HIDUPKATOLIK.COM – PADA akhir pekan yang lalu, saya mengikuti zoominar “Ignatian Talk” dan kembali mendengar frasa “Man For and With Others.” Frasa itu membangkitkan kenangan saya pada Kolese Kanisius Jakarta, sekolah saya dahulu, yang dikelola oleh para romo Jesuit.
Kira-kira 24 tahun setelah saya menjadi alumni, saya mendapat kesempatan untuk menjadi ketua panitia perayaan 75 Tahun Kanisus. Untuk mengawali kegiatan itu, Romo Kepala Sekolah mengajak diskusi untuk menentukan tema sebagai payung perayaan itu.
Sejak SMP, selama 6 tahun saya bersekolah di Kanisius, frasa yang teringat hanyalah “Man Only” yang tercetak di dada kaos kebanggaan siswa sekolah ‘cowok doang’ itu. Sehingga ketika pembahasan dimulai, saya agak malu juga, karena merasa baru mendengar “Man For and With Others” itu. Itu pun yang saya dengar hanyalah “Man For Others” saja. “Ah, ini mah gampang pengertiannya, biasalah, kita harus bermanfaat buat orang lain,” begitu pikir saya, dan saya pun mulai mencatat.
Ada saatnya, kita hidup dalam kerutinan. Namun ada saatnya pula, kita bersumbangsih. Berbuat sesuatu yang berharga buat orang lain.
Namun romo segera mengoreksinya, “Tidak cukup hanya ‘for’. Tantangannya adalah ‘with’, kebersamaan kita bersama dengan orang yang kita bantu”. Dan catatan saya pun berlanjut.
Memberikan sesuatu kepada orang lain, kedengarannya sudah baik. Namun kenyataannya, tidak. Memberikan sesuatu kepada orang lain, seperti si kaya, yang telah memberi sedekah kepada si miskin, akan berkata: “Saya sudah memberi! Mau apa lagi?”. Ternyata sikap seperti si kaya ini, bukanlah sikap seorang Canisian. Seorang Canisian dituntut untuk memberikan pelayanan secara total kepada orang lain. Lahir dan batinnya. Materi dan waktunya.
Tidak cukup, kita hanya mendonorkan darah kita, tanpa mengenal siapa gerangan manusia lain yang menggunakannya.
Tidak cukup, kita hanya menyumbangkan uang sebagai orang tua asuh, tanpa pernah bertemu dengan si anak asuh, tanpa pernah mendengarkan kesulitan-kesulitannya dalam belajar, bahkan tanpa mau tahu perkembangan nilai rapornya.
Tidak cukup, kita hanya memberi nafkah sebagai ayah, tanpa pernah memberikan dekapan, sentuhan dan kecupan kepada anak-anak.
Keberadaan kita akan bermakna, bukan saja berharga, ketika kita memberikan diri kita kepada orang lain, dengan hadir sepenuh hati bersama mereka. Memberi kesenangan bagi raganya. Membentuk ruang di hatinya.
Catatan itulah yang kemudian menjadi bagian dari kata sambutan ketua panitia dalam perayaan itu. Ajaran ini memang wow bangets, ideal banget, diperlukan banget, tapi berat nian. Meskipun demikian pencerahan “for & with” inilah yang menginspirasi saya, ketika mendapat tugas untuk memberi pengantar dalam program “Penerapan Standar Pelayanan” kepada pelanggan, di kantor saya, sebuah perusahaan otomotif. Sebagian bunyi pengantar itu begini.
Betapa indahnya, ketika melayani orang lain di kantor, seperti melayani keluargaku sendiri. Betapa indahnya, ketika melayani pelangganku, seperti melayani kekasihku sendiri. Melayani bukan lagi masalah apakah saya digaji atau tidak, melainkan menjadi rasa syukurku atas penghasilan yang kuterima.
Melayani pelanggan, bukan sekadar mengharapkan tanda tangannya dalam surat order, melainkan agar pelanggan memberikan senyum kepuasan. Kepuasan atas info yang lengkap. Kepuasan akan perlakuan yang adil. Kepuasan menerima bantuan yang datang tanpa diminta.
Kepuasan karena dalam hidup ini, masih ada orang yang mau mendengarkan. Masih ada orang yang mau memberikan ketulusan bantuan. Masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada manusia yang memanusiakan orang lain.
Melayani pelanggan, bukan sekadar mengharapkan ia membuka dompetnya, melainkan agar ucapan terima kasih tanpa kata, terucap lewat tatapan matanya. Tatapan yang akan menyulut pula kepuasan di hati kita, bahwa kali ini saya sudah membuat satu perbedaan. Bahwa kali ini saya sudah membangun satu persahabatan, yang menghadirkan keharuan, yang akan mengendap dalam ingatan keabadian.
Lumayan. Ketika program manager-nya mendapat job untuk menerapkan standar pelayanan di perusahaan lain, saya kecipratan juga, diajak untuk membunyikan pengantar seperti di atas. Itulah salah satu manfaat langsung “Man For & With Others” buat saya 🙂 Dan untuk menutup tulisan ini, sekali lagi saya membuat catatan.
Melayani orang lain, sesungguhnya, merupakan panggilan hidup. Melulu memikirkan diri sendiri hanya menghasilkan kegelisahan, membangkitkan rasa haus akan pemuas yang tiada habisnya, hanya menimbulkan kesepian.
Sudah keseringan hidup kita begitu-begitu saja. Meski hanya sekali, sempatkan mengerjakan yang berbeda, bersumbangsih. Berbuat sesuatu yang berharga buat dan bersama orang lain. Menggelindingkan bola salju kebaikan. Mewujudkan rasa syukur kita kepada Sang Pencipta.
Cie!
Henry C. Widjaja, Kontributor/Penulis buku “Merayakan Sang Momen, Kumpulan Puisi Foto Hitam Putih”/@henrycwidjaja
Keren Henry, top.
Salam, michael tedja CC 79
Banyak terima kasih Bro Michael Tedja, kita sama2 dari kedalaman itu
Terima kasih Broer Henry, benar dan tepat penggambarannya bagaimana melayani, mendidik, memajukan orang lain, memimpin sebuah keluarga perusahaan sebagai seorang ayah, pemimpin, yang dapat membahagiakan banyak orang…… really appreciate
Banyak terima kasih Bro Alex Nayoan
Pencerahan utk ku dari tulisan ini….bro..T.Q..
Banyak terima kasih Bro Yohanes ♡
Luar biasa Henrysangat mencerahkan
Semoga kita semua dapat bermanfaat bagi sesama & sekaligus menikmati kebersamaan dengan keluarga, teman, & siapapun di sekitar kita
Ogie FE 78
Banyak terima kasih Bro Ogie. Komenmu selalu menguatkan
Salutee, sangat dalam dan menyentuh.
Banyak terima kasih Bro Tanto, kita berasal dari kedalaman yg sama
Salutee, saya bangga ada insan seperti kamu.
Terima kasih Tanto, kita seguru seilmu