HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus baru saja mengumumkan Ensikliknya yang baru, Fratelli Tutti. Pengumuman bertepatan dengan Hari Raya Santo Fransiskus dari Assisi, santo yang namanya dipakai Bapa Suci sebagai namanya sebagai Paus. Konon serta-merta, judul itu mendapat tangggapan (baca: kritik) terutama dari kubu kaum feminis yang berbicara Bahasa Inggris. Saya tidak pandai berbicara Bahasa Italia. Oleh karena itu saya tidak akan membahas hal ini dari sudut Bahasa Italia yang dipakai dalam judul itu. Saya hanya akan berusaha membahas hal ini dari sudut para kritikus (kaum feminis) yang berbahasa Inggris
Menurut saya, kritik dari kaum feminis dengan latar belakang berbahasa Inggris, khususnya Amerika Serikat, memang sangat bisa dipahami. Sejak berkembangnya pemikiran kritis feminis maka berkembang juga pelbagai macam wacana kritis terkait dengan feminisme itu. Elisabeth Schussler Fiorenza, dkk., misalnya sangat getol dengan pemikiran hermeneutik. Bahkan mereka getol mengikuti hermeneutika dari the three masters of suspicion, yaitu (kalau saya tidak salah ingat) Marx, Freud, Nietszche). Dengan hermeneutika keraguan atau kecurigaan itu, maka mereka mencoba mengkritisi segala sesuatu, terutama yang berbau kekuasaan, apalagi berbau penyalah-gunaan kekuasaan. Semua pemikiran positif mereka (kaum feminis), katanya harus berlandaskan pada dan bertitik tolak dari hermeneutics of suspicion ini. Kalau tidak, maka kata mereka, pemikiran itu masih dibelenggu oleh pelbagai macam kekuasaan. Kira-kira begitulah kata mereka.
Lalu mereka mengamati bahwa dalam dunia ekonomi dan perdagangan pada tahun 80an, muncullah apa yang disebut eco-labelling, yaitu label yang menjamin bahwa produk yang anda hasilkan dan pasarkan di pasar internasional memang dalam prosesnya dan juga di dalam sisa-sisanya (baca: limbah) memang sangat ramah lingkungan. Tuntutan eco-labelling itu kencang terutama ketika issue lingkungan hidup dan etika lingkungan hidup mencuat ke permukaan menuntut dan menyuarakan suara-suara kenabian mereka. Yang paling kencang dan nekad tentu saja kelompok seperti Green-Peace. Yang lebih lunak, smooth dan smart tentu saja gerakan yang dilakukan oleh mantan wapres Amerika Serikat, Al(bert) Gore. Ia ini terkenal dengan film kampanyenya, yang berjudul The Inconvenient Truth, Kebenaran yang bikin tidak nyaman. Yang ia maksud ialah krisis Lingkungan hidup. Bahkan Rachel Carson juga dicap sebagai nabi ekologis dengan tulisannya yang fenomenal awal-awal tahun 60an, The Silent Spring (Musim Semi Yang Bisu) itu.
The Inclusive Language
Nah, kaum feminis yang berbahasa Inggris, the English Speaking feminist, setelah kilas balik seperti itu, di akhir tahun 90an, juga menyuarakan dan menuntut hal yang sama. Anda, kalau menulis sesuatu dan dipublikasikan di ruang publik, maka anda sendiri harus menjamin bahwa bahasa yang anda pergunakan adalah bahasa Inklusif, the inclusive language. Di Amerika, hal itu masih berlaku. Ada penulis (walau saya lupa nama-nama mereka) yang artikelnya diberi keterangan (diberi label), using the inclusive language. Kira-kira sama seperti eco-label yang ditempelkan seorang pedagang yang menjual dagangannya di pasar internasional, agar tidak diboikot oleh gerakan ekologis.
Tetapi apa itu the inclusive language? Tidak mudah mendefinisikan hal ini. Menurut pemahaman saya, yang dimaksudkan ialah bahasa yang tidak membedakan kata untuk menyebut kata ganti orang. Misalnya, dia atau saya, atau engkau, kamu, mereka. Gerakan bahasa inklusif ini menghendaki agar kata-kata itu satu dan sama baik untuk wanita maupun pria. Tetapi justru di situlah letak masalahnya. Sebab hampir semua bahasa-bahasa barat mengenal pembedaan seperti itu. Misalnya dalam bahasa Inggris, kita tahu kata ganti he (untuk pria) dan she (untuk wanita). Selama pemakaiannya hanya untuk pergaulan hidup sehari-hari, hal itu tidak menjadi masalah. Masalah muncul ketika kedua kata ganti orang itu dipakai untuk menyebut Tuhan. Tradisi teologi dan iman yang lama (Kristiani) kata ganti untuk Tuhan itu HE, dan bukan SHE. Nah di situ letak masalahnya. Kaum feminis, yang suka menggugat kemapanan Patriarki dan kuriarki, bertanya, mengapa harus He? Mengapa bukan She?
Sebuah Terobosan Berani dan Kreatif
Oleh karena itu, di akhir tahun 90-an muncul eksperimen (kalau tidak salah dipelopori oleh feminis Amerika, antara lain oleh E.S.Fiorenza tadi) di kalangan kaum feminis yang melakukan eksperimen seperti ini: Bahwa kata ganti orang ketiga dalam bahasa Inggris itu sebaiknya ditulis s/he, sebab menurut mereka, she itu lebih bersifat inklusif daripada he. Kalau hanya he, maka di mana she-nya? Sebaliknya, kalau ditulis s/he, bahkan she juga tanpa schlas (garis miring) itu, juga masih tampak jelas ada he di sana. Memang cara berpikir dan eksperimen ini menimbulkan banyak masalah besar bagi hampir semua bahasa-bahasa Barat. Sebab memang mereka mengenal distingi seperti itu. Dan tidak mudah menghapusnya dari bangunan bahasa manusia.
Untuk bahasa Indonesia misalnya, kita mah santai saja, sebab bagi kita kata DIA itu sama saja baik untuk pria dan maupun untuk wanita, sehingga ketika kata DIA itu dipakai untuk TUHAN, juga tidak ada masalah. Beres. Hal itu berbeda sekali dengan bahasa-bahasa Barat, baik yang kuno maupun yang modern. Kalau Tuhan disebut He, lalu orang bertanya kenapa bukan She? Apakah salah kalau Tuhan itu disebut She? Kaum feminis sadar bahwa jalan dan perjuangan mereka masih sangat panjang. pasti ada banyak tantangan dan rintangan. Banyak yang mengkritik, mencemooh, mencela. Tetapi bagi mereka, itu bagian utuh dan konsekwensi dari sebuah perjuangan. Sebab pembebasan dan gerakan pembebasan juga berasal dari gerakan kata dan bahasa.
Usul Memperbaiki Bahasa Liturgi
Masih dalam aras dan arah penciptaan bahasa inklusif tadi, konon para feminis katolik Amerika Serikat pernah mengusulkan eksperimen liturgis berikut ini. Ya mungkin karena mereka berpikir bahwa di dalam pemakaian bahasa Liturgis-lah status suci sebuah bahasa mendapat legitimasinya, karena itu perlu dikritisi dengan dikaji terus menerus dengan kepala dingin. Para feminis itu misalnya berpikir bahwa tanda salib di dalam tradisi Katolik itu merupakan salah satu alat legitimasi teologis pemakaian bahasa yang patriarkis itu. Mengapa begitu? Karena saat kita membuat tanda salib, kita akan mengatakan, Demi nama BAPA, dan PUTERA, dan Roh Kudus, amin. Atau dalam bahasa Inggris, In the name of the FATHER, and of the SON, and of the HOLY SPIRIT, amen.
Di telinga kaum feminis katolik ini, saat mereka mengucapkan in the name of the FATHER, mereka akan spontan berpikir dan bahkan mungkin protes, where is the MOTHER, why only the FATHER? Saat mereka mengucapkan (menyapa) SON, maka secara spontan mereka pikir dan protes, why only the SON, and where is the DAUGHTER? Mereka tidak mempunyai keberatan apa pun dengan HOLY SPIRIT, sebab kata itu netral.
Bahasa Inklusi dalam Liturgi
Dengan latar belakang protes dan pemikiran spontan itu tadi, kaum feminis katolik di amerika pun mengusulkan sebuah “revisi” yang unik seperti berikut ini:
Dari pada mengucapkan In the name of the FATHER yang dianggap bermasalah tadi, karena menyingkirkan IBU, maka mereka mengusulkan untuk mengganti kata FATHER itu dengan CREATOR. (NB: Tentu saja usul ini tetap bermasalah, sebab kalau orang tahu bahasa Latin, maka kata CREATOR itu berjenis kelamin masculinum dan bukan femininum. Tetapi bagi kaum feminis tadi, hal itu tidak apa-apa, yang terpenting kata FATHER itu sudah ada alternatifnya, CREATOR). Kemudian, saat mengucapkan and of the SON, mereka pun mengusulkan agar kata SON itu diganti dengan kata WORD (LOGOS). Jadi, instead of saying “…and of the SON”, it is better, they say, to say “…and of the WORD.” Sehingga versi lengkapnya usul revisi menurut versi bahasa Inklusif itu ialah berikut ini: IN THE NAME OF THE CREATOR, AND OF THE WORD, AND OF THE HOLY SPIRIT, AMEN.
Mereka berpikir bahwa saat kita mengucapkan kata CREATOR itu, setidaknya kita sudah terhindar dari eksklusivisme kata BAPA. Dorongan ke arah ini sangat kuat juga, apalagi dengan semakin banyaknya studi biblika, baik PL maupun PB, yang mengangkat isu bahwa Allah baik dalam PL maupun PB itu adalah sekaligus BAPA dan IBU juga. Ada dimensi keibuan di dalam keallahan, tidak hanya dimensi kebapaan. Begitu juga, saat mereka mengucapkan kata WORD, setidaknya orang sudah terhindar dari eksklusivisme SON. Dengan demikian, tidak perlu ada lagi pertanyaan tentang di mana DAUGHTER? Sedangkan kata Holy Spirit, sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, tidak ada keberatan karena ia netral secara kebahasaan, cocok dengan kriteria the inclusive language di atas tadi.
Sekelumit Catatan Penutup
Sekarang kembali ke diskusi atau pembahasan tentang ensiklik terbaru bapa suci ini yang judulnya sudah menimbulkan diskusi dan bahkan kritik. Sedih memang, bahwa sebelum ensiklik ini lahir (saat saya tulis artikel ini ensiklik itu belum diumumkan, masih akan diumumkan beberapa jam lagi ke depan), ia sudah seperti “ditolak” oleh sementara kalangan. dan yang menolak atau mengeritik itu terutama sekali dari kaum feminis yang berbahasa Inggris. Tetapi saya memahami kritik mereka dalam konteks perjuangan the inclusive language tadi. Oleh karena itu, saya bisa memahaminya. Walau belum tentu bisa membenarkannya, setidak-tidaknya dari dan berdasarkan trend pemakaian umum Bahasa-bahasa pada masa sekarang ini. Dengan mengatakan ini, saya sebenarnya tetap mau membuka ruang perbedaan dan bahkan perubahan dan perkembangan yang mungkin tidak akan terduga-duga di masa-masa yang akan datang. Selamat berdiskusi secara sehat.
Dr. Fransiskus Borgias, Dosen Teologi pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung, Jawa Barat
Tulisan yang keren ya. Ternyata dari bahasa saja bisa menjadi kontroversi yang besar. Tapi itulah hakekat manusia dengan anugarah akal budinya, semakin menyempurnakann diri untuk secitra dengan Allah sekalipun pertama-tama segala sesuatu dikembalikan ke ajaran Kristus yang utama: KASIH. Kasihilan Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu.
What remains is what is truly from God. Apapun ciptaan manusia termasuk bahasa, ya… akan lekang seiring perjalanan waktu.
Pak Simon Ono Sutono, terima kasih atas perhatian dan apresiasinya… salam sehat selalu…