  Sering berbeda jauh antara pendapat normatif dan implementasinya.  Orang bisa mudah mengucapkan, tapi sulit berbuat.  Termasuk soal kritik.  Omong kosong memang gratis.  “Talk is cheap”.

Saat menerima kritik, biasanya timbul resistensi, perlawanan dari dalam, pengingkaran fakta.    Alhasil, kritik sering tak bikin sehat, justru membuat sakit,  sakit hati.

Itu saya alami beberapa tahun lampau,  saat harus memimpin “feedback forum”.  Acara yang memberi kesempatan kepada seluruh anggota tim, mengomentari kinerja, perilaku, sikap, praktik, yang berkenaan dengan kepemimpinan saya.  Ada sekira 70 orang,

Tiga hal disepakati.  Pertama,  tak membawanya  ke ranah personal.  Kedua, saya tak menjawab masukan yang disampaikan.  Ketiga, tak ada dendam, setajam  apa pun masukan itu.  Dalam hati saya berdoa, Insya Allah, Puji Tuhan,  saya kuat memenuhi kesepakatan itu.

Termin pertama berlangsung  15 menit, diperpanjang sampai 25 menit.  Tak ada satu pun peserta yang mengangkat tangannya.  Acara nyaris gagal.

Bisa dipahami,  ini sesuatu yang belum lazim. Timbul ewuh-pakewuh kepada atasan, orang yang lebih tua atau mungkin takut tak “selamat”.  Melontarkan kritik kepada atasan adalah tabu.  Sebaiknya tak dilakukan.

Baca Juga:  "SOS": Ini Kebutuhan Mendesak Korban Erupsi Gunung Api Lewotobi Laki-laki

Terpaksa, cara diganti dengan gaya setengah memaksa.  Dibagikan lotere, dengan 3 yang bertulisan “harus memberi masukan”.   Mulai terlihat hasilnya.  Tiga peserta (terpaksa)  bicara.   Dua yang pertama masih gamang,  suaranya datar saja. Yang ketiga mulai berani.  Nadanya lebih gandang.  Sesuai janji, saya hanya mencatat, tak menjawab dan terus berharap agar kuat mendengar semua itu.

Tahap pertama usai, kemudian, orang keempat, kelima, keenam sampai kedelapan mulai mengangkat tangannya.  Nadanya mulai tegas.  Isinya menusuk persis ke ulu hati.   Posisi duduk mulai goyah.    Di akhir acara, tercatat 15 peserta “berani” tampil.  Satu-dua memberi pujian, sisanya sebaliknya.    Waktu habis, “save by the bell”.  Acara yang bagai madu dan racun berakhir sudah.

Sepanjang acara, 6 kali saya melirik jarum jam.  Duduk serasa di atas bara.  Kuping merona, banyak darah mengalir ke kepala.  Dan yang paling terkesan, sepanjang waktu terus ndremimil  berdoa, agar mampu mengelola hati supaya tekanan darah tak naik ke ubun-ubun.

Silakan bilang kritik itu sehat.  Rasio saya setuju.  Tapi yang saya alami, tidak.    Kritik baru sehat bila beberapa persyaratan dipenuhi.   Meleset sedikit, malah membuat sakit.  Saya tak siap mendengarnya dan “hukuman” ini pantas diterima.

Kritik memang benar menyehatkan, apabila orang siap untuk menerimanya.  Cara mengkritik sering dijadikan alasan untuk menolaknya.  “Cara”, sangat menentukan apakah kritik itu gula yang manis atau asam yang kecut.

Baca Juga:  Renungan Harian 5 November 2024 “Keselamatan Allah”

Katanya, kritik itu sehat.  Tapi orang lebih senang dan gampang mengeluarkan kritik daripada menerimanya.  Tukang kritik sepedas apa pun, bila ganti dikritik, biasanya juga ikut-ikutan berang.

Ingat, kritik itu seperti vitamin yang menyehatkan.   Jadi, si pengritik harus siap gantian menerima kritik.  Kalau tak siap, dia bukan memberi vitamin, tapi sekadar menyerang orang yang tak disukainya.  Istilah sekarang yang sering digunakan adalah “pembunuhan karakter”.  Kejam bukan?.

Mengapa kritik sering ditangkis dengan vulgar dan serta-merta?  Pertama, karena adanya  defense mechanism  yang berlebihan.   Sudah galibnya bahwa manusia cenderung mencintai dirinya dan tak mau  diusik kenyamanannya.   Tak rela dinyatakan bersalah.  Lantas dengan spontan melemparkan ini ke orang lain.

Orang mudah terjebak blame trap, atau “jebakan menyalahkan orang lain”.   Menolak kritik, bahkan dengan emosional, membuat perasaan seolah-olah lega dan bebas dari tanggung jawab.   Padahal, itu semu.

“If other people are responsible for the bad things that happen in life then the individual can avoid feelings of culpability” (alcoholrehab.com).

Kedua, menolak kritik bisa seakan dirinya  benar, aman dan hebat.  Itu perasaan semu belaka.  Ironis, sikap ini makin kental dimiliki orang yang semakin tua, pintar, kaya, terkenal atau tinggi posisinya.   Di masa kini, mereka yang  menguasai media juga mudah terjebak dalam perasaan ini.

Ketiga, menolak kritik identik dengan mengutamakan kepentingan diri.  Ini sama dengan egosentris.  Sering subyektif dan irasional.

Baca Juga:  Setahun Menjadi Uskup Banjarmasin; Mgr. Victorius Dwiardy, OFM.Cap: Mencoba Meneladani Santo Carolus Borromeus

Zaman egaliter dan demokratis seperti sekarang, orang bisa mengritik satu sama lain.  Tak hanya kalangan bawah yang menjadi sasaran.  Pejabat malah sering jadi bulan-bulanan, oleh siapa saja.  Sering kritik menjadi tameng suatu agenda lain yang tersembunyi.  Kritik menjadi pedang bermata banyak. Kritik begitu mudah menjadi cerca atau hina.  Meski tetap saja, konon, kritik itu seperti vitamin, menyehatkan.

Untung, saya punya sahabat muda. Saya memanggilnya Uda Ustad Shauqi.  Dia paham ilmu agama dan sering memberi rujukan bila saya menghadapi  masalah yang  cukup pelik.  Kali ini dia mengirim resep bagaimana cara menyampaikan kritik kepada atasan atau pejabat.  Bahkan, konon, berlaku juga kepada siapa saja.  Nasihatnya saya nilai ces pleng.

(Mungkin, pengasuh  talk show di salah satu stasiun TV yang saat ini sedang “viral”, bisa mengambil manfaat dari sini.)  Simak  nasihatnya: “Barangsiapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan.”

Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya.  Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan.  Jika tidak, maka dia telah menunaikan  kewajibannya.” (HR Ahmad 3/403, Ath-Tabbrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2/94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah 2/507).

P.M. Susbandono, Kontributor/Penulis Buku Inspiratif

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles