HIDUPKATOLIK.com – Ayb. 42:1-3, 5-6, 12-17; Mzm.119: 66, 71, 75, 91, 125, 130; Luk.10:17-24
MENUTUP kisah pencarian Ayub yang oleh Kardinal Martini dipandang mirip dengan kisah peziarahan sang kekasih di Kidung Agung. Allah yang tersembunyi, yang menakutkan sekaligus mengagumkan, tak bisa dipahami menurut kata orang, selain dialami dan dijumpai secara pribadi. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (Ayb. 42:5-6). Pengalaman pribadi Ayub akan Allah mengubah segala sesuatu, baik penilaiannya terhadap diri sendiri maupun penilaian terhadap segala sesuatu yang terjadi. Penilaian yang tetap sadar akan keterbatasan diri (kedosaan), tetapi dalam rasa aman karena berada pada keluasan tak terbatas dari kebijaksanaan (kerahiman) Tuhan.
Sharing pengalaman di tengah penderitaan karena situasi pandemik ini akan menggugah hati para pelayan Sabda. Berbagi kegembiraan dan keprihatinan iman sesudah pengalaman semacam itu benar-benar meneguhkan, apalagi bila menyaksikan bahkan kekuatan gelap
pun tidak tahan di hadapan efektivitas Kabar Gembira. Namun, Yesus tidak mau membiarkan komunitas para murid yang baru dibentuk itu menipu diri dalam ilusi atau kebanggaan yang berasal dari sistem manusiawi yang semu. (Luk 10:20). Ada sesuatu yang lebih penting dari pada kesuksesan dan keberhasilan manusiawi, yaitu partisipasi pada sukacita Ilahi dari Bapa Surgawi yang menyembunyikan semuanya itu bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi menyatakannya kepada orang kecil (bdk. Luk 10:21).
Romo Vitus Rubianto Solichin, SX
Dosen Kitab Suci STF Driyarkara, Jakarta