HIDUPKATOLIK.COM– IA Bapak yang luar biasa. Ia rendah hati, gemar menolong, dan setia pada tugasnya. Teladan hidupnya tergambar jelas dalam caranya mencintai orang-orang yang kecil dan menderita. Dari kisah hidupnya, kita bisa belajar bagaimana caranya mencintai.
“Karya-karyanya hidup dan mendarah daging di hati para Suster Kongregasi Dominikan dari Beata Imelda Lambertini (OP),” ujar Sr. Ergie A. Bagsic, OP saat diberi kesempatan memberi khotbah dalam Misa syukur perayaan ulang tahun Bapak pendiri Kongregasi Suster OP, di Rumah Dominikan Jl. Palapa III C No. 2 RT 04/22, BMD, Pontianak Selatan, Sabtu, 29/9/2020.
Misa syukur yang dipimpin Kepala Paroki Keluarga Kudus Pontianak, Pastor Astanto, CM juga dihadiri para Suster OP, Dominikan Awam, Mother Prayers dan koor mahasiswa gabungan Keluarga Besar Mahasiswa Katolik dan Kerabat Mahasiswa Katolik Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Sr. Ergie melanjutkan, Pater Giocondo adalah orang yang sederhana. Ia tidak tertarik pada kemewahan duniawi karena sedari kecil sudah terbiasa hidup dalam kecukupan. Sebagai anak penjahit, Giocondo mewarisi kesalehan hidup yang membawanya terpanggil mengikuti jalan panggilan Tuhan.
Akhirnya, meski bertumbuh dalam lingkungan yang jauh dari kemewahan, kekayaan terbesarnya adalah dekat dan memasrahkan hidup kepada Tuhan. “Bagi kami para Suster OP, inilah kekayaan hidup yang menjiwai, menggerakan dan membaharui hidup rohani kami. Sang Bapak mengajari kami untuk melihat lebih terbuka kepada mereka yang kecil dan tak berdaya. Dan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya,” jelasnya.
Sementara itu, Pastor Astanto mengatakan, merayakan ulang tahun berarti kita merayakan ketokohan seseorang bisa karena perannya di bidang tertentu bisa juga karena cara hidupnya. Dalam hal ini, Pater Giocondo terkenal karena corak hidup yang dijalaninya. Meski belum menjadi beato (baru tingkat venerabilis), tetapi karakter yang dibangun dalam relasi dengan Tuhan dan sesama, menjadi kekayaan rohani untuk kita semua.
Sejarah Singkat
Giocondo lahir di Kota Popetto, Italia, tanggal 27 September 1870 dari pasutri Giovanni dan Maria Fiasela. Lahir dari keluarga sederhana, Giocondo harus ekstra berjuang di masa kecil untuk tetap bertahan hidup. Di sebutkan dalam riwayat hidupnya, Giocondo terlahir dari ayah seorang penjahit dan ibu rumah tangga dengan empat bersaudara: Caterina, Bentivoglio, Luigi, dan David.
Kendati bertumbuh di lingkungan miskin, anak ketiga ini memiliki harapan hidup yang begitu besar. Harapan ini ia temukan dalam kedekatannya dengan Tuhan. Ia begitu merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap pergumulan hidupnya—termasuk keterbatasan finansial keluarga.
Dari keluarga sederhana, Tuhan ikut campur tangan. Memperoleh rahmat “campur tangan” itu tidak mudah, sebab ragam tantangan harus dihadapi keluarga ini. Saat kepercayaannya kepada Tuhan terkristal dalam sanubarinya, tragedi sang ayah membuatnya mulai meragukan kasih dan keadilan Tuhan. Ayahnya terpaksa bekerja dari rumah, karena kesehatannya. Ia harus lebih banyak diam di rumah sebagai penjahit.
Agar layar kehidupan terus mengembang, bersama saudara-saudarinya banting tulang- demi sesuap nasi. Banyak orang mungkin melihat pengalaman ini sebagai buah pahit, tetapi tidak bagi keluarga Giocondo. Mungkin, ini sukacita terbesar yang mereka jalani.
Kesempatan bersama itu digunakan sang ayah untuk menanamkan kesalehan hidup rohani kepada anak-anak. Mengajar, berkatekese, berdoa, membaca cerita-cerita orang kudus, dan bernyanyi adalah keseharian mereka. Dari situlah panggilan itu terus menjalar.
Bukan cuma sang ayah, peran Ibu juga begitu besar. “Jadilah anak-anak yang baik, jangan berbuat dosa. Jangan malas mencintai sesama, apalagi malas mencintai Tuhan. Ingat, orang-orang miskin yang mengetuk pintu rumah, adalah Tuhan yang datang melawat,” demikian pesan Felicia kepada anak-anaknya. Seterusnya, begitulah iman dan didikan dari orang tua tumbuh, diresapi, hingga dipraktekkan Giocondo.
Suatu ketika, puncak panggilan itu nampak dalam pengalaman perjumpaannya dengan Kristus. Terasa benar suara itu terus memanggil, “hai anak-Ku, ikutilah Aku”. Searah suara itu- hati kecil Giocondo menolak. Cara Tuhan tak bisa ditebak, meski manusia harus enggan menjawab-Nya. Awalnya menolak suara itu, lambat laun Giocondo jatuh cinta juga. Ia percaya prioritas hidupnya hanya kepada Yesus, yang lain menyusul.
Dengan semangat kesalehan ini, Giocondo melangkahkan kaki di gerbang utama Biara Dominikan. Konon, panggilan itu datang di umur 9 tahun, saat berziarah ke sana. Saat ingin menggabungkan hidup dengan para biarawan, seakan belum saatnya. Selain orang tuanya takut kehilangan, juga pihak Dominikan merasa belum saatnya karena usia.
Pengalaman ini tak membuatnya sesal mencintai Tuhan. Terlalu indah, menawan dan sempurna. Ia memasrahkan diri kepada Tuhan hingga akhirnya, lewat karya Roh Kudus, Tuhan mengizinkannya memakai jubah kebanggaan-Nya. Tak semudah membalikkan telapak tangan, begitu perjuangan Frater Giocondo di seminari. Lewat peluh, titisan air mata dan semangat pengorbanan di balut disiplin hidup yang ketat di tembok biara, Giocondo ditahbiskan imam pada 23 Desember 1893. “Sejak itu, ia bernazar menyelamatkan panggilan para calon imam yang dalam pemikirannya kelak menjadi penyelamat bagi umatnya. Para imam menjadi perantara Kristus dan dunia.”
Pesan Pater Giocondo
Dari Pater Giocondo, kita belajar bahwa cinta itu pertama-tama harus kepada Kristus, setelah itu baru keluarga dan khalayak. Bila seseorang terkendala dalam pelayanan karena materi, dia bukan pelayan sejati. Sebab kemiskinan materi bukan pengahalan manusia mencintai dan dekat dengan Kristus. Sangat spesifik keluarga Giocondo mengajarkan kepada para peziarah di dunia bahwa keluarga sejatinya adalah saluran berkat bagi tumbuh kembang iman seseorang. Di tengah keluarga, orang harus saling memaafkan, mengampuni, memahami, menolong, mendengar dan akhirnya saling menyelamatkan;.
Pesan spesifik juga kepada orang tua bahwa panutan utama seorang anak adalah orang tua. Maka, jadilah orang tua yang baik! Jangan mengkhianati kepercayaan Tuhan kepada Anda.
Sementara, kepada kaum muda, jangan pernah menyia-nyiakan masa muda dengan ragam kegiatan yang tak mendidik dan membangun. Gunakan relasi, cintai dari sesama, sebagai cara terbaik bahkan kesempatan terakhir untuk mengembangkan hidup yang lebih baik lagi. Bila kita akhirnya jatuh, ingat untuk bangkit. Meski itu memalukan, tetapi begitulah menjadi putera-puteri sahaya Kristus. Bangkit dari rasa malu adalah cara untuk bangkit dari keberdosaan.
Terakhir, paling penting, mengesankan bagi kita semua, berani jujur pada panggilan Tuhan. Terbuka mendengarkan suara Tuhan, adalah kesempatan emas untuk mendengarkan warta para anggota surgawi yang setiap saat bersukacita. “Bila Tuhan memanggil, jangan pernah menolak suara itu. Biarkan mata, hati, dan telingah terarah kepada suara itu. Awalnya membingungkan, tetapi lambat laun semakin manis dan indah didengar.”
Yusti H. Wuarmanuk