HIDUPKATOLIK.COM-HIDUPNYA sangat singkat, tetapi karyanya menggunung. Carlo Acutis, remaja 15 tahun, adalah seorang programmer yang berbakat. Ia tidak belajar khusus di bidang ini. Semuanya didapat secara otodidak.
Sejak umur sembilan tahun, Carlo hampir menguasai Operating System (OS) untuk aplikasi mobile, website, atau desktop. Tahun 2004, ia pernah membuat website khusus informasi iman kekatolikan. Dirilis dari nationalcatholic.com, Februari 2020, di umur 12 tahun, Carlo sudah bisa merancang flowchart, menulis kode program, dan menguji program.
Hard skill yang dimilikinya membuat orangtuanya yakin hampir mustahil masa depannya suram. Bekerja sebagai programmer waktunya sangat fleksibel. Bisa bekerja dengan sistem remote; bekerja jarak jauh atau dari rumah.
Dalam bayangannya, kesempatan bekerja di rumah membuatnya lebih dekat dengan keluarga sekaligus punya banyak waktu mengembangkan hidup rohaninya. Sebab Carlo dikenal mencintai Ekaristi. Ia gemar menghadiri Misa harian, rajin berdoa Rosario, dan menerima Sakramen Tobat mingguan.
Sayang semua harapan ini kandas lantaran leukimia. Lewat perjuangan panjang untuk sembuh, akhirnya takdir berkata lain. Carlo meninggal dunia di Monza, Milan, Italia, tanggal 12 Oktober 2006.
“Ada berita gembira bahwa dunia sedang menuju era digitalisasi. Pantaslah kita mengenang seorang remaja terkenal Carlo Acutis sebagai model kekudusan di era digital,” ujar Paus Fransiskus dalam Christus Vivit, nasihat kerasulannya, tahun 2008.
Rasul Ekaristi
Remaja Carlo sangat tertarik pada konsep Paus Yohanes Paulus II tentang pentingnya penggunaan internet untuk evangelisasi. Atas panggilan ini, ia pernah membuat sebuah situs www.carloacutis.com untuk berbagi tentang iman kekatolikan. Situs ini dalam bahasa Italia, dan masih dapat diakses hingga sekarang.
Dalam situsnya itu, Carlo memberikan sebuah pernyataan inti yang jelas tentang Ekaristi: Eucharistia, La mia Autostrada per il Cielo, (Ekaristi adalah jalan tol saya ke surga). Nicola Gori, editor L’Osservatore Romano, telah menerbitkan biografi Carlo sebagai salah satu bentuk usaha untuk mendukung proses beatifikasinya.
Konsep ini mulai dipahaminya sejak usia tujuh tahun, sesaat setelah menerima Komuni Pertama. Kepada orangtuanya, Carlo menyebutkan bahwa Ekaristi adalah jalan tanpa hambatan ke surga. Kerinduan untuk menerima Ekaristi terus menggebu di hatinya. Ia tak pernah merasa puas menyantap tubuh Kristus. Ia senang berdiri di hadapan Kristus ketika tubuh dan darah Kristus dikonsekrasi. “Kita menjadi suci karena Ekaristi, selebihnya adalah rahmat Tuhan,” tulisnya.
Setiap hari Carlo tak pernah melewatkan Ekaristi. Ia bahkan sering bertanya mengapa orang rela mengantri berlama-lama mendapatkan tiket konser rock dan film, tetapi malas mengantri menerima tubuh Kristus? Dalam sebuah tulisannya juga dirinya menemukan bahwa tidak ada artinya membuang waktu untuk suatu yang tidak abadi..
“Kristus hadir selalu dengan cara yang sama ketika pertama kali datang di dunia. Saat ini kita beruntung karena telah melihat-Nya di gereja lewat Ekaristi. Untuk apa kita menolak-nya? Kita perlu terbuka menerimanya,” tulis Carlo.
Mengenal lebih dalam tentang pribadi Carlo, kita bisa membacanya dalam buku terkenal “Miracles of the Eucharist”. Buku ini mengisahkan banyak hal tentang mukjizat Ekaristi yang dialami Carlo. Buku ini berisi catatan hariannya hingga pengalaman mistiknya.
Buku ini sudah beredar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam kata pengantar buku, Kardinal Angelo Comastri, Vikaris Jenderal Negara Vatikan menulis dengan jelas bahwa merayakan Ekaristi berarti setiap orang merayakan kemenangan.
“Merayakan Ekaristi berarti kita yang dahulu, sedang, dan akan mempercayakan hidup kita untuk Kristus. Kita percaya kekuatan Ekaristi bisa menyelamatkan,” tulis Kardinal Angelo. Terkait figur Carlo. Mgr. Angelo menggunakan istilah Carlo adalah seorang jenius. Ia adalah “komputer berjalan” sekaligus “Ekaristi berjalan.”
Anugerah Terindah
Ekaristi dan Carlo tak bisa dipisahkan. Hal ini diakui oleh ibunya Antonia Acutis. Saat diwawancarai daring oleh CNA, Mei 2020, Antonia menyebutkan puteranya menjalani kehidupan yang benar-benar berpusat pada Tuhan. Antonia tidak kaget bahwa anugerah beatifikasi diberikan kepada Carlo. Katanya, Carlo menjalani hidup sebagai bagian dari panggilan untuk merayakan Ekaristi kehidupan.
Antonia bercerita ia dan suaminya menikah di Inggris dalam usianya yang masih sangat mudah 24 tahun. Setahun kemudian lahirlah Carlo, anak yang belum diharapkan kehadirannya. Antonia ingin berkarir sementara sang suami belum memiliki pekerjaan tetap.
“Saya menyesal pernah ingin membuangnya. Dan itu dosa saya sehingga Tuhan tak memberi anak lagi bagi kami. Butuh 20 tahun untuk mendapatkan anak kedua. Saya percaya semua ini berkat doa Carlo. Pada usia 44 tahun, Tuhan mengaruniakan dua anak kembar Francesca dan Michele yang kini berusia 9 tahun,” ungkap Antonia.
Bagi keluarga besar, Carlo adalah anak muda yang hidup penuh gairah. Mereka yang mengenalnya menggambarkan dirinya sebagai seorang jenius, “berotak komputer”. Hal ini terbukti dari website yang ia bangun dan film-film dokumenter yang diproduksinya. Ia selalu mengedit berbagai macam jurnal dan karya-karya ilmiah lainnya.
Dia senang membaca buku tentang teknologi informasi. Dalam usianya yang masih muda, ia telah memiliki kemampuan untuk memahami informasi. Ia memiliki kemampuan pemograman komputer, penyunting film, pembuat situs, dan animasi. Dalam prinsipnya, internet tidak menjadi alasan seseorang bertindak buruk atau berperilaku tak sesuai dengan nilai-nilai moralitas. Sebab banyak sekali tawaran positifi dari internet.
Bertemu Tuhan
Meski lahir dari keluarga yang tergolong berada, Carlo tak pernah menampilkan diri sombong. Ia seorang yang senang memperhatikan orang miskin. Ia selalu menempatkan diri bahwa kekayaan bukanlah hal yang jahat, tetapi jangan sampai kekayaan membuat seseorang menjadi egoisme. “Hasrat untuk menyimpan dan mengumpulkan semua kekayaan untuk diri sendiri itulah yang menyebabkan anugerah kekayaan menjadi jahat,” sebut remaja kelahiran London, 3 Mei 1991 ini.
Carlo seorang yang bermurah hati kepada orang asing, penyandang disabilitas, dan anak-anak pengemis. Luana, nenek Carlo, pernah berkisah tentang Carlo dan seorang pengemis yang tidur di tanah di kebun Kota Assisi. “Carlo mengingatkan saya agar setiap malam menyiapkan makanan kepada pengemis itu. Kadang juga ia menempatkan sejumlah uang dekat saya sehingga pada pagi hari saya bisa memberikannya kepada pengemis itu.”
Sayang, takdir Carlo berkehendak lain. Memasuki usia 12 tahun, ia didiagnosa menderita leukima. Dalam kesakitannya, ia menawarkan penderitaannya bagi Takhta Suci dan Gereja. Ia meninggal dunia di Monza, Milan, Italia, pada 12 Oktober 2006. Saat ini, jazadnya dimakamkan di Gereja St. Maria Mayor di Assisi.
Antonia pernah bercerita soal pengalaman terakhir bersama Carlo. “Malam itu, saya tertidur dan bermimpi Carlo berdiri di atas sebuah menara Gereja yang tinggi bersama St. Fransiskus Assisi. Saat itu saya tidak mengerti, tetapi baru saya sadar saat ini bahwa dia diangkat Allah menjadi perantara bagi semua orang.”
Antonia menambahkan, semua kehidupan Carlo tak lain adalah anugerah Tuhan. Sejak awal, Tuhan telah memilihnya sebagai perpanjangan tangan-Nya. “Sekarang saya sadar bahwa nilai tertinggi dari merayakan Ekaristi adalah berjumpa dengan Tuhan.”
Carlo Acutis akan dibeatifikasi pada 10 Oktober 2020 mendatang. Kabar ini pun disambut gembira oleh Uskup Agung Asisi, Mgr. Domenico Sorrentino. “Akhirnya telah tiba tanggal membahagiakan ini,” ungkapnya melansir CNA, 13/6.
Beatifikasi akan berlangsung di Assisi pada pukul 04.00 sore di Basilika Santo Fransiskus. Perayaan ini akan dipimpin oleh Prefek Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Becciu.
Yusti H. Wuarmanuk
Carlo Acutis, jadilah Pendoa untuk kami, agar di lindungi Tuhan Allah selama masa Pandemi ini. Amin
Asli Aku nangis waktu ibunya bilang dia bersama Santo Fransiscus Asisi. Betapa bahagianya Beato Carlo Acutis sudah berada di Surga bersama para kudus Allah.